7

3.3K 253 9
                                    



Ririn

Setelah semua kejadian bersama Mad, aku jadi sering berkomunikasi dengannya. Jujur sebenarnya aku takut. Takut terbawa perasaan dan berharap lebih lagi padanya. Takut kejadian 7 tahun lalu itu terulang lagi. Aku paling benci dengan kata berharap. Mengapa harus ada yang namanya berharap? Dari awal rasa ini muncul aku sudah tahu bahwa ini salah. Dari awal aku juga sudah mencoba menghilangkan perasaan ini, tapi yang namanya berharap ini berhasil menggagalkan semuanya. Harapan itu berhasil menguasai semuanya hingga ternyata harapan menusukku dari belakang. Harapan hanya membuat manis di awal. Dn pada akhirnya pahit. Sekali.

"Maaf yah ngaret." Ucap mereka bertiga bersamaan.

"Harusnya Ririn nih yang jadi calon pengantinnya, bukan lu Ren." Kata Caca tertawa.

"Iya nih yang mau nikah siapa yang on time siapa." Maudy menimpali.

"Sorry tadi tiba-tiba ada klien." Ujar Renata.

Aku cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. Hari ini kita memang janjian, eh lebih tepatnya sih diajak Renata katanya ada yang ia ingin bicarakan soal pernikahannya yang kurang lebih sebulan lagi.  Bahagianya, satu persatu sahabatku ini sudah sold out.

"Buat kalian yang selalu ada buat gue. Paling tahu perjalanan cinta gue sama Arda. Terima kasih banyak untuk semua yang sudah kalian lakukan buat gue. Dan gue harap kalian mau jadi bridesmaid di pernikahan gue." Renata membuka percakapan dengan mata berkaca-kaca.

Kami langsung berhambur di pelukan Renata. Aku terpejam, mempunyai sahabat seperti mereka adalah salah satu anugerah terindah yang diberikan Tuhan.

"Ini buat kalian." Renata membagikan paper bag satu persatu kepada kami. Yakin, ini pasti kainnya bagus banget. Mengingat Renata yang sangat pemilih dalam segala hal. Bahannya lembut dan tidak panas. Renata tak tanggung-tanggung memberikan kain seragam bridesmaid  ini kepada kami.

 "Oh iya dalam paper bag itu ada dua macam kain, satu buat kalian dan satunya lagi buat pasangan kalian." Sontak Maudy dan Caca langsung menatapku.  Aku mendengus. Mereka sih enak sudah punya pasangan yang pasti.

"Rin kan ada si Pak Pol ganteng itu." Maudy dengan mata centilnya menggodaku.

"Gue malu, gue nggak tahu harus ngomong apa sama dia. Gue takut nanti dia nggak mau." Kataku cemberut.

"Nanti deh gue aja yang ngomong sama polisi itu kalau kayak gitu." Ucap Renata santai sambil mencocol kentang goreng yang kami pesan.

"Coba dulu lah Rin, gue yakin Mad pasti mau." Caca menambahkan.

Mad

Ringtone tanda masuknya WA atau line sekarang adalah sesuatu yang paling gue tunggu semenjak sudah bertemu Ririn. Menunggu balasan pesan Ririn tentunya. Bukannya sombong, sebelum bertemu kembali dengan Ririn ponsel gue penuh banget sama pesan dan notifikasi di instagram dari cewek-cewek bahkan ada anak ABG SMA juga mengirim pesan ke gue. Biasanya gue yang kacangin chat mereka, kalau lagi mood gue balas sih tapi seadanya doang. Gue juga tidak tahu mau bahas apa sama mereka dan sepertinya sekarang gue merasakan jadi mereka. Tapi setidaknya sih Ririn membalas chat gue hanya saja selang waktunya  lama. Lama banget.

Seperti hari ini, hari Sabtu berarti sebentar malam adalah malam minggu. Rencananya gue mau mengajak Ririn tapi gue tidak yakin dia akan mau. Tapi apa salahnya gue mencoba dulu kan? Ketika gue sudah mulai mengetik buat mengajak dia jalan, tiba-tiba ada satu pesan dari dia yang membuat gue loncat kegirangan.

'Mad bentar malam ada acara nggak?' Tanpa membuat dia menunggu lama gue langsung membalas.

'Nggak ada acara kok Rin. Why?'

Siap 86!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang