Bersepeda

1.4K 120 16
                                    

Ketika surya menampakkan cahayanya, ada hati yang berbunga berseri. Mekae baru saja mendapatkan kiriman sepeda tandem dari Ayah.

"Sepeda yang bagus ini harus dijaga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sepeda yang bagus ini harus dijaga. Pakailah berdua atau kamu akan kesusahan." Begitu pesan yang tertempel di stang sepedanya.

"Bunda, ini beneran buat Kae kan? Bener kan? Bisa berdua sama Bunda atau berdua sama Pahmi ya, Bun. Ayah jarang pulang, tapi bener-bener pengertian ya, Bun. Pantes aja Bunda suka sama Ayah." Teriak Mekae yang sedang memeluk sepedanya, mencoba menaikinya, dan aura bahagia terpancar kuat dari dirinya.

Mekae memanggil ibunya dengan sebutan Bunda. Cantik rupawan wajahnya, rambut terikat selalu, disiplin dan menjadi wanita karir yang tidak kalah sibuk dengan ayahnya.

"Iya Kae, udah dong, nanti lagi sama sepedanya, belajar sama Pahmi, sekarang sarapan dulu sama Bunda," Bunda menyiapkan sarapan. Telor mata sapi yang dimasak setengah matang diletakkannya di atas nasi. Dua piring telah siap untuk disantap.

"Kae, hati-hati pake sepedanya, ya. Kamu kan belum pernah naik sepeda." Ucap Bunda lalu minum. Jika Bunda sudah minum, berarti makannya telah selesai. Menyimpan piring di wastafel dan kembali bercermin. Merapikan baju kantornya, membersihkan bibirnya yang masih sedikit berminyak, menyisir dan mengikat ulang rambutnya, lalu mengambil tas selendangnya.

"Kae, Bunda berangkat ya. Mungkin Bunda bakalan pulang telat. Makan malem duluan aja," Kae mencium tangan Bunda.

"Assalamu'alaikum," Bunda menutup pintu. Segera meninggalkan rumah itu.

"Waalaikumsalam, padahal hari ini hari Minggu. Tapi, Bunda kok masuk sih,"

Mekae mencuci piring bekas makan dirinya dan Bunda. Setelah selesai, ia segera ke rumah Pahmi sambil mendorong sepedanya.

Triiing. Triiing

"PAAAHMIIIII, PAAAH, PAAPAAAH, MIIIMIII," Teriak Mekae yang berdiri di depan rumah Pahmi memegangi sepedanya.

"Berisik dek, masih jam setengah tujuh ko teriak-teriak, ganggu aja," Ucap bapak penjual sayur keliling menegur Mekae. Entah darimana bapak dan gerobaknya itu muncul. Dengan sayur-sayur yang terlihat segar di atas gerobaknya itu dan ada beberapa yang tergantung.

"Sayuuuur Sayuuuuur," Teriak si bapak, sesekali mengelap dahinya dengan handuk kecil yang terkalung di lehernya.

"Lah si bapak sendiri teriak teriak, jadi siapa yang berisik?" Batin Mekae kesal.

Pahmi membuka pagar rumahnya. Hanya memakai celana pendek kuning miliknya dan lilitan handuk di atas kepalanya.

"Baru beres mandi, cepetan masuk, gue malu,"

"Tahuuuuu," Ibu Pahmi berlari menghampiri bapak penjual sayur yang tadi. Mekae masuk ke rumah Pahmi. Setelah sepedanya disimpan di halaman rumah, Mekae mengikuti Pahmi ke kamarnya.

Di kamar Pahmi.

"Gue dibeliin sepeda, bro. Seneng banget. Hayu sekarang kita keliling komplek pake sepeda baru,"

Pahmi tidak bisa menolak ajakan yang sangat antusias itu.

"Emang lu bisa naik sepeda?" Tanya Pahmi sambil memakai baju.

"Ah, gampang keliatannya," Ucap Mekae.

Mereka berdua menaiki sepeda. Mekae di depan dan Pahmi di belakang. Kaki Mekae bergetar, memegang stangnya pun ragu-ragu.

"Santai dong, Mek, ga akan kenapa - kenapa, tinggal pegang stangnya, naikin kaki lu ke pedal, gowes deh," Ucap Pahmi dari belakang.

"1...2...3...Go!" Teriak Pahmi.

Sepeda itu berlari dengan cukup cepat. Matahari yang sudah mulai menaik, awan cantik bagai kapas, dan langit biru itu menjadi saksi dua remaja yang sedang bersepeda.

Pahmi menggowes sepedanya, sedangkan Mekae masih kesulitan meraih pedal yang berputar itu. Mekae kehilangan keseimbangan, stangnya ugal-ugalan.

Deg. Deg. Deg.

Jantung Mekae berdebar sangat cepat.

"Copot sajalah kau jantung, dasar merepotkan," Ucap Mekae dalam hati menyalahkan jantung yang membuatnya gugup seperti ini.

"Woy, Mek, yang bener, takut jat- "

Bruk.

Sepeda itu terjatuh menabrak pohon. Dua orang yang menaikinya pun terjatuh.

"Hahahahahaha," Tawa mereka berdua tidak berhenti. Dengan goresan-goresan akibat gesekan itu, darah merembes keluar, mereka terlihat senang.

"Parah lu Mek, ga bisa sepedaan," Pahmi segera berdiri, juga mengangkat sepeda yang tadi terjatuh itu.

"Gue gatau kalo sepeda semenantang ini, Mi. Jaga keseimbangannya susah, terus lu juga gowesnya kecepetan, jadi kaki gue ga bisa nyentuh tuh si pedal,"  Mekae berdiri membersihkan pakaiannya yang banyak daun juga tanah yang menempel. Mereka berdua tertawa lagi.

"Hayu naik lagi, gue depan," Ucap Pahmi.

"Pelan-pelan ya, awas kalo cepet-cepet kaya tadi, gue culik semua boneka minion lu," Mekae naik jok belakang. Kaki satunya ke pedal dan kaki satunya masih menginjak tanah.

"1... 2... 3... Go!" Kali ini Mekae yang berteriak.

Mereka berdua benar-benar bersepeda kali ini. Dengan tempo yang tidak cepat juga tidak lambat. Mengelilingi komplek rumah mereka dan berakhir di lapangan bola komplek yang cukup jauh dari rumah mereka.

Keringat bercucuran, muka memerah, terlihat sekali kelelahan dan kehausannya. Mekae dan Pahmi duduk di pinggir lapangan bola itu.

"Gila, seru banget, Mi, tapi cape," Ucap Mekae masih mengatur napasnya.

"Iya, Mek, seru,"

"Btw, lu bau, belum mandi ya?" Tanya Pahmi sambil menutup hidung.

"Ini bau keringet, Mi" Mekae mencari pembelaan. Memang Mekae belum mandi, indera pencium Pahmi sangat tajam.

"Beda Mekae, ini bau orang yang belum mandi," Pahmi mengendus-endus Mekae.

"Ih, jauh-jauh lu dari gue, emang gue belum mandi, ehehe," Mekae segera menaiki sepeda seorang diri. Baru satu dua gowesan sudah terjatuh.

"Benar kata Ayah, sepeda ini harus dua orang atau gue bakalan kesusahan," Ucap Mekae dalam hati,

"Mi, ayo cepetan pulang, gue mau mandi," Mekae berdiri lalu memberdirikan sepedanya.

Mereka berdua kembali bersepeda meninggalkan lapangan bola komplek menuju rumah Mekae.

----

Vomments^^
Vomments bisa menambah semangat oey. Makasih^^

Bukan Homo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang