Tiga

50 4 0
                                    

Kantin. Sumber nyawa dan penentu kehidupan di setiap sekolah. Meski begitu, tidak semua orang suka pergi ke kantin. Banyak anak di kelas Diana yang memilih menitip makanan pada temannya karena malas membeli sendiri. "Pengap," kata kebanyakan dari mereka. Wajar sih, jumlah murid dari tiga angkatan kan tidak sedikit.

Diana mendesis pelan, saat ini ia berusaha melewati kerumunan yang sangat berisik. Mereka berebut untuk memesan nasi padang. Ya ampun, penuhnya.

Haaah, napasnya lega setelah bebas dari kerumunan mematikan itu. Sekarang tinggal mencari sesuatu yang bisa mengisi perutnya. Kakinya lalu memilih berdiri di belakang antrian baso tahu. Dengan sabar ia menunggu sendirian. Fhara kebetulan membawa bekal dari rumahnya hari ini dan ia belum menyelesaikan tugasnya, jadi Diana pergi sendirian ke kantin.

Kenapa tak pergi dengan temannya yang lain? Tentu saja karena ia tertinggal, temannya yang lain sudah pergi duluan ketika Fhara bilang ia membawa bekal sendiri. Menyebalkan memang.

"Ehh?"

Seorang anak laki-laki menyela antrian tepat saat Diana akan maju. Gadis itu memekik dengan kening berkerut. Orang yang menyela antrian itu menengok sekilas ke arahnya, wajahnya meremehkan. Diana meniup udara ke atas.

Bete gue.

Tangannya telipat di dada, bola matanya diputar. Sayang ia tidak kenal orang di depannya, ia tidak tau orang itu anak kelas berapa. Bagus kalau orang itu masih anak kelas 10, nah kalau anak kelas 12, bisa mati Diana kalau menegurnya. Ya udah deh, biarin aja.

"Heh,"

Bahu orang itu di tepuk seseorang dari belakang. Murid yang menyela itu menoleh. Pertama, ia menatap angkuh pada Diana. Gadis itu menjauhkan diri. Kedua, terdengar seseorang berkata.

"Lo tahu antri gak? Gak liat ada orang udah antri duluan? Ke belakang sana lo."

Seseorang di belakangnya berhasil mengusir anak tadi tepat saat satu orang di depannya selesai. Diana maju dan memesan, lalu seseorang berdiri di sampingnya.

"Bang, gue biasa ya, kecap doang." Kata orang itu.

Diana tidak peduli, ia menunggu pesanannya.

"Harusnya lo marahin anak tadi."

Kali ini Diana langsung menolehkan wajahnya dan akhirnya ia tau siapa yang mengusir anak tadi. Andean.

"Masih anak baru udah gak bener, apalagi nanti," kata Andean lagi. Diana bungkam, menyimak. Ia memperhatikan wajah agak jengkel dari cowok itu.

"Kesel gue lihat dia natap lo kayak gitu," Andean menoleh ke arahnya.

Keningnya mengerut perlahan-lahan. "Kenapa lo yang kesel?"

"Ya gak suka aja," jawab cowok itu sambil mengalihkan pandangannya.

Halah,

Dirinya yang ditatap remeh tapi kenapa cowok itu yang repot?

"O-ohh," sahutnya singkat. Wajahnya kembali menghadap ke depan, menunggu pesanannya datang.

"Nih, satu pakai bumbu, satu lagi enggak."

Diana menerima piring miliknya. Satu tangannya merogoh saku, mengambil uang.

"Nih, Bang. Satuin aja bayarnya," Andean memberikan satu lembar uang dua puluh ribu.

"Eh, gak usah. Gue bayar sendiri," sergah Diana. Ia buru-buru memberikan uang sepuluh ribuan pada penjual baso tahu itu.

"Udah, neng bayar ke temennya aja," kata penjual itu. Uang Diana diabaikan.

GRAVITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang