Decision 19-Rindu

37 5 0
                                    

Pagi ini Kakek akan menyerahkan beberapa berkas persetujuan operasi pembedahan pada selaput otak Adila sekaligus ingin memberikan data identitas Adila dan surat rujukan yang asli. Sebelumnya hanya berbentuk email yang dikirimkan oleh Rumah Sakit di Indonesia untuk membantu proses yang lebih cepat dan akurat jika Pasien sudah dalam kondisi kritis dan mengkhawatirkan.

Kakek memandang sekilas ke arah selembar kertas yang baru saja ia tanda tangani di hadapan Nenek setelah baru saja sampai di tempat Resepsionis.

Tanpa disadarinya setetes cairan bening itu jatuh di pipinya. Namun dengan segera ia menepisnya.

"Excusme, this is the consent letter that i signed on behalf of the patient Adila Tsabina. (Permisi, ini surat persetujuan yang sudah saya tanda tangani atas nama pasien Adila Tsabina.)" ucap Kakek dengan nada suara yang sedikit serak akibat menahan tangisnya.

"Thank you, we will process it shortly. We wish the patient a speedy recovery. (Terima kasih, kami akan segera memprosesnya. Semoga pasien cepat sembuh.)" balas Resepsionis wanita itu disertai dengan senyum ramah saat mengambil surat persetujuan itu.

"Aamiin, thank you. (Aamiin, terima kasih.)" ucap Kakek yang langsung berjalan pergi untuk segera menuju ruangan Adila.

Kakek mendudukkan tubuhnya di kursi ruang tunggu yang tak jauh dari keberadaannya. Ia mengusap wajahnya kasar saat mengetahui kenyataan ini sangat berat untuk ia jalani.

"Ya Allah, kenapa harus cucuku yang menanggung semua penderitaan dan kesakitan ini? Kenapa bukan aku saja?" racau Kakek dengan air mata yang masih saja turun membasahi pipinya.

"Aku sudah kehilangan satu-satunya anak perempuan dan menantuku. Aku tidak menginginkan kehilangan lagi Ya Allah."

"Aku mohon."

"Are you okay? (Apakah kau baik-baik saja?)" tanya seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di hadapan Kakek.

Kakek dapat melihat dengan jelas seorang laki-laki yang jauh lebih muda darinya sedang menatap kasihan ke arahnya.

Kakek menganggukkan kepalanya pelan.

Laki-laki itu hanya membalasnya dengan sebuah senyuman lalu berjalan pergi meninggalkan keberadaan Kakek.

Begitu juga dengan Kakek yang seketika bangkit untuk kembali melangkahkan kakinya keruangan Adila.

"Semoga ini adalah cara yang terbaik untuk kesembuhan Adila."

***

"Adila apa kabar ya di sana?" tanya Tara dengan raut wajahnya yang menggambarkan kekhawatiran.

"Iya, gue kangen." lanjut Mecca.

Kinan menghela nafas berat. Ia kini tengah mengamati setiap siswa dan siswi yang memasuki pagar sekolah dan berharap ada sosok Adila yang datang berjalan menghampiri keberadaan mereka.

"Gue juga." tambah Kinan pula.

"Trus kita harus gimana?" tanya Tara lagi.

Mecca mengubah posisinya yang sebelumnya berdiri disamping Kinan menjadi bersandar di dinding kelasnya. "Kita harus melakukan sesuatu." jawab Mecca dengan tatapan serius diwajahnya.

Kinan spontan membalikkan tubuhnya agar menghadap ke arah Mecca.

"Apa?" tanya Tara penasaran.

"Pergi nyusul ke Singapore?" tanya Kinan asal.

"Kenapa enggak?" bantah Mecca.

Kinan kembali memposisikan dirinya seperti di awal. "Gue nggak yakin kita bisa dapat izin secepat itu dari Kepala Sekolah dan orangtua kita sendiri." peringat Kinan akan hal itu.

Kini giliran Mecca yang menghela nafas berat. Ia sampai tidak kepikiran dengan hal penting itu.

"Jadi harus berapa lama lagi kita nungguin Adila?" tanya Tara lagi dan lagi.

"Gue sih berharap saat ini Adila lagi sama kita, Tar. Bukan tentang harus nunggu berapa lama lagi." jawab Mecca seadanya.

Kinan menganggukkan kepalanya seolah setuju dengan perkataan Mecca.

Tara seketika memeluk tembok yang berada di sampingnya.

"Tara kangen Adila."

***

"Gue dengar dari kelas sebelah Adila dirawat di Rumah Sakit Singapore ya, Nat?"

"Gue nggak nyangka kondisinya bisa sampai separah itu."

"Kira-kira sampai kapan ya Adila dirawat di sana?" tanyanya untuk kesekian kalinya kepada seseorang yang sebenarnya tidak terlihat peduli dengan pertanyaannya bahkan keberadaannya.

Sementara seseorang yang diajak berbicara masih saja dengan posisi tubuhnya yang menduduki tembok di depan kelasnya seraya menatap lurus ke arah depan.

"Gue nggak tau." jawabnya singkat tanpa menatap ke arah lawan bicaranya.

Rian kini menatap intens ke arah Natta seolah mencari sesuatu yang berubah darinya. Karena tidak biasanya Natta bersikap dingin seperti ini.

Rian yang semakin penasaran dengan Natta pun berniat untuk menanyakan hal lain lagi kepadanya. "Bukannya hampir satu sekolah tau kalau lo sebelumnya dekat sama Adila?" tanya Rian ingin memastikan bahwa pernyataan itu benar.

Natta menggelengkan kepalanya seolah tidak setuju dengan pernyataan itu.

Rian mengerutkan keningnya kebingungan. "Lo kenapa sih, Nat? Kok jadi beda gini?"

Natta spontan mengarahkan pandangannya ke arah Rian. Ia sampai kesulitan untuk meneguk salivanya saat melihat wajah serius Natta.

Sepersekian detik kalinya Natta memilih untuk berjalan pergi meninggalkan keberadaan Rian.

Rian pikir Natta akan mengatakan sesuatu kepadanya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Rian hanya mampu menatap kepergiannya tanpa harus bertanya lebih banyak lagi.

"Kayaknya ada yang nggak beres nih sama si Natta."

***

Terima kasih buat kalian yang sudah baca part ini. Jangan lupa untuk vote dan beri masukan kalian di kolom komentar ya!

Salam hangat dari Penulis.

DECISION [Segera terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang