2

5K 363 3
                                    


Ririn

Acara tunangan Naila hari ini cukup meriah. Selain bertemu dengan teman-teman lamaku ketika bersekolah di Makassar.  Makanan khas kampung halamanku ini tidak pernah gagal membuatku jatuh cinta. Coto Makassar, ayam palekko, dan lain-lain sudah berhasil kulahap.

"Heran gue sama lo makan banyak tapi badan tetap mungil kayak gini." Ujar Naya sepupuku mengagetkanku.

"Selagi masih bisa turun yah dimakan Nay." Naya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku.

"Ayok ke sana dari tadi mereka pada nanyain elo tuh." Naya mengajakku ke tempat dimana di sana khusus keluarga besarku. Tante-tanteku yang terkenal karena kekepoannya berkumpul di sana.

"Eh tidak mauja deh, malu-malu ka' weh." Kataku menolak. "Ih jangko begitu. Jarang- jarang ko ke sini. Temuin mereka lah. Jangan jadi ponakan durhaka." Kata Naya terkekeh, dia pasti tahu alasan mengapa aku menolak bertemu dengan mereka.

"Ririn sayang tante dari tadi cariki' Nak mau foto." Tante Ana menyambutku dengan suara khasnya tentu saja dengan kata 'sayang' untuk keponakannya yang tidak pernah hilang.

"Makin cantik ajah." Tante Lia menambahkan. Aku hanya tersenyum dan berfoto-foto bersama saudari-saudari kandung dari ibuku ini. Selama lebih sejam aku bersama mereka dan syukurlah Rin tidak ada pertanyaan horor yang keluar dari mulut mereka. Belum juga semenit setelah aku berpikir seperti itu, Naya datang membawa pasangannya si dokter ganteng itu. Dokter ganteng sendiri adalah julukan dari tante-tanteku.

"Sudah makan Nak" Tanya tante Nia. Ibunya Naya pada dokter Dimas.

"Iye sudah Tante." Jawab dokter Dimas dengan senyuman yang sontak membuat tante-tanteku yang lain klepek-klepek. Aku hanya menggeleng melihat tingkah-tingkah mereka .

"Oh iya Rin, pacarmu waktu SMA itu bagaimana sekarang kabarnya? Tadi kenapa kakak tidak lihat padahal dulu waktu kalian SMA kalau ada acara pasti datang." Pertanyaan dari Kak Waty, kakak sepupuku yang berbeda 10 tahun denganku sontak membuat tante-tanteku fokus kepadaku.

"Oh iya yah yang tinggi itu. Putih, ganteng, mancung siapa lagi Rin namanya?" Pertanyaan ini sungguh di luar ekspetasiku.  Pertanyaan yang tak pernah kupikir dan kuharapkan sebelumnya. Pertanyaan yang seharusnya tak pantas kudapatkan. Karena sama sekali aku tidak pernah punya hubungan khusus dengannya.

"Sibuk mungkin Tan." Jawabku seadanya.

"Oh iya kali yah soalnya kan aparat negara jadi pasti sibuk. Tambah ganteng loh dia pakai seragam polisinya." Kata Tante Shinta sambil membuka ponselnya dan aplikasi instagram kemudian memperlihatkan foto seorang lelaki yang gagah dengan seragam polisi pada tante-tanteku yang lain.

"Deh tawwah Ipda-mi. Sudah kelihatanji memang dari dulu tawwah calon-calon perwira memang mukanya. "  Kata Tante Ana.

Aku hanya bisa termenung. Lucunya, mengapa tante-tanteku lebih tahu bagaimana kondisinya sekarang. Menghapus kontak dan memutuskan untuk tidak pernah mencari tahu tentangnya adalah cara agar aku bisa melupakannya. Melupakan semua hal-hal yang kami lewati atau lebih tepatnya melupakan rasa sakit ini. Juga aku berharap tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.

Ada suatu kalimat yang membuatku tertembak ketika membaca suatu buku.

'Orang yang menghindari masa lalu adalah orang yang tidak bisa menerima kenyataan dan orang yang tidak bisa menerima jalan takdirnya.'

Benar-benar kalimat itu menohok hatiku. Oke Rin, welcome to the past!

Siap 86!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang