Reni?

1.2K 115 29
                                    

Hari ini sekolah libur karena kelas 12 melaksanakan USBN. Mekae dan Pahmi berencana untuk menjenguk nenek Mekae di kampung halaman yang cukup jauh.

Mekae dan Pahmi ditugaskan Ibu Mekae untuk menjaga neneknya disana selama mereka libur. Tidak lupa mereka membawa tugas dari sekolahnya untuk dikerjakan disana.

Tidak satu dua kali seperti ini, hampir setiap liburan Mekae dan Pahmi ke rumah nenek Mekae. Ibu Pahmi pun tidak mempersalahkannya.

"Mekae, Pahmi, hati-hati ya," Ucap Bunda.

"Jangan lupa kerjakan PR," Ibu memberikan tas ransel ke Pahmi.

"Assalamualaikum," Mekae dan Pahmi pun berangkat ke stasiun.

Untuk sampai di rumah nenek Mekae, membutuhkan turun naik angkutan. Pertama naik kereta, lalu naik bis dan terakhir naik angkot.

Baru 5 menit kereta berlari, Mekae dan Pahmi tertidur. Saat terbangun, mereka terus menempel pada jendela kereta.

Melihat indahnya pemandangan dan mengejek para pengendara jalan raya yang terdiam menunggu palang kereta dibuka karena kereta mereka lewat. Maklum jarang naik beginian.

"Mek, bentar lagi kita turun," Pahmi menggendong ransel kembali. Mekae ga bawa ransel. Barang-barangnya dimasukkan secara paksa ke tasnya Pahmi karena ia tidak mau ribet.

Sabar ya Pahmi.

"Yah, kok udah nyampe lagi sih, btw pusing, kemasukan ini mah," Mekae mengusap perutnya dan memonyongkan bibirnya kesal.

"Hah? Kemasukan apaan?" Tanya Pahmi kaget.

"Angin," jawab Mekae, lalu di berdiri.

"Lemah, baru perjalanan segini aja udah pusing gitu," ejek Pahmi dan ikut berdiri bersiap turun.

"Beneran anjir pusing banget, mules, pengen muntah," Mekae menghentak-hentakkan kakinya ingin segera turun.

"Kalem ini dikit lagi,"

Kereta berhenti. Berdesak-desakkan. Yang mau naik, yang mau turun, semuanya tidak teratur.

Setelah beberapa menit berjuang di medan terjal menyulitkan, Mekae dan Pahmi sampai di peron stasiun.

Jam 16.18

"Pah, tungguin, gue kamar mandi dulu, wek, ga enak ini," Mekae berlari tanpa menunggu jawaban Pahmi menuju toilet umum di stasiun.

"Lah, dia bawa uang kaga ya, eh, bayar ga si? Ah, bodo amatlah." Pahmi mencari tempat duduk, dan berhasil.

Pahmipun duduk dengan santai, menikmati pemandangan ramai stasiun.

Tiba-tiba, matanya menemukan seseorang yang tak asing. Sontak berdiri dan memperhatikan kemana arah orang itu. Dia adalah Reni. Reni Suryati.

"Reni? Dia ngapain kesini? Butuh 2 jam pake kereta kesini tuh," pikirannya bertanya-tanya.

Reni dan dua orang temannya memakai baju yang seksi. Dandanan yang tebal dan membawa tas mahal. Aneh. Di sekolah, Reni tidak terlihat seperti ini.

Dia memutukan untuk mengikuti kemana tiga gadis itu pergi.

Dan ...

Sampailah di tempat karaoke.

"Em, hey, apa yang dia lakukan? Itu tidak terlihat seperti tempat yang baik," Batin Pahmi. Maklum, di sekitar tempat tinggalnya tidak ada yang seperti ini.

Pahmi menunggu, memperhatikan yang masuk dan keluar, kebanyakan tante-tante dan om-om, berpakaian dengan jas tapi mabuk, wanita penggoda dan beberapa anak SMA yang masih memakai seragam.

Pahmi semakin penasaran.

Setelah 15 menit menunggu, Reni dan seorang pria tampan sekitar 27 tahunan keluar dari tempat karaoke tersebut. Reni tampak pucat dan tidak nyaman, tapi pria itu terlihat menikmatinya.

"Maaf, sepertinya ini bukan jalan yang benar untuk ke stasiun, tadi tidak ada toko ini," Reni menunduk sambil terus berjalan.

"Siapa yang bilang kita akan ke stasiun, gadis manis?" Ucap pria itu mengangkat dagu Reni.

"Jika dilihat dari dekat, semakin manis saja," Lanjut pria itu.

"Tapi, tadi, anda bilang ke teman saya untuk mengantar saya ke stasiun karena saya terlihat tidak enak badan. Saya be-be-benar tidak e-enak badan," Reni memalingkan wajah dari pria itu.

"Itu hanya alasan, cantik. Saya akan menyembuhkanmu dengan cara saya. Kita sudah sampai,"

Deg.

Gang besar tapi sepi. Jarang sekali orang yang lewat dan terlihat individualis. Tidak peduli sekitar.

Berdiri sebuah bangunan besar, tercantum besar dengan tulisan bergelombang "Hotel Bulanmatahari".

Hotel indah, nyaman, biasanya orang-orang yang berlibur di kota ini pasti menginap di hotel ini, karena pelayanan dan fasilitasnya.

"Tidak. Saya tidak mau masuk kesana. Saya tidak memberikan harga diri saya," Reni mendorong pria tersebut.

"Tidak sopan. Kamu sudah kehilangan harga diri sejak dirimu masuk ke tempat karaoke itu meskipun kamu tidak melakukan apa-apa, lihatlah dirimu, seksi, cantik, mungil, bagaimana aku akan tahan?" Pria itu melingkarkan tangannya ke pinggang Reni.

Itu masih di depan hotel, di tengah jalan. Untung ga ada kendaraan yang lewat jalan itu.

Tangan pria itu mulai turun ke bawah, Reni mulai menangis berusaha melepaskan tangan pria yang memeluknya dan membisikkan "Masuklah denganku,"

Pahmi memunculkan diri. "Reni, si Mekae sama yang lain udah nunggu, ayo kita pergi dan hey om mesum, pergi jauh jauh dari dia atau anda ingin masuk rumah sakit karena ulah teman-temanku," Pahmi berteriak dari ujung gang, bersinar pancaran pahlawan kesiangan. Langit kemerahan dan angin yang berhembus membantu aura kepahlawanannya meningkat. Tambah keren, sedikit.

"Cih, apa-apaan," Pria itu merapikan jasnya dan masuk ke hotel itu sendirian sambil menelpon.

Reni berlari memelukku dan menangis sesenggukan. Ingus dan air matanya membasahi jaket yang ia kenakan.

Pahmi mengintip jam tangannya dan tersadar dia telah meninggalkan Mekae di stasiun.

"Ren, gue harus ke Mekae, dia di stasiun, lu bisa pulang sendiri? Ayo ke stasiun bareng," Pahmi melepaskan pelukannya Reni yang masih mengeluarkan air-air dari wajahnya.

Reni mengangguk tanda setuju.

Sesampainya di stasiun, Pahmi duduk lagi di tempat duduknya tadi saat berpisah dengan Mekae, tapi, sekarang bersama Reni yang sudah memegang tiket untuknya pulang.

"Thanks Mi, tapi harusnya lu hajar tu orang, biar tau rasa," Reni memukul angin dengan kepalan tangannya memperagakan apa yang harus dilakukan Pahmi tadi.

"Gue ganteng juga pinter, tapi, sayangnya, gue ga kuat, liat otot gue kaya hiasan kecil doang,"

Mekaepun menghampiri mereka berdua setelah menerima sms dari Pahmi bahwa ia masih menunggu di tempat tadi berpisah dengannya.

"Kampret lu, Pah. Gue jadi kaya anak ilang," Mekae kesal dan menendang pelan kaki Pahmi.

Mereka bertiga pun tertawa bersama di stasiun.

---

Vomments^^
Jangan jadi silent readers wahai readers tercintaaah
Vomments bisa menambah semangat oey. Makasih^^

Bukan Homo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang