Dentingan suara piano dari kotak musik membuat tubuhku ingin menari-nari. Nenek memanggil dari dapur tapi tidak kuindahkan. Rambut kuikat dua dengan pita warna-warni. Aku berputar mengembangkan rok layaknya putri. Aku ingin jadi putri. Cantik, baik, selalu dipuja-puji tapi rendah hati. Aku selalu ingin jadi putri.
“Makan ini dulu baru kau boleh menari lebih indah lagi, Tuan Putri.” Nenek muncul dari pintu dapur. Ia meletakkan kue-kue hasil cetakkannya ke piring di atas meja makan.
Aku tersenyum, memegangi perut yang sedari tadi ikut berbunyi. Kuangkat rok dengan jumputan tangan ke depan, berjalan dengan anggun mendekati meja makan. Nenek hanya tertawa. Apalagi saat aku duduk dengan penuh hati-hati dan memperhatikan kue-kue berbentuk hati itu. Menggiurkan, membuatku sejenak melupakan panggilan ‘Tuan Putri’.
Kuambil lalu menggigit satu. Renyah dan manis. Tapi saat kulahap semuanya, ada sesuatu yang mengganjal dalam mulut. Ketika kukeluarkan itu adalah sebuah kertas dengan tulisan di sana.
Nenek lagi-lagi tertawa melihatku kebingungan. “Ya ampun, harusnya dipecahkan dulu baru dimakan.” Pesannya terlambat.
“Ini kue apa, Nek?” nafsu makanku lenyap digantikan penasaran. Kupandangi kertas setengah basah akibat liurku.
Ketika semua telah redup, maka teranglah.
Kukerutkan kening. Tak mengerti tulisan yang tercantum di sana. “Kenapa nenek masukan kertas ini? Ini artinya apa?” tanyaku lagi.
Suara berpuluh kue lagi jatuh menumpuk pada piring-piring. Ini yang terakhir, katanya sebelum menjawab pertanyaanku.
“Namanya kue keberuntungan. Tulisan-tulisan itu sengaja nenek buat lalu dimasukkan. Ketika kau pilih satu lalu dipecahkan, maka tulisan itu akan jadi keberuntunganmu.” Penjelasan nenek belum bisa kucerna.
“Keberuntunganku? Apa itu artinya aku akan jadi seorang putri?” tanyaku mulai berharap. Aku rasa dentingan piano di kotak musik mulai menarik perhatian lagi. Membuatku ingin terus berputar dan merasakan diri sebagai seorang putri.
Kletok!—Aw!
Kupijit kepala yang terasa sakit setelah sendok makan mendarat di sana. Aku mengusap pelan sambil mengambil sendok tadi yang terjatuh di lantai. Semua murid di kelas manner meja makan menertawaiku. Hari ini aku kembali sekelas dengan Sisilia Legnard, diajar oleh Bu Mcqueen yang tak kalah galaknya dengan Bu Rossy.
“Coba kita lihat bagaimana kau menerima pelajaranku setelah melamun lama sekali,” ujar Bu Mcqueen menatapku tajam. Kata-katanya membuatku telak tertunduk. Di saat tegang diajari guru ini, bisa-bisanya aku melamun. Tapi itu bukan kehendakku. Pikiran itu tiba-tiba saja melesat membuatku merasa nyata ada di sana. Apa itu salah satu ingatanku yang hilang? “Averna! Pendengaranmu masih berfungsi, kan?”
Aku tergelak lalu buru-buru memegang sendok di tangan kanan. Setelah itu apa lagi ya? Ah ya, serbet! Serbet harus kuletakkan di ... di leher mungkin? Sial, tadi Bu Mcqueen mengajarinya bagaimana ya?
Tawa seisi kelas makin meledak. Hanya Sisilia Legnard yang memandangku iba. Ia menatapku lalu memberi isyarat bagaimana letak seharusnya. Tapi sial, Bu Mcqueen menegurnya duluan. Akhirnya Bu Mcqueen mengabaikanku lalu melanjutkan ajarannya hingga selesai.
Menyebalkan, huh?
“Selanjutnya kelas apa, Sil?” tanyaku ketika bel berbunyi panjang. Tanda pergantian jam ajaran. Kutatap jadwal kelasku hari ini. “Aku kelas memasak. Semoga masakanku nanti minimal tidak gosong atau keasinan.” Doaku tulus. Sisilia Legnard hanya tertawa.
“Sama kok, Averna. Aku sudah mengecek jadwal kita berdua, hari ini kebetulan semuanya sama.” Dalam hati aku bersyukur Sisilia Legnard mengatakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kingdom Legend
FantasyKalau tidak ada lagi yang bisa dipercayai di dunia ini, maka masih ada satu yang harus kau yakini. Dirimu sendiri. Perkenalkan, namaku Alline Hemsworth. Kuharap kau tidak kesal padaku, iri pada Sisilia, ingin menjitak Nicobar, atau jatuh cinta pada...