L-43

4.7K 297 25
                                    

Waktu punya hak apa untuk membawamu pergi?

...

"Udahlah, Bang. Jangan galau terus, kan kasian Kak Lenteranya juga." Bella menepuk-nepuk pundak Iqbal menguatkan.

Ia cukup terkejut saat tahu Lentera meninggal. Kalau sedih, Bella pasti sedih. Lentera sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri.

"Minggu depan kan lo ujian, belajar yang rajin biar bisa lulus." Kata Bella menyemangati.

Iqbal hanya menoleh, lalu kembali memandangi foto Lentera di hadapannya. Di foto itu, gadisnya tengah tertawa. Tawa yang begitu lepas, seakan tidak peduli saat kamera membidik gambarnya.

"Bang, semua orang sama sedihnya. Bukan cuma lo doang yang terluka. Lo pikirin gimana perasaan keluarganya Kak Tera." Bella kini mengembuskan napas. Ia sudah lelah membujuk Iqbal. "Kalau memang lo jodohnya dia, Tuhan pasti akan mempermudah jalan kalian. Mungkin bukan di dunia, tapi di akhirat."

Iqbal menoleh, menatap adiknya sepenuhnya. Bella benar, soal jodoh biarlah Tuhan yang mengatur. Iqbal tak perlu bersusah payah memikirkannya.

Mungkin Lenteranya sudah berbahagia bersama Oma yang selama ini ia rindukan. Mungkin Lenteranya tak perlu bersedih lagi di rumah barunya.

Mungkin ini memang akhir dari hubungan mereka.

Tapi percayalah, walau jodoh Iqbal di depan mata, di dalam hatinya hanya ada Lentera. Lentera. Lentera.

"Gue mau ke makam dulu, gue belum ke sana kemarin." Ucap Iqbal bangkit dari duduknya. Bella mengangguk, lalu tersenyum.

"Yang hilang, pasti ada penggantinya." Kata Bella pelan. Iqbal terdiam, pengganti Lentera? Bisakah?

Iqbal hanya berdoa kepada Tuhan, di manapun Lenteranya berada, semoga ia selalu bahagia.

...

"Lo pikir cuma lo doang yang mau makan, hah?!"

Keributan itu berasal dari tepi jalan menuju Teropong Angkasa. Para pengendara yang lewat hanya melihat sambil lalu tanpa mau turun dan mencari tahu penyebab keributan itu.

"Nasi ini punya gue! Gue yang nyanyi sampe suara indah berkilau gue serak!" Seorang gadis dengan pakaian serba hitam dan rambut yang digelung bak preman pasar menunjuk-nunjuk seorang lelaki di hadapannya.

"Tapi kan kita ngamen berdua, masa nasinya cuma untuk lo doang." Jawab si pria yang masih erat memegangi nasinya.

"Ngamen berdua? Nggak salah denger nih kuping gue?" Bia, gadis yang biasanya mengamen di rumah makan dan di jalan raya itu mendekatkan kupingnya ke arah lawan bicaranya. "Ngamen apaan lo? Dari tadi kan lo cuma duduk cantik di lampu merah kayak pengemis. Lah gue panas-panasan keliling cari uang."

Ajun-- teman kerja Bia itu cengengesan. Pria yang sudah mengikuti Bia sejak ia diusur dari rumah Ibunya itu malah memasukkan sebungkus nasi tanpa lauk milik Bia ke dalam bajunya.

"Keluarin nasinya! Najis gue makan ada bau keringet lo!" Teriak Bia kesal. Ajun menggeleng, tertawa meledek lalu mundur selangkah.

"Dasar Ajun stres! Balikin nasi gue!" Bia menjambak rambut Ajun. Ajun meringis kesakitan, tangannya yang tadi memegangi nasi supaya tidak jatuh dari dalam kaosnya itu menarik tangan Bia untuk melepaskan rambutnya.

Forget Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang