Decision 1-Kesedihan Berujung

244 14 0
                                    

Mentari mulai menerpa dibalik tirai jendela kamar seorang wanita itu.

Awan tidak lagi terlihat kelam, menyisakan warna cerah di atas sana. Kicauan burung terdengar jelas bagai sebuah nyanyian merdu di pepohonan. Sementara riuh angin yang juga begitu menderu membuat wanita itu memilih untuk kembali menarik selimutnya seperti tidak ingin kehilangan mimpi yang sedari tadi menemani tidurnya.

Alarm yang berada di atas nakas itu terdengar kembali berbunyi untuk mematuhi perintah si empunya.

Adila yang menyadari hal itu lantas sedikit tersentak kager saat melihat jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Ia terlihat memaksakan dirinya untuk segera bangun dan bersiap-siap agar pergi ke Sekolah seperti biasanya.

Kesedihan kini tentu saja masih terpenjara di dalam dirinya. Akan tetapi, ia tidak ingin berlarut terlalu lama dalam kesedihannya setelah mendengar kabar buruk bahwa kedua orang tuanya dinyatakan meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat tujuh hari yang lalu.

Dan, terlebih menyayat hatinya mayat kedua orang tuanya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang. Beberapa penumpang lain juga mengalami nasib yang sama.

Ingin rasanya Adila menolak takdir buruk yang sudah terjadi. Namun, ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima kesedihan yang akan berkepanjangan dan berdampak besar dalam hidupnya.

Lamunan Adila spontan buyar saat menyadari bahwa dirinya tengah berdiri menatap wajahnya di depan sebuah cermin di kamarnya.

***

Adila segera menuruni satu persatu anak tangga untuk turun ke bawah setelah selesai dengan segala sesuatunya yang hendak pergi ke Sekolah.

Ia mendapati keberadaan dua orang yang tengah duduk di ruang makan.

"Selamat pagi, Sayang." ucap Nenek lengkap dengan senyumannya.

"Pagi." balasnya yang juga balas tersenyum ke arah mereka.

Adila ikut mendudukkan tubuhnya di kursi yang berada di hadapan mereka dan mengambil sebuah roti sebagai asupannya pagi ini.

"Adila," tegur Nenek yang spontan membuat Adila sedikit terlonjak kaget saat melihat selai di atas rotinya berlebihan. Ia tidak menyadari bahwa sejak tadi dirinya sedang melamun.

Nenek terlihat menghampiri keberadaan Adila dan mengusap bahunya pelan. "Mereka sudah tenang di atas sana. Adila harus belajar ikhlas, ya." ucap Nenek memberi nasihat.

Adila menganggukkan kepalanya pelan seolah menerima begitu saja keadaan yang terasa menyakitkan. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan sedih yang ada dalam dirinya saat ini atau bahkan ke depannya.

Ia beralih menatap sendu ke arah wajah dan Kakek dan Nenek bergantian. "Adila sangat berterima kasih sama Kakek dan Nenek karena sudah bersedia menemani Adila di sini."

Kakek dan Nenek lantas saling berpandangan sekilas dan tersenyum hangat ke arahnya.

"Itu sudah menjadi tugas Kakek dan Nenek untuk selalu menemani Adila." balas Kakek.

"Mulai sekarang, Adila harus semangat." ucap Nenek. "Kesedihan itu wajar kita rasakan sebagai seorang manusia biasa di dunia ini. Nenek juga sangat merasa kehilangan sama seperti Adila. Tapi, kita juga harus bisa menerima kenyataan hidup sekali pun sulit untuk kita terima dan jalani." ucap Nenek pula.

"Terima kasih sudah menjadi bagian dari hidup Adila."

***

Adila sudah berada di kawasan Sekolah SMA Kebangsaan sejak beberapa menit yang lalu.

Ia kini tengah berjalan melewati setiap koridor kelas untuk segera sampai menuju Kelasnya.

"Selamat datang kembali, Adila." ucap mereka serempak saat melihat Adila baru saja sampai di depan pintu Kelas.

Mereka adalah sahabat Adila sejak awal masuk ke Sekolah Menengah Atas ini yaitu Kinan, Tara, dan Mecca.

"Apa kabar, Dil?" tanya Kinan saat Adila sudah mendudukkan tubuhnya di kursi tepat di sampingnya. Mengingat sudah satu minggu Adila izin tidak masuk sekolah dikarenakan masih dalam keadaan berduka sekaligus tidak menyangka dengan kejadian yang menimpa kedua orang tuanya itu.

Sementara Tara dan Mecca hanya menatap Adila seperti sedang menunggu jawaban dari pertanyaan Kinan.

"Gue udah jauh lebih baik kok." jawab Adila seraya tersenyum kepada mereka.

Kinan, Tara dan Mecca terdengar menghembuskan nafas lega.

"Jangan sedih lagi ya, Dil. Kita semua selalu ada kok buat Adila." ucap Tara seraya menggenggam erat tangan Adila seolah menguatkannya.

"Tuhan pasti punya rencana baik setelah ini." tambah Mecca.

Adila menganggukkan kepalanya pelan dan masih mencoba untuk tetap tersenyum kepada mereka. Namun dibalik kesedihan yang menimpanya saat ini dirinya bersyukur karena masih dikelilingi orang-orang baik dalam hidupnya.

"Terima kasih udah mau jadi sahabat gue selama ini."

***

Jam sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB menandakan bel pulang Sekolah berbunyi.

Beberapa Siswa dan Siswi terlihat berkeluaran dari Kelas masing-masing. Begitu juga dengan Adila dan Teman-temannya yang juga sudah keluar dari Kelas.

Namun, Adila ke luar lebih awal dari mereka karena ia ingin pergi ke Toilet dan meminta kepada Teman-temannya untuk menunggu dirinya di gerbang Sekolah saja.

Adila mengamati sekilas wajahnya yang terlihat pucat saat di depan cermin dan segera membasuhnya. Ia tidak ingin orang-orang yang berada disekelilingnya mengkhawatirkan keadaan dirinya lagi.

Ia menarik nafas dan menghembuskannya pelan untuk menetralisir keadaan dirinya saat ini. Lalu ia beralih untuk merapikan seragamnya yang tampak sedikit berantakan sambil berjalan ke luar Toilet hingga ia tidak menyadari bahwa telah menabrak tubuh seseorang yang berada di hadapannya.

"Maaf." ucap Adila merasa bersalah dengan sikapnya.

"Nggak apa-apa, gue yang salah. Gue minta maaf."

Adila hanya menganggukkan kepalanya lalu berjalan pergi meninggalkannya.

Sementara laki-laki itu hanya menatap kepergian Adila yang semakin menjauh dari pandangannya.

***

Terima kasih buat kalian yang sudah baca part ini. Jangan lupa untuk vote dan beri masukan kalian di kolom komentar ya!

Salam hangat dari Penulis.

DECISION [Segera terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang