Hari itu, Pagi tak bertemu Matahari.
----------------
Pagi itu, adalah pagi yang mendung di Bandung. Hujan rintik-rintik turun sejak subuh dan belum berhenti sampai sekarang. Selain itu, hujan di pagi hari sukses membuat banyak orang terlambat, salah satunya adalah Diana.
Hujan di pagi hari membuatnya malas bangun dari tempat tidur. Meski semua orang di rumahnya sudah berteriak ke telinganya, Diana tetap merapatkan selimut dan enggan membuka mata. Hasilnya ia harus mandi ular, makan pagi di dalam mobil, dan menemui kemacetan di sepanjang jalan. Tentu saja, ia terlambat ke sekolah.
"Pa, aku turun disini aja. Lama, udah telat banget." Diana membuka seatbeltnya tergesa-gesa.
Gerbang sekolahnya sudah 100 meter lagi namun kemacetan menghalangi mobilnya untuk sampai kesana.
Ayahnya menatap ke depan, fokus. Sebenarnya itu tak ada gunanya, mobil hitam di depan masih diam. Ayah Diana menoleh pada anaknya yang sibuk menggulung kabel charger.
"Bawa payung?" Tanya ayahnya.
Diana menoleh sebentar dan menggeleng sambil menunjukkan cengirannya. "Aku kan gak pernah bawa payung," jawabnya. Gadis itu memasukkan charger putihnya ke dalam tas dan memasang jas hujan pada tasnya.
"Hujan, udah tunggu aja. Gerbangnya gak bakal ditutup tepat waktu kalau hujan gini."
Bahunya terangkat, ini udah telat dua puluh menit, udah pasti ketutup itu gerbang. "Aku pakai jaket kok. Udah ya pa, dadah!"
Diana meresleting jaketnya, setelah mencium tangan papanya ia turun dari mobil dan berlari sambil mengangkat rok menuju gerbang sekolah.
Hujan menderas begitu Diana menyebrang, rok abu-abunya mulai kaku dan berat karena cipratan air. Gadis itu sedikit jengkel, rok baru dipake dua hari masa harus ganti lagi sih? Di sela-sela gerutunya, Diana membulatkan mata. Seorang satpam sedang menutup gerbang.
"Pak! Pak Bagja! Jangan ditutup dulu!"
Tanpa peduli orang-orang yang berada di jalan mungkin mendengarnya Diana berteriak sekeras yang ia bisa. Langkahnya dipercepat dan tudung jaketnya turun ketika ia melompati genangan air. Satpam itu berhenti, menunggu, payung cokelatnya terjepit antara telinga dan bahunya.
Diana akhirnya sampai di pos satpam yang tehelnya penuh dengan bekas sepatu. Napasnya terengah-engah, jika saja ini bukan karena ia terlambat gadis itu tidak akan sudi berlari menerobos hujan seperti tadi.
Lihat, rambutnya yang baru dipakaikan condisioner basah dan lepek. Rok dan sepatunya sudah seperti tercebur ke dalam bak air, kemejanya ikut basah karena ternyata ia hanya memakai cardigan bukan jaket. Beruntung tasnya ia pakaikan jas hujan, setidaknya buku-bukunya selamat. Diana buru-buru mengeluarkan tisu dari dalam tas dan mengelap wajahnya yang basah.
Seorang guru datang dengan payung warna-warni, memperhatikannya dari atas sampai bawah.
"Kamu hujan-hujanan?"
Diana mengangguk kecil, "Iya Pak. Macet, jadi saya turun dari mobil terus lari kesini."
Gurunya menggelengkan kepala. "Kamu! Sama lagi hujan-hujanan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
GRAVITY
Teen FictionMau tak mau Diana harus menerima kenyataan kalau Andean berhasil memikatnya dalam sekali pandang. Selanjutnya, gadis itu diberi kemampuan untuk melacak tempat tergelap dalam hati cowok itu. Diana tak peduli apapun lagi ketika Andean pertama kali me...