2

2.9K 108 2
                                    

Tanganku bergerak. Mencoba meraih sesuatu di atas meja, tapi tak ada apa pun. Setelah berusaha mengumpulkan jiwa, aku pun bangun dan duduk dengan mata terpejam di kasur. Kusisir tangan rambut yang kusut. Juga mengusap mata yang masih berat untuk dibuka. Samar namun semakin jelas kulihat jam. Masih pukul enam pagi.

“Enngggh,” satu tangan mulai melingkar di perutku diikuti suara dengungan yang serak. Tubuhku menegang seketika. Sedikit gemetar kulihat ke asal tangan itu.

Dia cowok. Dengan mata terpejam dan rambut ikalnya yang acak-acakan. Dan bajunya ... bajunya kemana?!

“K-kamu siapa? Maling! Ahhh tolong!!!” aku berteriak histeris sambil melepas tangannya dari perutku. Berlari mengelilingi kamar sambil menghentak-hentakkan kaki. Bingung mencari tempat untuk bersembunyi. Aku hanya mengenakan piyama mandi tanpa sehelai pakaian dalam, dan dia telanjang dada!

“Ini dia mulai lagi.” Ucapnya memutar mata malas.

Dari bawah terdengar suara gemuruh langkah kaki. Diikuti dengan ketukan pintu yang keras. Pasti Bibi Nancy.

“Averna ada apa lagi?! Averna buka pintunya sekarang!!!” teriak Bibi Nancy membuatku dan cowok itu menutup rapat telinga.

Cowok yang baru kusadar Nicobar Windsor itu mendecak. Ia meraih bajunya yang tergeletak di lantai lalu buru-buru membuka jendela.

Sebelum kakinya benar-benar memanjat dahan pohon persik, ia menoleh padaku. “Averna, terima kasih untuk tadi malam. Untuk informasi, aku tidak bisa tidur tanpa melepas baju. Maaf!” setelah terkekeh sebentar, ia menghilang dari jendela.

Aku buru-buru mendekat dan melihatnya kini berlari mengendap menuju asrama cowok yang ada di seberang.

“Averna kamu di dalam?!”

Ya ampun, aku lupa dengan Bibi cerewet satu ini. Terpogoh-pogoh kubuka pintu dan mendapati Bibi tambun itu dengan banyak roll di atas rambutnya.

“Ya Bibi Nancy?”

Seperti tadi malam, Bibi Nancy kali ini menjulurkan kepalanya sambil melirik ke dalam. Aku menelan ludah, berharap tak ada masalah.

“Itu kenapa jendelanya terbuka?”

Glek! “I-itu, aku sengaja agar matahari pagi masuk langsung ke dalam, Bibi Nancy.”

Bibi Nancy mengerutkan kening. Mungkin curiga dengan nada suaraku yang gemetar. Ia lalu menatapku sinis seakan mengatakan ‘kali ini aku percaya, tapi lain kali jangan harap!’.

“Ya sudah, sana bersiap, kau tidak akan punya banyak waktu untuk mencari kelas.”

Be-benar juga!

“Iya, Bibi Nancy.” Ucapku berusaha tenang, lalu menutup pintu segera ketika Bibi Nancy pergi.

Kali ini detak jantungku lebih parah dari tadi pagi. Setengah terpeleset kusambar handuk yang digantung dekat lemari, lalu meluncur ke kamar mandi. Tidak perlu lama, dua kali bilas untuk satu paket mandi. Kucari seragam di lemari lalu memakainya. Seragam yang sama seperti yang kemarin Sisilia Legnard pakai. Kemeja putih dengan kerah dada pita, ditutupi rompi coklat tua yang senada dengan rok selutut. Seragam yang keren namun etnik kuno, menurutku.

Karena tidak tahu hari ini pelajaran apa, kumasukkan ke tas tiga buku tulis kosong untuk jaga-jaga. Setelah mengunci pintu, aku berlari secepat mungkin.

Entah berapa orang yang sukses terkena tabrak, juga tak terhitung yang mengumpat bahkan menyumpahiku. Ada yang tadi minumannya sampai tumpah dan kena baju, juga jatuh dari skateboard, bahkan beberapa buku berceceran jatuh ke lantai.

“Maaf, maaf!” ucapku tak tahu mengatakan apa lagi.

Kemana Sisilia Legnard? Apa dia sekelas denganku? Parah, ini akibatnya kalau memikirkan diri sendiri. Bagaimana mungkin aku sebodoh itu sampai lupa menanyakan semua hal tentang sekolah—setelah dengan jahat mengabaikannya waktu itu.

Kingdom LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang