L-23

4.6K 344 8
                                    

Manusia melakukan banyak hal untuk bisa bahagia, segala cara ia halalkan.

Sama halnya seperti Lentera, hari ini ia tidak akan masuk ke sekolah. Begitu juga dengan pelita. Keduanya memiliki janji dengan seorang dokter yang selama ini menangani Pelita.

Lentera melambaikan tangannya pada Tante Riska, Om Deni, Azka dan Via saat Mami sudah menjemputnya menggunakan mobil. Setelah mengucapkan salam perpisahan, Lentera masuk ke dalam mobil, duduk di kursi belakang.

"Tadi Mami sudah menyuruh orang menghubungi sekolah kalau kamu tidak masuk." Ucap Mami sambil melirik Lentera yang duduk di belakang melalui kaca spion dalam.

Kenapa nggak Mami aja yang menghubungi sekolah?

"Semoga hasilnya bagus ya, sayang. Jadi Mami nggak perlu repot-repot cari pendonor lain."

"Mi, kenapa nggak Papi yang donorin darah untuk Pelita?" Tanya Pelita sambil melirik Mami.

"Papi kamu kan sekarang jarang pulang, dia sudah berselingkuh, untuk apa kita mengandalkan dia?"

Lentera dan Pelita cukup terkejut saat mengetahui kalau Papi mereka berselingkuh. Pelita tak lagi bertanya, gadis itu duduk dengan kepala menunduk.

Hati kecilnya bertanya, terus memaksa sebuah jawaban keluar dari mulut Mami. Tapi bodohnya, Pelita tidak berani menanyakan hal itu.

Kenapa keluarganya tak lagi harmonis?

Kenapa saudari kembarnya harus ikut berperan dalam roda kehidupannya?

Kenapa semakin bertambah tahun, malah semakin banyak keharmonisan yang hilang?

"Kenapa?" Pelita menoleh pada Mami. "Kenapa semuanya jadi begitu rumit?"

...

"Lentera nggak masuk, Pelita juga." Setelah mendengar jawaban dari Anggun, Iqbal mendengus kesal. Lelaki itu melirik Nada, ternyata Nada masih memerhatikannya.

"Yaudah deh, gue mau lo jagain Nada aja."

"Cewek itu?" Anggun bertanya dengan nada meremehkan sambil menunjuk Nada.

"Iya, kenapa?" Tanya Iqbal bingung. Anggun terkekeh hambar, senyum miringnya terukir.

"Bukanya dia udah nggak suci lagi karena Ayah tirinya?" Anggun berbisik di telinga Iqbal.

"Tahu dari mana lo?!" Tanya Iqbal kesal. Lelaki itu mengepalkan tangannya, lalu melihat Nada yang tengah diperhatikan oleh seisi kelas. Dari tempatnya berdiri, Iqbal bisa mendengar kalau sedari tadi teman-teman seangkatan Nada berbisik-bisik mengenai hal yang diucapkan Anggun beberapa saat lalu.

"Cek mading." Anggun melambaikan tangannya, lalu masuk ke dalam kelas.

"Sial!" Umpat Iqbal. Lelaki itu berlari sekencang mungkin ke mading utama yang terletak di dekat lapangan upacara. Napasnya tersenggal-senggal, mading itu dikerubungi banyak siswa-siswi.

Iqbal menerobos kerumunan itu, lalu merobek berita yang menurutnya gosip recehan.

"Siapa yang buat?" Tanyanya dengan nada membentak. "Lo? Lo anak jurnalistik kan?" Iqbal menarik kerah seragam seorang lelaki berkacamata.

Forget Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang