HAPPY APRIL FOOLS DAY!
EHEHEHE SORRYY
Alafyu gaes.
Secepatnya bakal aku coba lanjut yak.
Dan UNTITALED mungkin bakal dilanjut setelah prekuel tamat atau slow update. Liat mood aja nanti wkwk
Btw,
Abis dari ICE dong tadi ke BBW Festival 2018, inget setahun lalu ke BBW 2017 tepat tanggal 29 April 2017 :"
Rasanya sakit sekali ke ICE pas hari H, ngeliat posternya, ngeliat ARMY, tapi gak nonton Bangtan wkwkwk :"Yauds.
Bye!
Selamat hari Minggu!Regards,
-Aer.GAK DENG BOONG!
Ini aku ada sebuah hadiah permintaan maaf karena udah ngeboonging kalian barusan banget wkw.
Cuman satu babak. Ini juga maksain karena aku gak enak kalau cuman ngePHP-in kalian wkwk.
Happy reading!
××דJangan—ke rumah sakit, Pak.”
Bukan apa-apa yang Jungkook pikirkan, ia hanya memikirkan Ayah dan Bundanya jika tahu malam ini ia berakhir di rumah sakit. Jungkook merasa cukup dikhawatirkan oleh dua orang terpentingnya itu semenjak ia lahir. Jadi, daripada harus membuat orang tuanya datang ke rumah sakit setelah mendengar kabar buruk setelah pergi dengan Taehyung, Jungkook lebih memilih menyembunyikan sakitnya nanti. Yang penting Taehyung selamat dari amukan bunda.
Untuk saat ini, setidaknya.
“Tapi, Mas, saya disuruh untuk mengantar ke rumah sakit,” Ucapan tolakan dari sopir taksi yang dipesan Taehyung itu membuat decakan pelan dari Jungkook.
“Kan sekarang penumpangnya saya, Pak. Bukan teman saya. Kalau argonya kurang, nanti saya tambahin.”
“Bukan masalah argo, Mas—”
“Bapak gak akan kena masalah kok walaupun gak nganterin penumpang ini ke rumah sakit.”
Sopir taksi itu melirik kaca spion tengah, “Masnya pucet banget, sayanya jadi takut,”
Jungkook tertawa kepayahan, napasnya sudah satu-satu sebenarnya. Dan bicara juga menjaga kesadaran sampai ini membutuhkan banyak tenaga. “Gak apa-apa kok, Pak. Emang muka saya begini.”
Sopir taksi itu jadi menggaruk tengkuknya tidak enak.
“Ke komplek Cempaka Putih aja ya, Pak.”
Pak Sopir masih ingin menolak sebenarnya, tapi pria itu kasihan dengan tampang kepayahan penumpangnya yang ia tahu itu bukan pucat biasa. Itu pucat kesakitan. Jadi, ia hanya menyahut, “Iya, Mas.”
Mereka sampai di depan rumah keluarga Jeon empat puluh menit kemudian, waktu yang tidak begitu panjang, tapi cukup menyiksa bagi Jungkook yang sudah ada di ujung kesadarannya.
Jungkook menghela napas panjang setelah taksi sudah benar-benar berhenti. Lalu menghembuskannya sebelum ia membuka mulut untuk bicara, “Makasih, Pak.” Tangannya mengulurkan selembar mata uang pada sopir itu.
“Eh makasih, Mas.”
Jungkook mengangguk samar. Lantas menghela napas lagi setelah memasuki gerbang rumahnya. Mempersiapkan diri agar terlihat cukup normal untuk orang yang sedang menahan sakit mati-matian. Anak itu menjilat bibir, menggelengkan kepala ketika matanya mulai berkunang.
Sedikit lagi nyampe kamar dan lo bisa napas lagi, Jungkook. Semangatnya pada diri sendiri.
Jungkook membuka pintu utama rumahnya dan mendapati bunda menonton di ruang keluarga. Langsung saja anak itu melewati ruang keluarga setelah menyapa bundanya dengan asal. “Malem, Bun.”
“Eh, Kookie—”
“Aku langsung ke kamar ya, mau lanjutin tugas. Dah Bunda!” Niatnya ingin menghindari bunda agar bunda tidak melihat wajah pucatnya, tapi wanita yang melahirkannya itu ternyata lebih cepat untuk berdiri di sisi anaknya yang sudah di anak tangga ketiga.
“Tadi ngapain aja?” Bunda menangkup wajah Jungkook dan seketika rautnya berubah khawatir mendapati keringat dingin di pipi anaknya. “Kamu kenapa, sayang? Kamu sakit? Kok—”
Jungkook berusaha tersenyum “Aku cuman kena angin malem, Bunda.”
Bunda menggeleng panik, tangannya pindah ke telapak tangan anaknya yang kini sudah benar-benar basah seperti habis mencuci tangan. “Ayah...!”
Jungkook balas meremas pelan tangan bundanya dengan senyum yang—dianggapnya—meyakinkan. “Aku gak apa-apa, Bunda.” Tapi justru tubuhnya memberikan reaksi yang sebaliknya. Jantungnya makin membandel dan jalur pernapasannya rasanya semakin menyempit.
“Kookie!”
Bibirnya tidak bisa menahan untuk tidak meringis kecil tepat ketika ayah datang.
“Kenapa, Bun?”
Bunda menoleh panik, “Jungkook kambuh, Ayah. Bawa ke rumah sakit.”
Jungkook menggeleng sambil tertawa kecil, “Gak apa-apa, Bunda. Kenapa sih?”
Ganti ayah yang berdiri di sisi Jungkook, menangkup pipi dinginnya dan tanpa kata-kata, kepala rumah tangga itu langsung membawa Jungkook ke gendongannya dan membaringkan anak itu di atas tempat tidur nyamannya.
Jungkook sudah tidak bisa mengelak, dan memang sudah tidak menyembunyikan apa-apa lagi. Ia tidak lagi menahan sengalan napasnya yang satu-satu, keningnya mengernyit, dan bibirnya meringis kesakitan.
Bunda sudah memosisikan diri di samping Jungkook di atas tempat tidur sambil mengelus lembut kepala anaknya sementara ayah memasangkan masker oksigen.
Ayah berlutut menyamakan tingginya dengan tempat tidur anaknya, “Napas ya, sayang, ya. Pelan-pelan, ya...”
Jungkook berusaha menikmati oksigen yang diberikan, tangannya meremas dada sambil meringis.
“Kamu habis ngapain sih, Kook?” Bunda bertanya lembut, meski tahu tidak akan mendapatkan jawaban sekarang.
“Masa ngerjain tugas sampai kamu begini? Mulai kapan kamu sakit?”
“Taehyung gak nganterin kamu ke rumah sakit walaupun dia tau kamu sakit?”
“Taehyung pasti sengaja. Bunda tau hubungan kalian gak sebaik dulu, tapi gak seharusnya juga kan dia sebegininya sama kamu.”
Jungkook hanya menggelengkan kepalanya lemah, mata sayunya menatap Bunda. “Enggak, Bun,” Suaranya teredam oleh masker oksigen.
“Jangan bicara dulu, Jungkookie.” Ayah menginterupsi.
Bukannya menurut, Jungkook justru melepaskan masker oksigennya dan berusaha duduk menghadap Bundanya, melahirkan kepanikan spontan dari kedua orang tuanya. “Kook!”
Jungkook tersenyum saja, menepis pelan tangan ayah dan bundanya yang menyuruhnya kembali berbaring. “Aku mau ngomong dulu, dan Bunda harus dengerin.”
Dalam-dalam Jungkook menghela napasnya, mengesampingkan degup jantung yang protes meminta pasokan oksigen. “Pertama, aku gak bohong, Bun. Taehyung gak bohong. Tadi emang belajar bareng kok, nugas bareng.”
Jungkook meremas dadanya lagi, lantas menjilat bibir sebelum mulai bicara, “Bukannya Taehyung gak mau nganterin aku ke rumah sakit, tapi aku sakitnya emang tiba-tiba. Taehyung gak tau tentang ini.”
Bunda menggeleng, “Bunda tau Taehyung tau kamu nyaris sebaik bunda tau kamu. Gak mungkin dia gak tau apa-apa.”
“Bunda, berhenti nyalahin Taehyung. Aku sakit pas kami sampai di depan komplek. Mobil gelap, Taehyung gak tau apa-apa. Jadi dia gak salah.”
“Dia pasti bisa denger napas kamu, pasti sadar. Emang Taehyung aja yang jahat kan?”
Jungkook tertawa kepayahan, “Apa sih Bun? Mana ada sahabat yang jahat? Aku nahan diri supaya napas aku gak terlalu kedengeran gak normal. Jadi sekali lagi, bukan salah Taehyung. Kan—”
“Jungkook! Denger Bunda! Bunda tau kalau—”
“Bunda,” Suara ayah menginterupsi bunda, menyadarkan bunda bahwa ia baru saja membentak anaknya. Meski bentakannya keras, tetap saja cukup berefek pada jantungnya yang tidak sedang baik-baik saja.
“Sayang, maaf,”
Jungkook menggeleng dengan tangan yang tidak lepas meremas dadanya. Anak itu membenahi posisi duduknya agar lebih tegak, lantas tersenyum dengan mata sayu dan tangannya menangkup pipi Bunda.
Bunda membalas sentuhan telapak tangan yang basah dan dingin karena keringat itu, menahan tangis melihat kesakitan anaknya.
Jungkook menghela napas dalam-dalam sebelum bertutur, “Bunda denger aku ya, aku gak akan ngulang ini; Bun, Taehyung gak salah. Soal aku yang sakit, Taehyung gak tau apa-apa, Bunda. Aku aja yang nyembunyiin ini dengan hebat. Jadi, jangan salahin Taehyung karena apa pun. Oke? Kedua, hubungan aku sama Taehyung emang gak sebaik dulu, Bun. Tapi gak seburuk yang di pikiran Bunda. Jadi, Bunda tenang aja. Overall, kami berdua baik-baik aja kok.”
“Kook,”
Jungkook langsung merengkuh erat bundanya sebelum bunda melanjutkan bicaranya. Membungkam bunda secara tidak langsung. “Gak ada yang salah. Toh aku juga baik-baik aja kan?”
Bunda bisa mendengar suara anaknya yang melemah barusan. Tangannya membalas rengkuhan Jungkook dengan lembut yang lantas sontak diinterupsi ayah dengan nada panik.
“Bun, Kookie!”
Ayah buru-buru melepaskan pelukan ibu dan anak itu, memperlihatkan Jungkook yang sudah terkulai lemas dengan mata terpejam. Entah bagaimana, bunda tidak merasakan rengkuhan Jungkook yang melemas barusan. Justru ayah yang menyadarinya karena kepala anaknya terjatuh di pundak bunda begitu saja.
“Ayah, ke rumah sakit!”
Ayah menggelengkan kepala, “Ayah khawatir Kookie gak kuat di jalan, Bunda.” Pria itu kembali memasangkan masker oksigen pada Jungkook. “Besok kita bawa Kookie ke rumah sakit kalau keadaannya membaik.”
Bunda menangis dan ayah memeluknya.
“Taehyung itu jahat, Ayah. Sekarang Taehyung jahat. Bunda tau sebenernya mereka sama sekali gak baik-baik aja. Bunda tau mereka berdua sering debat, sering berantem, dan itu sama sekali gak baik buat Jungkook ‘kan, ayah?”
Ayah hanya mengangguk-angguk saja mendengarkan bunda bercerita dengan kesedihannya. “Mereka masih bareng-bareng, Bun. Kalau debat dan bertengkar, itu wajar kan? Kita juga sering kan? Bunda gak boleh ngehakimin Taehyung kayak gitu.”
“Tapi, Ayah, tetep aja Bunda gak terima. Anak kita salah apa sih? Apa ini masih soal patah hatinya Taehyung? Itu udah lama, Ayah.”
Ayah terkekeh lembut, nada rendahnya sedikit memberikan ketenangan pada hati Bunda. “Kalaupun iya, maafin Taehyung ya, Bun?”
Bunda menggeleng tidak terima.
“Bun, denger ayah. Jungkook aja memaafkan. Bukannya kuta sebagai orang tua harusnya jadi contoh? Masa kita yang harus mencontoh anak kita?”
Ayah melepaskan pelukannya, menggeser Bunda untuk melihat Jungkook. “Liat anak kita, Bun.” Bunda terdiam, tapi menurut dengan memandangi anaknya yang kini terpejam dengan masker oksigen yang menutupi separuh wajahnya. Napasnya terdengar nerat dan dadanya naik turun. Rasanya bunda ingin menangis lagi, tapi bunda harus lebih kuat dari Jungkook. “Bagaimanapun, anak kita tumbuh sebaik ini, Bunda. Kamu gak boleh menjadi lebih buruk dari apa yang udah kita buat. Let’s prove to the world that we praising our child with our best, di tangan kita, bukan di tangan semesta. Dunia dan lingkungan cuman pendukung, kita faktor utamanya.”
Dengan lembut Ayah memalingkan wajah Bunda agar menghadapnya, “Bunda harus sabar ya? Ayah juga kesel dengernya. Tapi sekali lagi, kita gak boleh lebih buruk dari ini. Kita udah cukup buruk ‘kan, Bunda?”
×××Teaser Detak Ketujuh (2)
"Setan lo, Taehyung!"
"Lo pikir lo udah sesuci malaikat?!"
***
"Lo boleh kesel dan emosi ke Jungkook. Tapi lo harus tau diri juga. Kondisi Jungkook beda untuk lo jailin, Taehyung. Jangan sampe ada hal fatal terjadi cuman karena lo emosi dan ngejailin Jungkook. Gak perlu juga dia seberat itu nerima beban. Kasian."×××
Aku udah ngasih kode sih; 'Finished it!'
😂😂😂
Selamat buat kalian yang gak menyeranh scrolling wkwk.
Lagi, aku minta maaf hehe.
Bye, alafyu!
Regards,
-Aer
YOU ARE READING
SUNRAIN [prekuel] ; vk
Genç KurguPersahabatan Jungkook dan Taehyung remaja ternyata buruk? Prekuel dari book dengan judul yang sama. A/N : Sorry, I'm bad with summary hehe