Bertemu denganmu, aku menemukan Bumi-ku yang baru.
----------------
Setelah mengantar Risa sampai halte, Andean buru-buru kembali ke sekolah untuk mengambil earphonenya yang tertinggal. Parkiran sudah hampir kosong saat ia sampai. Di lapangan ada beberapa anak kelas 12 yang masih bermain basket dengan rusuh. Langkah kakinya membawa Andean pada kelasnya yang ternyata belum dikunci. Sepertinya, keberuntungan sedang berpihak padanya hari ini. Earphonenya selamat. Ia keluar dan menutup pintu, kali ini kepalanya ringan untuk diajak pulang.
Melihat pintu kelas IPA 1 yang juga masih terbuka Andean iseng mengintip, berharap menemukan seseorang disana.
"Gimana dong? Ini sakit banget," terdengar suara seseorang. Seperti sedang menahan sakit. Andean terpaku, langkahnya berhenti, ia yakin, keajaiban hidupnya telah habis untuk hari ini. Namun instingnya mengatakan, tak sepenuhnya harapannya terkabul.
Diana memang ada disana, duduk di bangku dimana Andean biasa melihatnya. Gadis itu terlihat sedang menelpon. Wajahnya kesakitan, ia bahkan menggigit bibir. Andean menunggu di dekat pintu sampai Diana selesai, ia lalu masuk ke dalam kelas IPA 1.
"Belum pulang?" Tanyanya basa-basi. Padahal dalam hatinya sudah tak karuan melihat wajah Diana yang pucat itu.
Gadis itu menggeleng, "aa, sakit banget perut gue," erangnya. Diana menempelkan keningnya di meja, dua tangan gadis itu menekan perut kuat-kuat.
"Gue anter mau?" Andean khawatir, terlebih saat mendapati kaleng jus tadi berdiri manis di meja Diana. Gadis itu pasti meminum semua isinya.
Diana menggeleng lagi. Ia menegakkan punggung, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Tak lama, wajahnya mengernyit lagi, tubuhnya condong ke depan, dua tangannya lagi-lagi menekan perut. Andean meringis, tak tega melihatnya.
"Pulang sama gue, ya?"
Tanpa menunggu jawaban Diana, Andean menarik bahu gadis itu untuk berdiri. Tas biru Diana kini menggantung di bahu kanannya. Gadis itu berjalan lunglai, kadang berhenti sebentar untuk merasakan sakit dan meringis. Andean memegang satu tangan gadis itu, dingin bukan main.
"Em, Dii. Lo gak mau ke toilet dulu gitu? Siapa tau mendingan," usulnya ketika mereka melewati toilet. Andean akan menunggu dan tetap mengantarnya pulang kalaupun memang ingin ke toilet terlebih dahulu. Tapi jika dipikir lagi, ini sudah sore, mungkin Diana tidak mau masuk toilet sekolah saat matahari hampir terbenam sepenuhnya.
"Gue gak mau ke toilet," ujar Diana. Ia berhenti lagi, dengan mata terpejam, tangan dinginnya memegang erat tangan Andean. Keringat dingin menetes perlahan dari keningnya. Perutnya nyeri, kalau saja Andean tak memeganginya ia pasti sudah jatuh ke lantai.
Andean diam, tak mengucapkan apapun. Ia benar-benar khawatir hingga matanya tak pernah lepas dari wajah pucat Diana. Sebersit rasa bersalah mulai menyerangnya. Harusnya ia tidak iseng membeli jus asam itu hanya karena melihat Diana yang mengantuk. Akan jauh lebih baik kalau ia menghiburnya hingga gadis itu lepas dari rasa bosan. Andean kini mengutuk dirinya dalam hati.
"Rumah lo dimana?"
Diana mengangkat tangannya, "gak usah, lo anter gue ke-"
"Gue gak mau dengar apapun, gue harus bawa lo ke rumah. Atau kalau lo tetep gak mau, gue yang bawa lo ke klinik." Ujar Andean tak mau dibantah. Telapak tangannya ditempelkan pada dahi gadis itu. Panas. Ia buru-buru menanggalkan jaket, memberikannya pada Diana.
KAMU SEDANG MEMBACA
GRAVITY
Teen FictionMau tak mau Diana harus menerima kenyataan kalau Andean berhasil memikatnya dalam sekali pandang. Selanjutnya, gadis itu diberi kemampuan untuk melacak tempat tergelap dalam hati cowok itu. Diana tak peduli apapun lagi ketika Andean pertama kali me...