Capeeee

1.2K 118 37
                                    

Perjalanan belum selesai.

Untung di kereta mereka tidur terus jadi udah ada energi buat berjuang lagi. Berjuang naik bis kota.

Sesampainya di terminal, Mereka berpegangan tangan karena takut hilang satu sama lain.

Barisan bis berbagai jurusan itu tertata rapi menyala siap untuk berangkat.

Lalu lalang mang cangcimen, mineral, tisu, dan banyak sekali orang-orang yang membawa tas besar keluar masuk terminal.

Pahmi dan Mekae berebutan naik ke bis jurusannya.

Mekae duduk dekat jendela dan Pahmi berada disebelahnya. Banyaknya orang-orang di bis membuat suasana pengap. Bau bis terhirup sesak. Udaranya panas, tidak ada AC.

Untuk menghemat biaya, Pahmi sengaja memilih bis yang ekonomi. Mekae ga mau tau apa-apa yang penting nyampe.

"Pah, laper," Ucap Mekae ditengah ketidaknyamanan ini.

Kokokokok... (ceritanya ini suara ayam)

"Denger ga, Pah? Ada suara ayam. Makin laper nih," Lagi-lagi Mekae bilang dirinya lapar. Mukanya pucat kaya 3 hari belum dikasih makan. Mana bisnya udah maju, jadi ga bisa beli makan dulu.

"Sama Mek, gue juga laper, coba kita liat di dalem ransel ada makanan apa kaga," Pahmi membuka ranselnya, mengodok-ngodok isi ransel yang padat sama pakaian mereka berdua.

Terlihat dua bungkus roti isi coklat yang sudah penyet berdesakkan di dalam ransel Pahmi.

"Gapapa, Mek?" Tanya Pahmi, mengeluarkan roti itu dan membuka bungkusnya.

"Daripada mati kelaperan ye kan," Mekae menyambar roti itu dengan cepat.

Rotinya habis dalam waktu kurang dari 5 menit.

Asal tahu aja, mereka masih kelaparan.

Mekae mengambil hp dan headsetnya dari ransel Pahmi, memutar lagu We Don't Talk Anymore, Charlie Puth ft. Selena Gomez. Menutup matanya, menghayati lagu dan bersandar di bahu Pahmi. Itu posisi ternyamannya Mekae di bis pada saat itu.

Mata Pahmi tetap terbuka lebar, memperhatikan sekitar, takut kelewatan terminalnya atau ada copet. Ternyata sekarang sudah jam 20.30, pantas saja jalanan tidak macet dan bis melaju dengan cepat.

Penumpang di bis sudah cukup sedikit meskipun belum sampai terminal akhir. Mereka turun di tempat pemberhentian bis pinggir jalan.

Mekae tertidur dengan headset yang masih menempel di telinganya. Pahmi yang menyadarinya melepas headsetnya dan kembali memperhatikan sekitar.

Jam 21.00

Jam 22.00

Jam 23.00

Pak supir berhenti sebentar di rest area, pengen pipis katanya.

Saat pak supir tidak ada, banyak sekali mang mang cangcimen, tisu, dan mineral. Lagi.

"Itu mineral berapaan, mang?"

"Lima ribu rupiah ajalah," Kata si mang mineral menyodorkan sebotol mineral ke Pahmi.

"E gila mahal amat, di warung deket rumah dua ribuan perasaan," keluh kesah Pahmi hanya dipendam didalam hatinya.

Ia terpaksa membeli mineral itu karena emang butuh dan itung-itung beramal juga kan bersedekah.

"Oke sip, atiati di perjalanan ya, biasanya bis jadwal malem rawan itu," Bisik mang mineral ke Pahmi yang sedang berusaha membuka tutup botol mineral itu.

"Rawan itu? Apaan?" Tanya Pahmi penasaran. Pikirannya mulai bercabang-cabang. Apakah akan ada hantu, copet, tersesat atau kejadian horor lainnya.

"Udahlah jangan dibahas, semoga terjadi, btw, ko beli 1 aja sih, kan temennya juga pasti haus tuh, harusnya beli 2," Mang mineral menepuk bahu Pahmi sambil menunjuk Mekae yang masih lelap di bahu Pahmi.

"Hemat air yang ada di bumi, Pak. 1 botol cukup buat berdua ko," Pahmi berdalih dengan cukup bijak. So soan gitu, padahal mah ga punya uang itu.

Mang mineral pergi dengan sedikit kesal. Tidak hanya mang mineral, mang-mang lainnya juga sedikit kesal karena tidak ada yang membeli.

Pak supirpun datang, memanaskan mesin bisnya dan segera melaju.

Pahmi masih berusaha membuka tutup botol mineral itu sampai urat-uratnya mencuat keluar.

Beberapa menit kemudian, dia berhasil.

Selamat Pahmi, tidak ada usaha yang sia-sia.

Saat Pahmi akan meneguk air, Mekae terbangun. Tangannya menyenggol botol yang sedang tidak dicengkram dengan kuat.

"Jam berapa sekarang, Pah?" Tanya Mekae yang masih setengah sadar itu. Tubuhnya masih mengumpulkan nyawa dan mulai membenarkan posisinya.

"Mineral lima ribuan," Pahmi menatap botol mineral yang menggelinding itu dengan mata berkaca-kaca. Airnya mengalir kemana-mana. Hausnya pun tidak terobati.

"Haus, Pah" Ucap Mekae lagi merogoh ransel dan ternyata tidak menemukan setetes airpun.

"Bodo amat, Mek," Pahmi kesal. Ya wajar aja Pahmi kesal. Dia sudah beli mahal, haus juga, tapi dijatuhkan dengan mudah dan sekarang botolnya menggelinding kesana kemari, kadang tersangkut di bawah kaki penumpang lain.

Akhirnya mereka berdua diem-dieman. Beberapa jam berlalu, sampailah di terminal. Banyak bis berjajar, ada yang baru berangkat, ada yang baru sampai, hanya saja mang cangcimennya hanya satu dua orang.

Tinggal naik angkot deh.

Eh?

Apa?

Naik angkot jam segini emang ada ya?

"Jam 2 pagi angkot udah operasi belum sih, Pah?" Tanya Mekae sambil menendang batu-batu yang ada di tanah.

"Sepi gini jalanannya, lumayan 3 kilo, kalo naik angkot tujuh ribuan, ojek aja gitu ya?"

"Ada ojek emang?" Mekae melirik ke kanan ke kiri, ke sekeliling terminal dan tidak ada tanda-tanda ojek atau angkot disini.

"Ini jam 2, kita lagi di terminal, bingung ga ada transportasi buat ke rumah nenek gue, ini jam 2, kita haus, ini jam 2, Pahmi ngantuk, ini jam 2, kita cape, ini jam 2, Pah perjalanan kali ini seru banget,"  Mekae kegirangan. Senang dengan perjalanannya padahal dia cuma tidur daritadi.

"Malah seneng ni anak, gue ngantuk banget belum tidur dari tadi, bawa ransel juga berat, masa tidur di terminal kaya anak jalanan?" Pahmi jongkok putus asa. Memeluk lututnya dan menundukkan kepalanya.

Mekae sadar.

Yang paling berkorban adalah Pahmi. Mengatur segalanya, memperhatikan segalanya, tapi, biarkan Mekae kali ini yang berkorban.

Mekae jongkok di depan Pahmi, "Lu tidur aja di punggung gue yang enak ini, gue gendong sampe rumah nenek gue, gue hafal jalannya kok, lu udah cape daritadi."

Pahmi bengong sejenak, lalu naik ke punggungnya Mekae. Untung kurus, jadi ga berat-berat amat.

Mekae menggendong Pahmi sampai rumah nenek Mekae yang berjarak 3 kilometer itu. Pahmi tertidur di gendongannya.

Setelah 1 jam lebih 15 menit tanpa transportasi, akhirnya mereka sampai di rumah nenek Mekae.

Kakinya udah ga kuat jalan lagi, badannya pegel, Pahmi juga masih terlelap.

"Capeeeee," Teriak Mekae sesampainya di rumah neneknya itu.

Merekapun tertidur di teras rumah nenek Mekae sampai pagi.

---

Maap lama updatenya

Jangan lupa Vomment, thanks!

Bukan Homo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang