Chapter 4

69 11 9
                                    

Senin, 30 Maret 2037
Pasadena, California
Hari dimana kesialanku bermula

Aku menatap Bryan yang tengah sibuk mengotak-atik benda bersegi empat dengan logo apel di sana. Matanya begitu fokus hingga tidak menyadari diriku tengah berdiri di hadapannya.

"Bryan," tegurku. Tidak ada sautan. Kurasa jika pria sudah diberikan mainan kesenangannya, mereka akan segera melupakan seisi dunia. Bahkan menganggap jika mainan itu adalah dunia barunya. Seperti Bryan.

Aku memanggil Bryan lebih keras lagi membuatnya tersentak kaget lalu memandangku jengkel. Jangan salahkan aku, dia yang mengabaikanku, jadi salahkan saja dia.

"Kau sedang apa?" tanyaku tenang seolah aku tidak membuat kesalahan padanya. Bukankah sudah kubilang bukan aku yang bersalah?

"Aku sedang sibuk dan butuh sendiri, bisakah kau memberiku waktu privasi?" Bryan memintaku waktu privasi, di dalam kamarku? Tempat yang notabenenya penuh dengan privasi ku. Aku menggeleng takjub.

"Terserah," ujarku lalu melangkah keluar kamar dan menutup pintunya.

Bryan menyebabkan! Padahal aku sedang bosan dan dia mengusirku dari dalam kamarku? Sulit dipercaya.

Dan di sinilah aku. Pagi ini seharusnya aku sedang duduk tenang memperhatikan dosen yang tengah berceloteh ria tentang teori-teori yang memuakkan menurutku. Bukannya malah mengintip dari sela-sela tirai jendela, memandang makhluk-makhluk itu yang semakin banyak berkeliaran di depan rumahku.

Ah, omong-omong sudah sejak kemarin malam makhluk-makhluk itu kembali ke sini. Setelah lelah mengejar orang-orang untuk mereka jadikan santapan kurasa.

Sebuah rumah kecil milik bibi Marry— tetangga depan rumahku terlihat begitu lenggang. Bahkan makhluk-makhluk itu keluar masuk dengan bebas dari sana.

Tunggu, sepertinya aku melihat sesuatu. Aku memicingkan mataku, memandang dengan teliti ke arah jendela di bagian loteng rumah itu. Benar saja, kulihat seorang anak kecil tengah menangis memandang ke arah luar jendela. Jika ia masih terus berdiri di sana maka makhluk-makhluk itu akan menyadari keberadaannya.

Aku berbalik hendak memanggil Bryan untuk memberi tahunya namun gerakanku terhenti saat kulihat Bryan telah berdiri di hadapanku. Tangan kanannya menggenggam ponsel miliknya. Wajahnya terlihat sayu dengan sedikit genangan air di kelopak matanya. Tadi laki-laki itu sangat menyebalkan dan sekarang dia tengah berusaha menahan tangis? Kupikir hanya wanita saja yang mudah berganti-ganti mood.

"Bryan?" Aku memanggilnya dengan sangat khawatir.

Ia menunduk dalam. Aku melangkah mendekatinya lalu mengelus pelan lengan kanannya. "Apa yang terjadi?" tanyaku lembut.

Bryan memandangku dengan mata hijaunya. "Tadi malam, bala bantuan datang ke rumahku," katanya.

Aku terperangah begitu senang. "Benarkah? Itu artinya ibu selamat bukan?" tanyaku antusias. Bryan malah menatapku semakin sayu.

Dadaku mendadak terasa sesak, Seolah tertimpa dua orang pria bertubuh gemuk. Kuyakini ini pasti bukan berita yang enak di telingaku.

"Bryan?" panggilku lirih. Berusaha memastikan jika seluruh isi pikiranku hanya prasangka burukku semata.

"Mereka-- bala bantuan itu mengangkut mama,papa dan bibi Neay menggunakan helikopter." Bryan menjeda sebentar, mungkin untuk menarik napas atau hanya sekedar menetralisir degup jantungnya yang berdetak begitu kencang. Entahlah, aku bisa merasakannya.

"Aku, aku meretasnya. Aku meretas cctv rumahku agar dapat mengawasi kedua orang tuaku dan bibi Neay."

"Berbicaralah yang jelas, Bryan, jangan membuatku bingung!" kataku. Lebih tepatnya berteriak, berusaha menekan rasa gelisah dan was-was yang tiba-tiba menyergap diriku karena ulah Bryan yang terlalu sering menjeda ceritanya. Aku benci itu.

"Saat helikopter itu berusaha terbang lebih tinggi, makhluk-makhluk itu berhasil masuk ke dalam rumah. Menerjang helikopternya hingga helikopter itu terhuyung dan ... jatuh ...."

Tubuhku terasa lemas. "Ma--maksudmu--"

"MEREKA MATI, SARA! MEREKA TELAH MATI!!"

Pikiranku kacau. Benar-benar kacau. Tubuhku tiba-tiba bergerak dengan sendirinya. Membuka pintu lalu berlari keluar. Saat tanganku hendak membuka pagar, suara geraman menyadarkanku.

Makhluk itu sekarang berdiri di hadapanku. Tidak, aku yang berdiri di hadapannya, terhalang oleh pagar setinggi 2 meter.

Wajahnya hancur dengan rambut yang rontok juga mata yang membelalak. Makhluk itu adalah wanita yang kemarin aku lihat.

Ia menggeram. Memancing makhluk sejenis dengannya memandang ke arahku. Penuh lapar. Mereka melangkah ke arahku. Berusaha menggapai tubuhku dari sela-sela gerbang.

Aku mundur perlahan. Sangat perlahan hingga terasa tidak bergerak satu sentipun. Namun tetap, ada pergerakan dalam tubuhku yang membuat makhluk itu semakin agresif untuk mendekatiku.

Mereka membentur-benturkan tubuh mereka ke gerbang, membuat gerbang yang tadinya terkunci kini terbuka sedikit.

"SARA!" Itu suara Bryan. Memanggilku agar segera berlari ke dalam rumah. Namun entah mengapa tubuhku terasa sangat sulit digerakkan. Aku tercekat, mematung, terpaku. Bahkan untuk bernapas saja terasa sulit. Aku benar-benar terkena serangan panik.

Gerbang itu terbuka dengan lebar. Makhluk-makhluk itu berlari ke arahku dengan cepat. Sangat cepat. Dua kali lebih cepat dari manusia berlari pada umumnya.

Saat salah satu makhluk itu hampir menggapai tubuhku, Bryan tiba-tiba menarik tanganku dan menuntunku berlari bersamanya ke dalam rumah.

Bryan melemparku, menutup pintu lalu menahannya dengan tubuhnya.

"Sara, masuk ke dalam kamar!" perintahnya. Namun aku masih terpaku. Bahkan rasa nyeri di punggungku akibat benturan dengan meja tadi tidak terasa apapun. Aku masih terkena serangan panik.

"SARA! MASUK KE DALAM KAMAR!!" Kali ini Bryan berteriak, membuatku tersadar dan segera berlari ke dalam kamarku. Meringkuk di kolong kasurku, berusaha menahan isakkan yang tiba-tiba memaksa keluar.

Bryan menyusulku. Ia berlari ke sini dengan penuh keringat yang bercucuran dari pelipis wajahnya. Menutup pintu kamar, dan lagi-lagi menahannya dengan tubuhnya.

Suara geraman dari makhluk-makhluk itu semakin nyaring di telingaku. Mereka berusaha masuk ke dalam, mendobrak pintu dengan sangat kencang hingga Bryan terhempas ke belakang. Hanya sekali dobrakan dan pintu itu benar-benar terbuka lebar.

Belum sempat Bryan bangkit, makhluk-makhluk itu menindih tubuhnya, mencakar dan menggigit setiap inci kulitnya.

"Hiks, Bryan ...." Tangisku pecah dan makhluk-makhluk itu kini menatap ke arahku.

•••

Kalo vote udah lebih dari 25 dan viewers udah lebih dari 50, insyaallah update bakal cepet 😂

PursuersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang