L-14

4.6K 346 3
                                    

Belakangan ini, seperti ada yang hilang dalam hari-hari Lentera. Sejak penolakan kedua untuk Iqbal yang Lentera berikan, kondisi Oma semakin memburuk.

Usia yang sudah tua membuat Oma sering terkena berbagai macam penyakit. Tapi kali ini berbeda, Oma sampai harus dirawat inap. Biasanya, wanita lanjut usia itu akan berbagi lelucon dengan dokter yang menanganinya. Tapi sekarang, Oma hanya bisa berbaring sambil sesekali tersenyum.

Sudah 3 hari Lentera tidak masuk sekolah. Sudah tiga hari juga Tante Riska menutup tempat praktiknya, begitu juga Om Deni yang langsung membatalkan semua rapat penting bersama klien dari luar kota.

Azka sama seperti Lentera. Semua cucu Oma tidak masuk sekolah kecuali Pelita dan Aldi. Kakak beradik itu masih aktif di sekolah walau sudah tahu Oma masuk rumah sakit.

Lentera duduk di bangku tunggu yang berada di depan ruangan Oma. Azka dan yang lainnya masih berada di dalam untuk menemani Oma.

Wajah Lentera tampak kusam. Rambutnya yang lembut kini tampak berantakan. Tak ada lagi mata berbinar, sekarang adalah mata sayu yang menghitam.

Lentera menyayangi Oma.

"Tera sayang," Tante Riska menyentuh pundak Lentera. Wanita yang sudah dianggap ibu oleh Lentera itu duduk di sampingnya.

"Apa pun yang terjadi, kita harus siap." Lanjut Tante Riska sambil menggenggam tangan Lentera.

"Kalaupun operasi Oma nanti nggak berjalan lancar, kita harus ikhlas."

Lentera mengangguk, menyandarkan kepalanya di pundak Tante Riska. Tak lama kemudian, Azka keluar dengan wajah yang tak kalah lesunya dibandingkan Lentera.

"Kita dipanggil Oma, suruh kumpul." Ucap Azka. Tante Riska mengangguk, menggenggam tangan Lentera. Menyalurkan sisa kekuatannya untuk keponakannya yang tercinta.

Di dalam, awalnya semua hening. Sampai akhirnya perlahan hidung Oma mengeluarkan darah. Semua panik. Lentera yang paling dekat dengan Oma langsung mengambil tisu, mendekatkannya ke hidung Oma. Tapi anehnya, Oma malah menahan tangan Lentera. Meletakkan tangan mungil gadis itu di atas dadanya.

"Nggak apa-apa," ucap Oma pelan.

"Oma tap---"

"Kalian berkumpul di sini saja Oma sudah senang," seakan tidak memedulikan Lentera, Oma melanjutkan ucapannya. "Ini pilihan yang terbaik. Oma sudah tua. Sudah saatnya operasi untuk menghilangkan penyakit Oma. Kalian tahu resikonya, oma juga tahu.

Lancar atau nggaknya operasi nanti, biar Tuhan yang mengatur. Kalau operasi itu gagal, jangan ada yang menangis."

Om Deni merangkul Tante Riska, menyalurkan kekuatan untuk Tante Riska yang sedang menangis. Di belakang mereka, ada Azka yang tengah duduk dengan tatapan kosong namun matanya berair.

"Lentera cucu Oma yang tangguh, yang kuat, Oma nggak pernah lihat Tera nangis dalam keadaan sesulit apa pun. Kalau operasi Oma nanti gagal, Tera nggak boleh nangis." Oma mengelus puncak kepala Lentera.

"Kalau Azka nakalin Tera, aduin aja ke Oma. Kalau Om Deni curang waktu main tebak-tebakan, laporin aja ke Oma. Pokoknya, Oma selalu jagain Tera dan Azka di manapun Oma berada."

"Oma, Tera sayang Oma." Lentera memeluk oma dengan air mata yang sebisa mungkin ia tahan.

"Riska, Deni, jagain cucu-cucuku yang manis dan ganteng ini, ya. Kalian tahu kan kalau mereka itu ceroboh?" Oma berpaling dari Lentera, menatap Om Deni dan Tante Riska.

"Iya, Buk." Balas keduanya kompak. Beberapa menit kemudian, pintu ruangan Oma terbuka. 2 orang suster masuk membawa kursi roda.

Oma harus operasi sekarang juga.

Forget Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang