3

4.8K 324 3
                                    


Ririn

"Hati-hati ya Rin. Ingat loh mentang-mentang lagi cuti jangan males bangun bantuin Mbak Tati juga lah." Pesan Ibu kepadaku. Yah, saat ini aku berada di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar dan akan kembali ke Jakarta. Si Ibu tidak ikut bersamaku, katanya masih rindu dengan Makassar jadi mungkin seminggu lagi baru balik. Sedangkan aku walaupun cuti sebenarnya ada pekerjaan yang harus kukerjakan dari kantor dan deadlinenya sudah semakin dekat.

"Iya Bu. Ririn berangkat dulu yah." Kataku pamit kepada Ibu juga keluarga besarku di Makassar. Sebenarnya berat juga sih rasa rindu akan hal yang berkaitan dengan Makassar belum terobati.

Setelah proses check-in aku langsung menuju ruang tunggu di lantai atas. Bayangan masa lalu tentangnya tiba-tiba saja menjalar di otakku. Tempat ini yang menjadi pelarianku 7 tahun yang lalu. Tempat ini yang membuatku tidak pernah bertemu dengannya setelah pernyataan itu.

"Brakk!" Suara apa itu? "Ya ampun maaf yah Mas." Kataku menabrak seorang laki-laki dan menjatuhkan tas yang ia jinjing, bisa kutebak itu tas milik istrinya dan benar saja ada perempuan yang usianya mungkin lebih muda 2 tahun darinya berdiri di belakang pria tersebut.

"Maaf ya Mbak." Pasangan muda itu hanya tersenyum. "Iya Mbak. Tidak apa-apa kok. Kita berdua juga tadi lagi buru-buru jadi menabrak Mbak."

Heh? Padahal kan yang nabrak aku. Beruntunglah Rin, pasangan ini bukan pasangan yang ribet. Aku lalu membantu pasangan itu membereskan barang-barang yang berserakan di lantai bandara karena ulahku.

"Makasih ya Mbak, kita duluan yah tadi udah ada panggilan naik ke pesawat." Kata si pria. Aku tersenyum mempersilahkan mereka.

"Iya hati-hati ya Mas, Mbak." Gara-gara memikirkan dia aku merugikan orang-orang yang berada di sekitarku.

Jadwal keberangkatanku masih ada satu jam lagi. Jadi aku memutuskan untuk ngopi dulu sambil menge-cek berkas-berkas yang masuk di emailku. "Terima Kasih." Suara nge-bass dari arah kasir itu mengingatkanku tentang, heh? Bukannya itu suara dia? Aku langsung menoleh ke kasir dan hanya menemukan ABG cowok berusia sekitar 17 tahun. Mungkin itu hanya halusinasiku sedari tadikan aku hanya memikirkan tentang dia. Lagi pula terakhir aku mendengar suaranya sekitar 7 tahun lalu dan pasti suaranya sudah berubah dong sama seperti teman-temanku yang lain ketika kami bertemu di acara Naila kemarin. Mending aku tidak usah ambil pusing, aku lalu melanjutkan pekerjaanku yang tadi tertunda.

Terlalu asyik memeriksa berkas-berkas juga membalas pesan-pesan yang tidak berfaedah datang bertubi-tubi di group WA yang anggotanya adalah aku dan sahabat-sahabatku membuatku harus sedikit berlari masuk ke dalam ruang tunggu dan naik ke pesawat. Penumpang lain pasti sudah kesal denganku. Bagaimana tidak jadwal keberangkatan harus tertunda 10 menit karena aku.

"Kursi Mbak di sebelah sini." Kata pramugari mempersilahkanku ramah. Aku membalasnya dengan tersenyum kemudian duduk tanpa memerhatikan di sekelilingku.

Ah, akhirnya aku dapat bernafas dengan lega setelah berlari sampai-sampai aku tak mengiraukan penumpang di sebelahku memakai topi hitam yang kulihat dari sudut mataku sedang asyik bermain game di gadgetnya. Sepertinya dia juga tidak merasa terusik karena kedatanganku. Dia tetap fokus pada game yang ia mainkan. Huh, dasar cowok mau dimana pun tidak pernah terlepas dari yang namanya game. Tidak mau kalah aku mengeluarkan novel dari tasku setidaknya kegiatan ini dapat mengurangi kebosananku selama penerbangan. Damn, aku tak sengaja menyenggol lengannya hingga gadget yang ia pegang terjatuh. Apalagi ini Rin?

"Maaf maaf aduh saya minta maaf Mas. Gadgetnya rusak ya? Saya siap ganti Mas." Kataku menunduk mengambil gadgetnya yang jatuh dengan kecepatan kata yah kalau kata orang-orang sih sudah seperti radio rusak atau bisa dibilang tidak ada remnya sama sekali.

"Ririn?" Lirihnya tak percaya. Aku mendongak dan waw rencana Tuhan memang tak ada duanya. Dia orang yang paling tidak ingin kutemui sekarang terjebak denganku di dalam satu pesawat dan lebih gregetnya lagi ia duduk di sebelahku.

"Mad?" Ucapku tak percaya. Dia tersenyum seolah tidak percaya sama apa yang dilihatnya.

"Ini bener kamu kan? Ini bener Ririn? Khairina Rarasati?"

Ternyata dia masih menghafal nama lengkapku dan entah mengapa sejak SMA aku sangat suka jika dia memanggilku dengan nama lengkapku. Aku tertawa dan menjadi tawa pertamaku sejak bertemu kembali dengannya setelah 7 tahun.

"Iya ini benar dengan Khairina Rarasati dan kamu benar Ahmad Aldric Ari Renindra?" Tanyaku sontak membuatnya tertawa. Tawa yang sudah lama aku rindukan. Tawa yang selalu kudengar ketika SMA dulu. Benar, kamu masih merindukannya Rin bahkan setelah usahamu yang keras untuk melupakannya. Jadi benar suara yang tadi aku dengar saat ngopi  tadi adalah suaranya.

"Apa kabar Rin? Gue kangen." Derr, tidak sepantasnya kata itu keluar dari mulutnya. "

Baik." Jawabku. "Selamat, impian lo jadi polisi terwujud." Lanjutku.

"Dan selamat buat lo sudah membangun ratusan sekolah buat anak-anak yang tinggal di daerah terpencil." Aku tertawa. Tawa keduaku sepertinya.

"Sok tahu dapat informasi dari mana tuh?" Tanyaku masih diikuti dengan tawa.

"Rin jangan berpikir selama ini gue nggak cari tahu tentang lo. Setelah apa yang semua kita lakuin di SMA."

Entah aku yang naif atau kamu Mad.

Aku langsung merasa pipiku merah ketika sadar Mad menatapku dengan tatapan yang sulit untuk dibaca. Aku berdehem, "Mad, gue ke toilet dulu yah." Dia terenyum mempersilahkanku. Senyum yang sejak SMA menghipnotis siapa pun melihatnya. Kakak kelas, teman angkatan, dan adik kelas dijamin baper saat melihat senyumnya.

Bohong. Yah, ini adalah kebohongan pertamaku sejak bertemu kembali dengannya. Aku tidak benar-benar ingin ke toilet. Hanya saja toilet adalah tempat yang pas untuk berhenti sejenak dari kecangguan ini. Sama sekali aku belum siap bertemu kembali dengannya.

"Ada yang bisa saya bantu Mbak?" Suara pramugari mengagetkanku. Saking groginya ya Rin. "Air putih ada Mbak?" Tanyaku. Oke, mungkin air putih bisa menetralkan perasaanku dan jantungku yang naik turun sekarang ini.

"Ada. Tunggu ya Mbak. Nanti saya bawakan ke kursinya Mbak."

Aku langsung melerai. "Eh nggak usah Mbak saya minum di sini saja."

Pramugari tersebut tersenyum dan tak lama kemudian memberikanku air putih.

Mad tersenyum saat melihatku kembali dan duduk di sampingnya. "Masih suka baca novel yah kamu." Katanya. Dan aku baru sadar dia memegang novelku yang tadinya aku ingin baca namun tidak jadi karena insiden ini.

Aku tersenyum. "Tidak ada yang berubah kok Mad." Balasku. Iya Mad, tidak ada yang berubah bahkan perasaan ini tidak pernah berubah setelah sekian lama. Syukurlah pengumuman dari pramugari jika pesawat akan segera landing di Bandara Internasional Soekarno-Hatta membuatku bersorak dalam hati karena percakapan kami otomatis harus terhenti.

Tetapi aku sadar. Bisa saja landingnya pesawat bukan akhir  tetapi mungkin akan menjadi awal kisahku dan ceritanya selanjutnya. Selamat datang kembali ipda Ahmad Aldric Ari Renindra.

Siap 86!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang