10

3.1K 205 0
                                    

Ririn

Kalau ada manusia yang paling bahagia di dunia, mungkin itulah aku. Khairina Rarasati. Mulai dari bersama dengan Mad melakukan perjalanan rute Jakarta-Makassar, bertemu Tante Ayu dan keluarga Mad sampai dipaksa istirahat di kamar Mad, keliling-keliling kota Makassar dengan Mad, bertemu Puang Ibu dan keluarga besarku, menikmati makanan khas Makassar, dan sekarang berkumpul dengan teman-teman, sahabatku di Makassar yang sudah lama aku bersembunyi dari mereka. Alhamdulillah.

Aku percaya tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua ini sudah termasuk rencana Allah. Allah itu pembuat skenario terbaik. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi 5 menit ke depan. Yang perlu kita lakukan adalah harus selalu tetap bersyukur apa pun yang terjadi. Itulah yang menguatkan aku selama 7 tahun ini, walaupun kadang-kadang menangis dan merasa rindu sekali dengan Mad. Tapi aku rasa itu manusiawi selama itu tidak keluar batas. Biasanya jika itu kumat, aku langsung mengambil air wudhu dan salat. Terisak di saat berdoa.

Perasaanku saat ini adalah senang sekali bisa bertemu dengan teman dan sahabat-sahabatku, apalagi dengan enam perempuan cantik ini. Tim suksesku ketika di SMA. Bahkan hari ini Widia, Maryam, Zalza, Dea, Nana, dan Tirsa kompak merayuku dengan Mad. Aku dan Mad hanya tersenyum malu-malu. Apalagi aku yang gampang sekali salah tingkah.

Teman-teman sekelas laki-lakiku juga senang sekali melihatku bersama Mad walaupun tak seheboh girls squad kw 1000 yang sampai sekarang masih rempong dengan ember bocornya. Aku sangat malu di depan Mad karena mereka menceritakan kejadian-kejadian tentang aku dan Mad waktu kami SMA.

Jadi flashback, bagaimana dulu ketika kami masih duduk di bangku SMA. Berpura-pura menjadi sahabat yang baik untuk Mad. Berusaha selalu ada ketika Mad membutuhkan. Mencoba tegar dan kuat mendengar kabar Mad lagi dekat dengan cewek lain dan itu semua terjadi selama 2 tahun.
Tahun awal SMA aku tidak terlalu dekat dengan Mad, kami hanya teman sekelas biasa. Aku juga sibuk dengan kakak kelas waktu itu dan ternyata memang benar, orang yang kita cintai itu biasanya ada di sekeliling kita. Aku percaya ini termasuk alur skenario sang pembuat takdir. Kelas 2 SMA ada-ada saja yang membuatku dekat dengan Mad sampai benar-benar kami sangat akrab. Kemudian kelas 3 SMA menjadi puncaknya, dimana seolah-olah aku harus akting dengan baik agar tidak mengecewakan penonton.

"Lo tuh udah jadi aktris film terbaik nggak sih sebenarnya." Kata Maryam waktu itu. Berpura-pura dan membohongi perasaan selama dua tahun memang bukanlah perkara yang mudah. Semua itu aku lakukan untuk menjaga persahabatan kita Mad namun kenyataanya aku yang mengkhianati persahabatan ini.

Mad

Rasanya puas sekali melihat Ririn tertawa lepas bersama sahabat-sahabatnya. Sahabat yang menjadi tempat curahan hati Ririn baik itu soal pelajaran dan masalah priadi yang termasuk gue. Selama ini gue sadar, sahabat-sahabat Ririn memang selalu mencoba mendekatkan gue sama Ririn dalam situasi atau kegiatan apa pun di sekolah maupun di luar sekolah tapi waktu itu gue merasa biasa saja.

Benar adanya penyesalan itu akan datang belakangan dan gue baru merasakan itu ketika Ririn pergi dari hidup gue. Ketika sudah tidak ada lagi yang bawelin gue kalau telat bangun, tidak mengerjakan tugas sekolah, malas belajar, nongkrong sampai tengah malam, main game sampai jam 3 subuh, dan semua itu baru terasa ketika dia benar-benar sudah mencoba tidak peduli dengan gue.

Sekarang Ririn kembali hadir di dalam hidup gue dan gue tidak mau membuat kesalahan yang sama lagi. Apa pun gue lakukan demi kebahagiaan Ririn. Gue berjanji tidak akan menyakiti perempuan kesayanganku itu setelah Mama dan Kak Nina.

Setelah nongkrong cukup lama di salah satu restaurant mal, kami pun memutuskan untuk menonton film ramai-ramai di Mall Panakkukang ini. Mal ini adalah salah satu tempat favorit gue sama Ririn ketika jaman SMA.

Selama nonton gue tidak konsentrasi penuh sama alur cerita filmnya. Sebagian konsentrasi gue direbut sama perempuan di sebelah gue. Gue suka banget sama senyum, tawa, lesung pipi, dan cara dia menatap gue. Perempuan yang selalu tampil sopan. Perempuan yang simple dan sederhana. Dia bukan tipe perempuan dengan cara berpakaian yang ramai, dia lebih suka kasual tapi elegan. Cara memakai hijabnya pun tidak serempong perempuan-perempuan kebanyakan yang penuh lilitan. Dia cantik dan apa adanya. So, that's why I like her.

Sebelum pulang kami makan malam dulu di restoran Jepang. Ririn itu sangat suka dengan masakan Jepang. Sushi, udon, ramen adalah favoritnya. "Jadi sebenarnya kalian itu pacaran apa nggak sih?" Tanya Widia tiba-tiba jadi penasaran. Refleks gue dan Ririn bertatapan. "Doain yang terbaik ajah Wid." Kata Ririn. "Doain gue sama dia jadi beneran ya Wid." Sambungku.

Ririn

"Doain gue sama dia jadi beneran ya Wid." Sontak perkataan Mad itu membuat teman-teman kami yang lain berteriak 'aamiin' dengan lantang dan tidak sadar sama sekali kalau kita sekarang sedang ada di tempat makan. Aku tidak tahu lagi bagaimana ekspresiku. Mungkin sudah salah tingkah stadium akhir dengan pipi yang merah.

Kepikiran dengan perkataan Mad? Pasti. Gampang sekali kata-kata itu keluar dari mulutnya dan tidak sadar sama sekali kalau kata-kata itu akan menumbuhkan sebuah harapan. Aku juga yang bodoh, kenapa masih kepikiran sampai sekarang. Sampai mata ini tidak bisa terpejam hanya karena kalimat yang diucapkan Mad tersebut. Entah apa yang dia pikirkan kenapa mau bicara seperti itu di depan teman-teman kami. Padahal mungkin dia biasa saja.

Sadar tidak sadar hubunganku dengan dia juga semakin intens. Awalnya hanya chat-chat biasa kini itu menjadi kebiasaan kami berdua. Layaknya orang berpasangan kami saling mengabari satu sama lain dan saling mengetahui kegiatan masing-masing.

Logikaku berkata kalau aku sendiri yang menjerumuskan diriku ke pedihnya akibat suatu harapan. Entah bagaimanakah ending kisahku dengan Mad ini? Apakah Mad hadir untuk jadi pemeran utama dalam cerita hidupku atau hanya akan berperan sebagai cameo? Dalam hal seperti ini aku hanya bisa pasrah. Membiarkan waktu yang menjawab semuanya.

Julukan kembali menjadi ABG labil sepertinya cocok untuk diriku saat ini. Rasa sakit yang kualami dulu tidak membuatku jerah, tidak bisa menghentikanku untuk tidak berharap. Perasaan terkadang mengalahkan segalanya. Harus ku akui kini aku benar-benar kembali jatuh hati ke kamu Mad.

Mad

Liburan di Makassar telah usai. Kini gue dan Ririn sudah ada di Bandara Sultan Hasanuddin menunggu keberangkatan pesawat kami kembali ke Jakarta. Gue bersyukur sekali, gue dikasih waktu bersamanya. Menjelajahi kembali apa yang sudah kami lalui.bGue cukup puas seminggu ini waktu Ririn penuh dengan tawa. Seolah-olah tidak ada beban di dalam hidupnya. Sembari menunggu waktu keberangkatan, kami ngopi dulu dilengkapi camilan khas Makassar jalangkote.

"Mad makasih banyak ya waktunya seminggu ini." Ririn bilang begitu ke gue dengan tatapan yang berbinar-binar. Matanya seakan-akan bicara kalau dia sangat bahagia.

Oh Tuhan, kenapa dulu gue menyakiti perempuan ini. Perempuan yang selalu ada buat gue, yang tulus banget sama gue. Gue dibutakan banget waktu itu sampai dia pergi gue baru gue tersadar dan menyesal.

Gue yang seharusnya berterima kasih sama kamu Rin, karena kamu sudah memberikan kesempatan sama Mad-mu yang dulu tolol banget sudah mecampakkanmu.

"Aku yang berterima kasih Rin." Ririn heran. Belum sempat dia mengeluarkan sepatah kata, terdengar pengumuman pesawat yang akan kami tumpangi bersiap take off dalam kurung waktu 5 menit lagi. Sepertinya waktunya dimajukan dari waktu yang tertera di boarding pass. Gue dan Ririn lari ngos-ngosan sampai ke gate keberangkatan karena jarak tempat ngopi dan gate keberangkatan yang lumayan jauh.

Good bye Makassar. Thanks for every moments between me and her.

Siap 86!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang