Lima

53 3 0
                                    

Sore hari sepulang papanya dari kantor, Diana pergi ke rumah sakit bersama kedua orang tuanya. 'Check up' kalau papanya bilang. Sejak pertama kali ia terkena masalah perut papanya memang menjadi lebih protektif, di awal masa SMA-nya Diana bahkan selalu membawa bekal dari rumah. Setelah kenaikan kelas aturan itu dicabut. Tapi dengan kasus ini, ia yakin papanya akan membuat aturan yang lebih menyusahkan lagi. Apa boleh buat.

Diana menatap keluar jendela mobil, langit mulai gelap. Bukan karena hampir malam tapi karena awan. Lagi-lagi gumpalan kapas yang kelabu itu mengubah suasana senja kota Bandung. Kalau langit cerah, senja akan sangat jingga, awan-awan akan terlihat mengkilap. Sedangkan saat ini, jangankan jingga, cahaya matahari saja tak sepenuhnya sampai.

Diana mengalihkan pandangannya pada ponsel, layarnya menyala, ada satu pesan masuk disana.

1 New Message

Andean : Diana, ini Andean. ...

Setelah dibuka, pesan itu berbunyi, Diana, ini Andean. Gue mau tengokin lo, boleh? Tentu saja secepat kilat jarinya mengetik balasan pada cowok itu.

Jangan, gue lagi ke dokter. Lain kali aja.

Begitu pesannya terkirim Diana menghembuskan napas lega. Semoga cowok itu mau menurut. Tak lama masuk pesan balasan dari Andean, Diana langsung membacanya.

Andean
Ohh, oke. Kalau lo mau gue tengokin bilang aja, gue langsung kesana.

Gak makasih, balasnya lagi.

Diana tak mempedulikan balasan setelahnya. Ia kembali menatap keluar jendela, ternyata mobilnya sedang berhenti karena lampu merah. Tiba-tiba ingatannya di hari kemarin muncul. Kepalanya mereka ulang semua kejadian tepat setelah ia memutuskan untuk menghindari cowok itu. Bukannya menjauh, ia justru diantar pulang.

Memang, perutnya sakit sekali kemarin. Diana lupa, perutnya sensitif. Seharusnya ia ingat perutnya belum terisi makanan berat siang itu dan tidak lanjut meminum jus dari Andean sampai habis. Itu jelas-jelas beresiko pada sistem pencernaannya yang agak rewel.

Diana menghela napasnya lagi, ia sudah sampai. Ini adalah pertama kalinya ia datang ke rumah sakit sejak dirawat karena tifus.

"Ma, perut aku udah gak sakit lagi kok, serius. Gak ke dokter juga gak apa-apa."

Diana berbisik pada mamanya, membujuk agar mereka tak jadi menemui dokter. Mamanya melirik, membalas bisikkannya.

"Udah dengerin aja kata papa kamu."

Mendengar itu Diana memanyunkan bibirnya. Males minum obat gue. Kenapa juga pake minum jus asem kaya kemarin.

***

Diana keluar ruangan dengan sebal. Ia tak menyangka kalau kini yang bermasalah adalah lambung dan ususnya. Kedepannya pasti akan merepotkan.

"Makanya jangan makan yang macem-macem di sekolah. Jadi sakit kan, udah dibilang berapa kali kok gak pernah nurut."

Diana tak menanggapi, langkahnya masih menghentak, wajahnya cemberut. Terkadang papanya bisa benar-benar menyebalkan, apalagi kalau soal masalah yang satu ini. Ia tau papanya agak trauma, ia dan mamanya juga. Tapi, sudahlah, Diana tak mau membahasnya.

Diana masuk lebih dulu ke dalam lift, ia melipat tangannya di dada. "Diana kan cuma pingin jajan kaya temen-temen yang lain," belanya saat lift mulai turun. Matanya memanas, ia memandang langit-langit.

"Iya, papa ngerti. Tapi dijaga dong jangan sampai kaya gini lagi. Papa gak mau-"

Kalimat itu dipotong mamanya, "Udah, gak apa-apa. Nanti obatnya jangan lupa diminum, satu minggu ke depan mama masakin bekal, ya."

GRAVITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang