Epilog

4.8K 240 9
                                    

Ririn

"Saya terima nikah dan kawinnya Khairina Rarasati Binti H. Mahendra Usman dengan mahar seperangkat alat salat dibayar tunai karena Allah."

"SAAAAAHHHHHH."

Hanya dengan sekali tarikan nafas, Mad bisa melafalkan semuanya dengan baik di depan ayah, para saksi, keluarga besar, dan tamu undangan. Hari ini adalah yang paling bersejarah bagiku. Bagaimana tidak, perjalananku sampai di titik ini bukanlah perjalanan biasa. Akad nikah dilaksanakan di rumah Puang Ibu. Dimana di rumah Puang Ibu inilah sebagai ruang pembuka dekatnya aku dan Mad dulu. Apalagi teras rumah oranye Puang Ibu yang memiliki banyak cerita.

Malam harinya acara resepsi pernikahan di adakan di Upper Hills Convention Hall Makassar. Acara diawali dengan atraksi pedang pora. Sebagai bentuk penghormatan seorang perwira yang akan mengakhiri masa lajangnya. Pedang pora ini hanya dilaksanakan sekali semur hidup bagi para perwira. Dulu ketika SMA aku sangat suka menonton video-video pedang pora, sekarang aku sudah merasakannya. Sampai-sampai dulu aku pernah bilang seperti ini ke Mad,"Mad nanti klo lo masuk AKPOL kenalin gue ke teman lo yah. Siapa tau jodoh, dan gue bisa pedang pora." Mad hanya tertawa dan mengangguk waktu itu. Dan ternyata malah dia bukan temannya.

Senyum dibalik wajahku dan Mad tidak pernah pudar. Aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Terima kasih ya Allah atas semua nikmat bahagia yang kau berikan pada kami.

Sampai sekarang aku masih belum percaya kalau akhir drama kisahku sejak SMA dengan Mad akan seperti ini. Ketika persahabatan sudah jadi cinta, otomatis semua akan berubah. Sampai aku mati aku tidak akan bisa melupakan bagaimana lika-liku kisahku dengan Mad sampai aku dan dia menjadi sahabat hidup.

Akhir acara, aku kaget ketika ayah langsung memeluk Mad.

"Tolong jaga anak saya. Jangan sakiti dia. Jangan buat dia menangis. Saya percaya sama kamu."

Aku langsung menangis mendengar pesan Ayah. Ayah itu cuek tapi sayang. Kata Ibu ketika Mad dan kedua orang tuanya datang dan melamarku, Ayah pamit dulu mau ke kamar mandi. Nyatanya Ayah masuk ke kamar tidur dan menangis. Ibu bertanya kepada Ayah, kenapa Ayah menangis. Dan jawaban Ayah sukses membuatku menangis dan aku merasakan hatiku terkoyak-koyak.

"Dia putriku satu-satunya. Aku berusaha membesarkan dan menjaganya. Aku turuti kemauannya. Ingatkah dia ketika mengamuk ingin membeli sepeda dan waktu itu kita tidak punya uang, demi melihatnya tersenyum aku harus meminjam uang di kantor. Dan sekarang putriku akan diambil orang. Rasa sayang putriku bukan sepenuhnya untukku lagi. Rasa cintanya akan terbagi. Putriku akan pergi."

Aku memang sudah menemukan laki-laki pendamping hidupku. Tapi Ayah akan tetap menjadi seorang penguasa di hatiku. Mad tersenyum mencium tangan Ayah dan ia tegap hormat kepada Ayah, seperti jika ia hormat di depan komandan atau atasannya."

"SIAAAAPPPP 86!" Teriaknya.







"Karena semua akan terasa saat semuanya tidak seperti dahulu lagi. Saat perhatian-perhatian kecilnya sudah tidak kau dapatkan. Saat ia mulai sudah tidak peduli denganmu lagi. Dan saat ia benar-benar memutuskan untuk pergi dari kehidupanmu."

-Ahmad Aldric Ari Renindra

Siap 86!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang