Chapter 10

52 9 6
                                    


Ok yang udah baca chapter sebelumnya. Maaf ya kalo bikin bingung, wajar baru pertama kali pake sudut pandang 2 jadinya ya gitu ehhehe.
Soo, kalo masih bingung gini aja, kalian baca ulang tapi kalo di narasi ketemu kata "kau" atau "mu"... Ganti aja jadi kata "sara" ok?
Jadinya bakal berubah jadi sudut pandang 3 ehhehe
Sekali lagi sorry.
Ok cekidot!


Senin, 13 April 2037
Los Angeles, California
Kau tahu? Daging manusia benar-benar lezat. Kau harus mencobanya lain kali

Seperti orang yang baru bangun tidur kebanyakan. Aku bangkit dari posisi terlentangku hingga sekarang  posisiku duduk dengan kedua tanganku sebagai penyangga di belakang. Rasa pening hinggap di kepalaku. Pandanganku mengabur. Aku coba mengerjap beberapa saat sampai sedikit demi sedikit mataku sudah mampu melihat hal sekitar.

Detik itu juga tubuhku mematung. Tercekat setelah pandangku sudah mampu melihat sekelilingku dengan jelas.

Ah, aku pasti masih tertidur hingga mimpi saja aku anggap hal nyata. Aku terkekeh pelan. Tanganku bergerak untuk menampar pipiku agar aku segera tersadar dari mimpi yang buruk ini.

Basah. Pipiku terasa basah setelah terkena tamparan pelan dari tanganku. Aku menatap kedua telapak tanganku dan jantungku berdetak semakin kencang.

Tidak, ini mimpi, pasti ini mimpi. Aku menggeleng kencang. Kedua tanganku bergerak secara bergantian untuk menampar pipiku. Semakin kencang, namun mimpi ini masih tidak enyah dari pikiranku.

Aku memandang sekitar. Aku tahu ini lorong menuju ruang laboratorium. Lorong yang didominasi oleh warna putih dengan sinar keputihan dari lampu yang terpajang di langit-langit lorong. Memperjelas pandanganku untuk melihat mayat-mayat yang tergeletak di sekitarku.

Tanpa sadar satu tetes air mata meluncur dari kelopak mataku. Terus muncul bergantian hingga membanjiri pipiku. Membuat warna merah dari darah mulai sedikit memudar.

Darah?

Tanganku dipenuhi oleh darah. Bahkan hampir sekujur tubuhku dipenuhi oleh darah. Aku menggeleng kencang. Jika ini bukan mimpi, berarti ini nyata? Lalu bagaimana makhluk-makhluk itu berhasil masuk ke dalam sini? Dan satu pertanyaan lagi yang membuatku mematung,

Mengapa hanya aku yang masih hidup?! teriakku membatin.

Aku terisak semakin kencang. Menyembunyikan wajahku di antara telapak tanganku. Mengabaikan darah di telapak tanganku yang akan mengotori wajahku.

Suara derap langkah mendekat ke arahku. Ku turunkan kedua tanganku dari hadapan wajahku. Menengok ke arah suara derap langkah tadi berasal. Takut-takut jika makhluk-makhluk itu kembali datang ke sini.

Untuk sesaat aku mendesah lega. Alex tampak berlari dengan panik ke arahku bersama dengan beberapa orang di belakangnya.

Sampai di hadapanku, pria itu berjongkok lalu mencengkram bahuku dengan sangat erat. Ia memandangku dengan tajam seolah tengah menghakimiku melalui tatapannya.

"Katakan, kemarin malam kau meminum obatnya, 'kan?"

Tanpa sadar isakanku mulai terhenti. Aku terdiam, tidak mengangguk maupun menggeleng, membuat Alex menggeram ke arahku.

"JAWAB, SARA!" teriaknya.

Aku terisak kembali. Reflek aku menggeleng. Seketika Alex semakin mengencangkan cengkramannya pada bahuku. Aku meringis.

Sakit. Perih. Jari Alex seolah memasuki lubang di bahuku.

"Kau ...." Suara Alex tertahan. Aku tahu ia tengah menahan gejolak amarahnya. Tapi apa salahku?!

"Bawa wanita ini ke kamarnya lalu kunci pintunya dari luar." Alex memerintah pada beberapa orang di belakangnya. Seketika orang-orang itu mendekat lalu menggiringku secara paksa.

Aku memberontak. Ini bukan salahku. Makhluk-makhluk itu yang berhasil masuk ke dalam sini. "Alex! Aku tidak bersalah! Suruh orang-orang ini melepaskanku!"

Alex mengabaikanku. Ia justru melangkah ke arah lorong yang berlawanan denganku.

Melewati beberapa lantai, akhirnya kami sampai di kamarku. Orang-orang itu menggiringku untuk masuk. Aku menyentak tangan mereka.

"Lepas, aku bisa sendiri," sinisku. Mereka melepaskanku lalu keluar, setelah itu terdengar suara pintu terkunci dari luar.

Aku mendesah. Kakiku melangkah ke arah meja dekat jendela. Duduk meringkuk di sana mengabaikan pakaianku yang tampak seperti seorang pembunuh.

Pembunuh?

Aku menatap ke luar jendela. Suasana kota tampak ramai. Jika makhluk-makhluk itu memang berhasil masuk ke dalam sini, seharusnya kota ini sudah sangat kacau. Tapi yang kulihat justru sebaliknya.

Aku benar-benar tidak ingat bagaimana bisa aku berada di sana? Seingatku kemarin malam aku tertidur di atas ranjangku setelah berbincang sebentar dengan Mia.

Dan lagi, mengapa hanya aku yang masih hidup? Ku pikir seharusnya aku mati dijadikan santapan oleh makhluk-makhluk itu. Sama seperti mayat-mayat yang kulihat tadi. Ya, seharusnya aku sudah jadi mayat  sekarang.

Aku menghela napas lelah. Tanpa sadar mataku mulai terpejam dan tertidur. Rasanya badanku benar-benar lelah, seakan tubuh ini baru saja ku gunakan untuk berlari berkilo-kilo meter.

•••

Beberapa hari berlalu. Selama itu juga Alex tidak berkunjung lagi ke kamarku. Yang aku butuhkan hanyalah penjelasan mengapa aku harus dikurang seperti ini.

Bahkan yang menyuruhku meminum obat pun hanya salah satu pengawal atau salah satu pasukan Neurox. Aku tidak membantah dan tetap meminum obatnya. Ku pikir Alex marah padaku mungkin karena aku tidak meminum obatnya waktu itu. Mungkin.

Suara ketukan pintu terdengar. Aku melangkah ke arah pintu dan membukanya. Aku mematung. Tidak menyangka bahwa seseorang yang mengetuk pintuku adalah orang yang sudah berhari-hari menghilang.

"Bryan?" gumamku, tidak percaya.

Laki-laki itu menatapku datar. Ia masuk ke dalam lalu menutup pintunya. Tatapannya tidak pernah lepas dariku.

Aku mundur beberapa langkah. Ini bukan Bryan, aku merasa ia bukanlah Bryan yang aku kenal.

Diluar dugaan. Bryan ikut melangkah mendekatiku. Mempersempit jarak antara kami hingga deru napasnya terasa di sekitar wajahku.

"Bryan, k-kau dari mana saja?" Seperti ada sesuatu yang memperingatiku untuk menjauh dari Bryan. Reflek aku melangkah mundur kembali. Bryan ikut melangkah mendekatiku. Semakin mempersempit jarak antara kami.

"Mengapa kau menjauh? Kau takut padaku?" Suaranya dalam, sirat akan kekecewaan. "Mengapa kau tidak memelukku? Kau tidak merindukanku, Sara?" tanyanya lagi.

Tangannya terangkat lalu mengelus rahangku dengan punggung tangannya. "Aku merindukan," katanya lirih.

Sedetik kemudian, Bryan tiba-tiba menciumku. Mempagut bibirku seolah tengah mencari sesuatu di sana.

Aku mematung benar-benar terkejut. Semuanya di luar nalarku. Bryan tiba-tiba sudah berada di hadapanku. Dan sekarang? Tunggu. Bryan menciumku?!

Reflek aku mendorong tubuhnya. "Apa yang kau lakukan?!" teriakku.

Aku mengelap bibirku dengan punggung tanganku. Seketika aku terdiam menatap darah yang membasahi punggung tanganku. Aku mendongak menatap Bryan. Sekitar bibirnya tampak penuh dengan bercak darah.

Aneh. Aku merasa ada yang janggal di sini. Bukankah pintu kamarku terkunci dari luar?

Aku menengok ke arah pintu. Dan seketika jantungku berdegup begitu kencang.

Di sana, dua orang yang menjaga kamarku tergeletak bersimbah darah. Tidak ada pergerakan dari tubuh mereka. Kaku, mereka diam tak bergerak.

"Me-mereka mati ...," gumamku tanpa sadar.

Dan Bryan menyeringai menatapku.

PursuersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang