L-29

4.5K 311 5
                                    

Besok ulang tahun Iqbal.

Hal itu kini mengganggu pikiran Lentera. Sebuah pertanyaan melintas di dalam benaknya. "Apakah mereka jodoh?" Kalau tidak, masa sih ulang tahun mereka hanya beda dua hari.

Sebenarnya masih banyak yang menari-nari di pikiran Lentera. Hingga ia bingung harus menyiapkan hadiah seperti apa untuk Iqbal. Bayangan tentang Aldi masih berputar seperti kaset rusak.

Aldi memberikan Lentera hadiah ulang tahun yang begitu menyedihkan.

Tapi setidaknya Lentera senang. Abangnya masih berniat melanjutkan hidup, abangnya tidak berniat untuk bunuh diri seperti kebanyakan orang yang mengalami depresi.

Setelah lepas dari hadiah tentang Iqbal dan kondisi Aldi, masih ada hal yang membuat Lentera pusing bukan main.

Papi mau Lentera tinggal bersamanya. Sedangkan di sisi lain, Mami masih membutuhkan darah Lentera untuk Pelita.

Semua hal itu mungkin belum cukup, ditambah Tante Riska yang memaksa Lentera untuk kembali tinggal bersamanya.

Urusan cinta sepertinya harus Lentera kebelakangkan. Masih banyak hal lain yang harus ia urus.

Tapi setiap ingin mengebelakangkan percintaan remaja, Wajah meledek dan menyebalkan milik Iqbal selalu menghantuinya. Hal itulah yang membuat Lentera terus memikirkan pria menyebalkan itu.

Sekarang, di sinilah Lentera duduk. Di dalam perpustakaan yang begitu hening. Tangannya sibuk menggerakan pensil di atas sebuah kertas. Sedangkan matanya bolak-balik menatap ponsel dan kertas gambar miliknya.

Ini hadiah untuk Iqbal. Tidak bagus. Tidak mahal. Tapi Lentera membuatnya sendiri.

Foto iqbal yang sedang memasang ekpresi selucu anak kucing kini terpampang di layar ponsel Lentera. Yah, sebenarnya, Lentera mengambil foto itu diam-diam. Tapi Tuhan sepertinya sedang berpihak padanya, sehingga ia bisa mendapatkan foto menggemaskan Iqbal.

Lentera terkekeh sendiri saat matanya kembali menatap ponsel. Dia jadi gemas.

Suara deritan bangku yang beradu dengan lantai membuat Lentera mendongak. Gadis itu menatap Nada yang kini sudah duduk di depannya dengan senyum sinis yang--lebih terlihat seperti senyum psikopat.

"Eh, hai!" Sapa Lentera ramah. Ia menyembunyikan kertas gambarnya di kursi kosong sebelahnya. "Cari gue?"

"Iya, cari lo." Nada menyatukan kedua tangannya di atas meja. Matanya yang setajam elang memerhatikan wajah Lentera dengan cermat. "Hallo, saudara kembarnya Pelita."

Pensil yang Lentera genggam jatuh begitusaja sangking terkejutnya. Mata gadis itu terbelalak sempurna. Ia menggigit bibir bawahnya, takut, untungnya masker pink yang ia gunakan menutupi gemetar di bibirnya.

"Lentera Guntur. Wow." Nada bertepuk tangan lambat. "Ada permintaan sebelum gue bongkar identitas lo?"

"Lo ... tau gue?" Tanya Lentera takut-takut. Nada tertawa meremehkan, lalu berdiri dan mengambil kertas gambar Lentera sebelum akhirnya kembali duduk.

"Hadiah untuk Iqbal, ya?" Nada malah balik bertanya sambil mengangkat kertas gambar di tangannya. Gadis itu berdecih, lalu meremas kertas gambar Lentera. "Lo nggak perlu susah payah buat hadiah untuk Iqbal. Gue dan lo akan kasih hadiah yang sama untuk dia."

"Maksud lo apa?" Lentera berusaha setengah mati menutupi ketakutan sekaligus keterkejutannya.

Otaknya masih menebak-nebak, dari mana Nada tau identitasnya.

Dari Anggun? Tidak mungkin.

Pelita? Lebih tidak mungkin.

Dari ... Lentera sendiri? Benarkah? Astaga. Lentera merutuki kebodohannya yang membuka masker di kaca toilet tanpa waspada.

Forget Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang