Delapan

28 4 3
                                    

Hari Andean kacau.

Bukan,

tapi hari-hari Andean kacau balau.

Dimulai dari empat hari kemarin dimana Diana mulai menghindarinya. Gadis itu tidak lagi pulang bersamanya, sapaan Andean pun hanya dibalas senyun tipis, terpaksa, sekadar formalitas. Gadis itu tak lagi makan siang bersamanya, entah masih membawa bekal atau tidak, tapi belakangan ini ia jarang bertemu gadis itu. Belum lagi telponnya yang tidak pernah dijawab atau pesan-pesannya yang menggunung yang tak pernah dibaca. Andean hampir frustasi.

Lalu pagi ini, kondisi adiknya kembali menurun meski tak sampai masuk ICU. Mamanya menelpon dengan suara bergetar, tentu saja ia memilih pergi ke rumah sakit dibanding harus ke sekolah. Toh, Diana juga sedang menghindarinya.

Terakhir adalah kabar mengerikan dari Risa yang bilang kalau Diana didatangi oleh anak kelas 12 yang memukulinya tempo hari.

Andean hampir gila saat mendengarnya.

Ia memacu motornya seperti orang kesetanan. Buru-buru menuju sekolah, bayangan Diana dan Fhara yang dikepung lima orang anak kelas 12 memenuhi kepalanya. Beberapa kali suara panik Risa juga menggema, membuatnya makin panik, kalut, dan geram.

"Dean! Lo kenapa gak masuk, hah?!"

"Si Reva sama temen-temennya datengin Diana tau gak lo?!"

"Ini gue sama Dimas mau nyusul ke kantin,"

Andean berhasil sampai di sekolah lima belas menit kemudian. Satpam pada awalnya tidak memperbolehkannya masuk karena ia tidak pakai seragam, tapi untungnya Andean selalu membawa seragam cadangan di bagasi motornya.

"Udah izin kok Pak, saya bilang ke wali kelas dateng siang. Ade saya lagi di rumah sakit."

Untung saja Pak Bagja dekat dengannya, jadi ia diperbolehkan masuk setelah memakai seragam terlebih dahulu. Kalau yang berjaga satpam lain, pasti Andean diminta membuat surat izin masuk dan membuat urusannya makin rumit.

Selesai merapikan pakaian Andean buru-buru masuk, ia langsung menuju kantin. Teman-temannya yang masih disana menyambutnya. Matanya menyisir seluruh penjuru kantin yang agak berantakan. Dari situ, Andean mulai gelap mata.

"Diana mana?"

"Kemana aja lo? Dia dilabrak sama Reva!"

"Diem lo semua, gue udah tau. Sekarang dia kemana?" Tanyanya dengan suara lantang. Meminta siapapun yang mendengarnya untuk menjawab.

"Dean!"

Seruan seseorang membuat Andean berbalik. Dimas melambaikan tangan di belakangnya.

"Diana di UKS!" Seru Dimas.

Hati Andean mencelus. Kalau saat ini ia melihat salah satu dari anak kelas 12 itu, ia yakin akan menghajarnya tanpa basa-basi.

Andean berlari secepat yang ia bisa, Dimas ikut di belakangnya. Kurang dari lima menit dua sekawan itu sampai di UKS. Andean sangat kalut, Dimas bahkan harus mengingatkannya soal sepatu.

Brakk

Pintu UKS dibuka tanpa perasaan, Andean masuk dengan napas terengah. Matanya menilik tirai yang menutupi dua brankar. Dimana yang isinya Diana?

Tanpa diminta Dimas menarik Andean menuju tirai paling kiri yang berbatasan dengan tembok. Dimas membuka tirainya, memperlihatkan Diana yang duduk di atas brankar dengan wajah terguncang. Fhara duduk di kursi, wajahnya tidak jauh berbeda dengan Diana. Risa yang berdiri disana terus mengusap bahu keduanya.

Mata Andean belum berkedip sedikit pun, ia betah bertemu pandang dengan Diana. Selama beberapa hari dijauhi gadis itu ternyata cukup untuk membuatnya rindu. Dipandanginya Diana lama sebelum melangkah maju dan berhenti tepat di samping gadis itu.

GRAVITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang