Suara tembakan pistol menggema seisi ruang kamarku. Sebuah tangan besar tiba-tiba menggapaiku, menarikku memaksa agar keluar dari tempat persembunyianku.
"NATHAN! JAGA BAGIAN DEPAN." Itu suara seseorang yang sekarang tengah berusaha menarikku. Entahlah, aku masih terisak terpaku. Menatap Bryan yang mulai tak sadarkan diri. Tapi dia masih hidup, aku yakini itu.
"Gadis bodoh! Cepat lari bersama kami!" Kali ini orang itu berteriak memenuhi seluruh rongga telingaku. Aku menggeleng dan memberontak. Berjongkok di sebelah Bryan dan mengguncang-guncangkan tubuhnya. Mengabaikan beberapa makhluk itu yang tergeletak di sekitarnya.
Suara tembakan terdengar kembali. Bersamaan dengan Bryan yang mulai membuka matanya.
"X, aku tidak mampu lagi menahan mereka!"
"Oh, shit! Amunisiku habis."
"X! Cepatlah!!!"
Suara teriakan terus bersahutan. Menyadarkanku dari apa yang tengah kulakukan sekarang.
"Bangkit sialan!" Pria yang menarikku tadi— kurasa namanya X— menuntunku secara paksa. Aku menepis tangannya lalu berjongkok kembali di sebelah Bryan. Ia tersenyum lemas padaku.
"Pergilah," gumamnya pelan, terdengar sangat lirih.
Aku menggeleng kencang. "Tidak! Tidak akan! Aku akan membantumu." Aku berusaha menggotong Bryan namun terasa sangat berat.
"Dia sudah mati!" Pria itu berteriak.
"Bryan masih hidup apa kau buta?!" Aku balas berteriak padanya.
"Dia sudah terkena gigitan, priamu itu akan menjadi seperti mereka!" Lagi-lagi dia berteriak padaku. Ini seperti ajang siapa yang paling keras berteriak.
Aku menggeleng kencang. "Tidak akan," kataku membuat pria itu— X menggeram jengkel.
"Gerry, Nathan, gotong laki-laki menyusahkan itu." X menunjuk ke arah Bryan.
"Tapi, zombie-zombie itu–"
"Lakukan saja!!!"
Mereka bergegas mendekati Bryan lalu menggotongnya. Melingkarkan lengannya di masing-masing bahu mereka.
"Ayo, jalan." X memimpin langkah kami. Sesekali ia menarik pelatuk pistolnya saat makhluk-makhluk itu muncul di hadapan kami.
Halaman rumahku yang dulu terlihat bersih karena selalu dirawat oleh ibuku, kini berubah penuh dengan bercakan darah. Mayat tergeletak di mana-mana.
Salah satu teman X —jika tidak salah namanya Nathan— menyodorkan senjatanya padaku. "Lindungi kami dari belakang," katanya.
"Tidak, aku–"
"Kau bisa, kau harus percaya kau bisa." Nathan tersenyum lembut padaku. Memberikanku kepercayaan melalui bola mata birunya.
Aku mengangguk yakin, lalu berancang-ancang bersiap jika salah satu makhluk itu mendekat ke arah kami.
"Arah jam 7!" teriak X. Aku membalikkan tubuhku. Benar, salah satu makhluk itu berlari dari dalam rumah ke arah kami. Aku memejamkan mataku lalu menarik pelatuknya. Dan aku lupa tidak membidiknya ke arah makhluk itu. Oh Tuhan, semoga peluru itu telah Kau berkati.
DORR!!
Suara tembakan terdengar. Aku membuka mataku, melihat makhluk itu yang mulai tergeletak lemas di atas lantai teras rumahku.
"Apa aku berhasil?" gumamku pelan.
"Bodoh! Senapanmu terbalik!" X berteriak. Aku mengerjap sebentar lalu memandang ke bawah. Benar, pistolnya terbalik, bahkan moncongnya mengarah tepat ke pusat perutku. Bodohnya aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pursuers
Science FictionHighest rank : #68 Science Fiction 30 Maret 2018 #53 Science Fiction 1 April 2018 #47 Science Fiction 2 April 2018 Aku rasa Tuhan sudah lelah. Mengurusi kehidupan kami, mungkin benar, Dia sudah lelah. Dan ini hukuman untuk kami. Mati dicabik-cabik...