5

4.3K 276 2
                                    



Ririn

"Selamat pagi Ririn sayang." Sapaan yang langsung kudapat ketika aku baru duduk semenit di meja kerjaku. Siapa lagi kalau bukan Caca. Caca adalah sahabatku sejak kuliah dan sampai kami berjuang bersama mendapatkan id card di kantor ini.

"Udah kangen banget yah? Sumringah gitu." Celetukku. Dia mendengus. "Huh percaya diri banget sih lo."

Aku tertawa melihat bibirnya yang manyun. "Nggak peka banget sih lo jadi orang. Kesel deh gue." Bibirnya yang sudah manyun 5 cm itu sontak saja membuatku geleng-geleng kepala melihat aksi konyol sahabatku ini.

"Apasih Ca? Kesal banget kamu. Ini hari pertama aku masuk kerja loh."

Aku mulai menyalakan komputer dan menjalankan peranku sebagai seorang karyawan di kantor ini. "Lihat nih." Caca menarik salah satu kursi di dekat kubikelku dan memperlihatkanku jari manisnya yang sudah diikat cincin dengan kilauan berlian kecil di tengahnya.

"Gue dilamar Barry Rin." Refleks aku langsung memeluk sahabatku itu.

"Selamat ya Ca." Tidak sadar air mataku jatuh. "Loh kok elu nangis sih Rin? Maaf yah. Bukan maksud gue untuk....."

Aku tersenyum."Caca sayang,  gue nangis karena sahabat gue satu ini udah mau dipinang orang. Gue kan tidak bisa lagi ngajakin lo begadang dengerin curhatan gue. Susah juga pasti ngajakin lo wisata kuliner lagi. Yah, gue nggak percaya sekarang lo bukan sepenuhnya milik gue lagi." Pelukan Caca semakin erat.

"Barry nggak kayak gitu kok. Dia mendukung apapun yang gue lakuin. Jadi Khairina nggak usah sedih gini yah."

Pasti jika Ibu tahu kabar ini, ah membayangkan ekspresinya saja sudah membuatku ngeri. Sedih juga sih lihat Ibu. Di umur anak satu-satunya ini yang sudah 25 tahun, belum ada tanda sama sekali dia akan mempunyai besan. Padahal harapannya besar sekali. Apalagi melihat sepupu dan teman-temanku yang sudah sibuk mempersiapkan pernikahan mereka. Sabar ya Bu. Kadang banyak pertanyaan yang kudapatkan dari Ibu, keluarga besar, dan teman-temanku. Pertanyaannya kurang lebih seperti ini. "Lo nyari yang gimana sih Rin? Apa kurangnya dia sih Rin?"

Dan yang paling menohok adalah saat Caca, Renata, Maudy, Naya, Naila, dan sahabat-sahabatku dari SMA yang di Makassar bilang, "Cobalah buka hati lo Rin. Jangan nge-stuck sama orang yang nggak jelas."

Aku pernah membaca novel yang bergenre romance, katanya hati itu seperti toko. Dimana di sana bakalan di pajang tanda open dan close. Jika dipasang open maka orang-orang akan masuk dan jika dipasang close tentu saja mereka tidak akan masuk. Pada akhirnya mereka akan mencari toko lain. Sama dengan hati jika kita membukanya pasti akan ada orang yang mencoba masuk ke dalamnya. Tetapi jika kita bersih keras menutupnya, siapa pun pasti tidak akan bisa masuk.

Aku juga tidak tahu mengapa belum bisa membuka hati untuk yang lain. Sudah banyak yang mencoba dekat denganku sejak kuliah. Bahkan sepupu Caca saja pernah. To be honest, belum ada seseorang yang seperti Mad. Belum ada yang se-sabar Mad. Se-humoris Mad. Dan yang membuatku nyaman like home seperti Mad. Sampai dengan pernyataan 7 tahun lalu itu, sama sekali perasaanku tidak pudar.

Oke mungkin aku benci Mad, tapi rasa cinta dan sayangku ke Mad lebih besar dibanding rasa benci itu. Aku bodoh yah, memang bodoh. Mad saja mungkin sedang sibuk menikmati hidupnya. Sedangkan aku? Masih terperangkap dengan orang dan perasaan yang sama.

Mad

Saking senangnya gue ketemu Ririn sampai-sampai gue lupa minta nomor kontaknya. Mencari di sosial media juga tidak bisa. Saking bencinya lo sama gue Rin? Dia menutup semua akses yang bisa gue hubungi.

Siap 86!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang