“Terkejut dengan apa yang kau lihat, Sara?”
Tidak. Mustahil Bryan yang membunuh mereka. Bahkan aku tidak melihat benda tajam yang ia bawa.
“A-apa yang terjadi?” tanyaku. Jantungku seolah tengah meremas tiap rongga nadiku. Keringat dingin bercucuran dari pelipis wajahku. Menanti jawaban Bryan dengan degup jantungku yang seakan-akan siap meledak kapan saja.
“Aku membunuh mereka, para pengganggu itu. Bukankah tadi kau melihat mereka?” Aku menggeleng kencang. Intuisiku semakin berteriak kencang untuk segera menjauhi Bryan.
Lagi, reflek aku mundur secara perlahan. Menatap Bryan dengan was-was dan takut.
“Bukankah sudah aku katakan aku merindukanmu? Mengapa kau tetap saja menjauh, Sara?”
“Menjauh dariku!” Aku mengambil gunting yang tersimpan di atas nakas dan menodongkannya pada Bryan.
Bryan menatapku dengan sendu. “Kau tega melukai sahabatmu sendiri, Sara?”
“Cih, virusnya sudah bekerja rupanya.” Ucapan X waktu itu tiba-tiba terngiang di kepalaku. Virus? Tidak! Tidak mungkin!
"Ka-kau sudah menjadi bagian dari mereka, Bryan."
Seketika ekspresi Bryan menjadi semakin dingin. Terjadi keheningan untuk beberapa saat. Pandangan Bryan seolah tengah menunjukkan kekosongan dalam dirinya.
"Siapa yang kau maksud dengan mereka, Sara?" Lagi, Bryan kembali melangkah semakin mendekatiku. Menghimpit tubuhku antara tubuhnya dan dinding.
"Makhluk-makhluk yang telah membunuh ayah dan ibuku, itu yang kau maksud, Sara?"
Aku menggeleng kencang. Semakin lama tatapan Bryan semakin terasa mengintimidasi.
Reflek aku mendorong bahu Bryan dan mulai berlari keluar. Sialnya Bryan justru mencekal tanganku. "Kau mau ke mana, Sara? Bisakah kau berhenti menjauhiku?" Seketika Bryan membanting tubuhku ke dinding. Mengurung tubuhku dengan kedua lengannya yg besar. Wajahnya perlahan ia dekatkan ke ceruk leherku. Napasnya berhembus mengenai titik paling sensitifku. Seolah memberi tanda bahwa gigi taringnya siap mengoyak leherku kapanpun ia mau.
Aku tersenyum lesu. Jadi, ini akhirnya? Terbunuh oleh orang yang paling penting dalam hidupku?
Suara hantaman keras mengisi rongga telingaku. Aku menunduk sedikit dan melihat Bryan sudah terkapar tak sadarkan diri di atas lantai.
"Sara, kau baik-baik saja?" Alex bertanya padaku dengan panik. Kedua tangannya membawa potongan dari sisa kursi kayu yang sudah hancur. Aku rasa Alex memukul Bryan dengan kursi itu hingga hancur.
Aku menjawabnya dengan anggukan lemas. Alex membantu ku berjalan ke tepi ranjang lalu membaringkan ku di sana. Beberapa orang mulai masuk ke kamarku lalu membawa Bryan yang tak sadarkan diri tadi ke luar.
"Apa yang terjadi pada Bryan?" tanyaku setelah orang-orang tadi pergi dari kamarku. Hanya menyisakan aku dan Alex sekarang.
Pria bertubuh tinggi itu tampak mendesah lelah. "Kau tahu, temanmu itu sudah mencapai batasnya. Mungkin dalam beberapa jam lagi ia akan berubah total," katanya.
Aku menggeleng kencang. "Tidak! Bryan tidak akan pernah berubah!" Tubuhku meronta-ronta. Alex mendekapku dengan kencang. Membisikan untaian kata yang ia pikir dapat menenangkan ku.
"Semua akan baik-baik saja. Aku sedang berusaha mencari obatnya. Bryan akan baik-baik saja."
Setetes air mata mulai jatuh tanpa aku sadari. Setetes lagi dan lagi hingga sekarang mulai membanjiri pipiku. "Berjanjilah," kataku dengan sedikit tersedu-sedu.
Alex tersenyum hangat seraya mengangguk.
Ini bukanlah akhirnya. Aku harus kuat setidaknya demi satu-satunya orang yang ku miliki sekarang. Bryan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pursuers
Science FictionHighest rank : #68 Science Fiction 30 Maret 2018 #53 Science Fiction 1 April 2018 #47 Science Fiction 2 April 2018 Aku rasa Tuhan sudah lelah. Mengurusi kehidupan kami, mungkin benar, Dia sudah lelah. Dan ini hukuman untuk kami. Mati dicabik-cabik...