"CEPAT! KEARAH GUDANG!" Teriakanku terdengar sangat keras ditengah hutan, atau bisa dibilang TEMPAT MAKAN MUTAN.
DAAAARR! Tendangan keras dariku menghantam pintu kayu gudang tua di tengah hutan itu.
Kami semua berlari masuk kedalam gudang, berlindung. Ada 5 orang di sana, Aku, Prof. Green, Mike, dan 2 temannya, Trench dan Franco. Mike memberiku pistol jenis Glock 17 dengan kaliber 9mm, menembus kepala mutan dengan satu tembakan.
"Kami akan menjaga pintu depan." Kata mike menatapku dan Prof. Green bergantian.
"Kita harus segera mengontak tim Alpha, Beta, dan Delta. Petunjuk lokasi, dan lainnya." Kata Franco sambil menahan pintu gudang yang digedor para mutan.
Suasana seketika menegangkan. entah kita jatuh dimana-yang pasti disekitar hutan Congo. tempat itu telah dikarantina pihak PBB dan WHO seminggu yang lalu.
"Sepertinya ada radio dan Transmiternya di bagian kokpit pesawat." Jawab Trench yang mengisi amunisi senjatanya dengan cepat. "Entah dimana kokpit itu terletak, terputus dari badannya."
"Lebih baik kita bermalam disini, tempat ini lebih aman." Kataku sambil membidik pintu, siapa tahu mutan itu menerobos masuk.
"Eh, Mike. Coba kau lihat petamu dan cari pangakalan militer terdekat." Perintahku sambil menatap pintu kayu itu, sangat serius.
Mike mengambil peta dari tas punggungnya. Wilayah perkemahan sementara, juga markas PBB tercantum didalamnya.
"Kita berada disini." Kata Mike sambil menandai titik di peta. "Markas terdekat berada sekitar 100 km kearah selatan dari sini. Tepatnya pangkalan militer Brazzaville." Jelasnya. "Itu berarti memakan waktu 1 hari."
"Kita berarti punya 2 pilihan. Pilihan A, kita berjalan 24 jam ke markas terdekat, Brazzaville. atau pilihan B, Mencari kokpit pesawat yang terletak agak jauh dari pohon itu." Ujarku sambil menunjuk pohon besar dengan ranting yang hampir patah menahan satengah badan pesawat.
"Kedua rencana itu agak gila, Walter." Kata Mike dengan tatapan khawatir. "Tapi sepertinya lebih baik kita mengikuti rencana B."
"Franco dan aku juga setuju rencana mu tadi, Dokter." Kata Franco dengan agak ragu.
Professor Green mengangguk meng-iyakan rencanaku, kita akan bersiap segera.
"Baik kalau begitu, kita akan menyelinap. Jangan membuat suara sedikitpun, gunakan senjata jika darurat, aku tidak ingin menjadi makanan mereka."
Semua orang bersiap-siap. Trench dan Franko mengisi senjata mereka dan menaruhnya dipunggung. Memakai pisau jauh lebih aman daripada memancing mutan dengan ledakan laras senjata.
Prof. Green mengambil pistol Glock milikku, memegangnya dengan erat. Mike memasang bidikan thermal di senjatanya, juga peredam di larasnya.
Sedangkan aku? Sepertinya aku memilih Pistol Desert Eagle kaliber 9mm, memasangkannya dengan peredam. Aku mengambil pula pisau kombat dari ransel Mike, kombinasi yang cocok.
Pintu gudang kubuka perlahan. Decitan pintu terdengar mengagetkan, semoga para mutan tidak tertarik. Hutan itu, terisolasi. Entah bagaimana kami bisa keluar dari sini.
"Baiklah, berhati-hatilah. Dan ingat, jangan ada yang mati." Kata Mike dengan serius, terlihat sedikit mengancam.
Terlihat gumpalan asap mengupul dengan samar-samar diatas hutan, sepertinya itu dari kokpit.
Menyelinap bagai singa mencari mangsanya, aneh, sebenarnya kita berada diposisi "Dimangsa". Pikiranku campur aduk. Adrenalin menyatu dalam darahku, sensasi yang menyenangkan sekaligus menyedihkan.
"Tumben sekali, tak ada mutan disini." Gumamku.
Tidak seperti biasanya. Aku pernah menjelajahi hutan, banyak mutan disana, entah mengapa disini sepi. Kesunyian menghantui hutan, bahkan disiang hari terlihat gelap disini, tertutup dedaunan.
Kokpit pesawat menyangkut diatas dahan pohon raksasa itu. Aku tidak tau bagaimana itu terjadi, mengerikan.
"Sepertinya kita butuh tali tambang, Mike."
"Franco, keluarkan grappling gun, bidik dahan itu." Mike langsung mengambil alih situasi.
Tali tambang meluncur dari dalam Grappling gun, ujung tombak menusuk dalam dahan pohon itu.
Mike dengan cepat memanjat tali. Tombak terlihat kuat menancap dahan pohon. Aku pun menyusulnya.
Kokpit masih berasap, bekas darah terlihat dari hidung pesawat yang hancur remuk, menyisakan sedikit bagian kabin yang tersangkut di dahan. Semoga radionya masih utuh.
Mike mengulurkan tangannya, membantuku naik. Potongan kabin pesawat sedikit bergoyang, decitan besi dan kayu terdengar, samar-samar.
"Tidak mungkin!!" Kata mike dengan tubuhnya membelakangiku. "Radionya masih berfungsi."
Suara frekuensi acak terdengar dari radio militer itu. Mike mengotak-atik radio itu, setidaknya masih berfungsi. Aku mencari barang yang tersisa disana. Peti militer terselip disela pintu depan, sepertinya penting.
Terdapat GPS didalamnya, menguntungkan. Sedikit amunisi, pistol, pisau kombat, dan...
Buku apa ini??... Tebal, 4 cm. Huh... hanya manual pesawat, tidak terlalu menarik.
"Sebaiknya kita bergegas, Mike. Hari menjelang sore."
Warna langit dengan cepat berubah. Pemandangan cukup bagus dari atas sini, bunker terletak cukup dekat.
Aku turun duluan, memegang erat tali tambang, Mike menyusul. Ditengah jalan kebawah, entah suara apa yang aku dengar. Retakan, gawat!
Krtaaakkk! Buuukkk!
"Astaga, kalian tidak apa-apa?" Tanya Franko dengan cemas.
Trench muncul dari dalam semak-semak, terbirit-birit.
"Kita perlu pergi dari sini, Cepaat!!"

KAMU SEDANG MEMBACA
CURE
Science Fiction"Last hope, this is our last hope" (Baca deskripsi???) Dunia dilanda wabah mengerikan. Virus cerebrum comedenti, atau dikenal dengan Virus X yang berasal dari German ini telah menginfeksi lebih dari 1/8 dari dunia dan bertambah. Harapan sepertinya t...