Bunyi terompet dari segala penjuru terdengar. Banyak sekali orang yang datang. Spanduk-spanduk lalu pita warna-warni menambah keceriaan hari ini.
Tadi pagi-pagi sekali Sisilia Legnard mengetuk pintu kamarku. Tepat pada jam lima pagi. Harus bersiap untuk kafe, katanya. Dan pagi-pagi itu jugalah, kami menjalankan tugas masing-masing. Ada yang mendekor tempat, menghias daftar menu, membantuku memasak, membuat minuman, dan banyak lagi.
Belum ada yang datang ke kafe. Kata mereka, biasanya kalau sudah waktunya makan siang, baru akan ramai. Saat itulah kami pasti kerepotan. Aku hanya tersenyum saat mereka bercerita tentang kejadian seru di kafe, festival tahun lalu. Ada yang pecah piring saking sibuknya, tidak kebagian tempat duduk karena ramai, juga rela mengantri hanya untuk segelas es teh.
“Kali ini pasti akan lebih seru lagi! Apalagi makanan kita bertambah menunya berkat Averna ya!” pipiku memerah dipuji Clara begitu. “Pasti para pengunjung jadi rakus karena makanan kita enak-enak.”
Aku terdiam. Mendengar kata rakus membuat pikiranku terlempar pada satu orang. Nicobar Windsor. Tentang kejadian semalam. Apakah, dia akan datang ke kafe sesuai perkataannya?
“Aku suka kue bentuk bola ini, Averna!” komentar Oshy saat kuletakkan kue-kue kentang isi keju terakhir di kotak yang disediakan.
“Mau cicip yang ini ah!” sahut Sherna dan yang lain ikut wisata kuliner kecil-kecilan. Mumpung belum ada pengunjung, alasan mereka.
Aku tertawa saja. Ayo berdoa semoga persediaan kuenya tidak habis oleh mereka. Sampai tengah hari, barulah terasa bagaimana rasanya jadi seorang chef di restoran paling laku seantero negeri. Repot!
Aku harus bolak-balik mengambil bahan yang habis. Menunggu kue-kue itu berwarna coklat sementara pesanan sudah menumpuk. Atau geram saat ada beberapa yang gosong. Kadang jantungku berdebar keras, takut mengecewakan pengunjung. Kadang aku menjerit hingga melompat saking senangnya dipuji secara langsung. Perasaan yang membuncah ini membuatku merasa lebih bersemangat. Hingga tak terasa kafe harus tutup walau pun masih saja ada orang yang ingin datang.
“Waktunya sampai jam 5 sore saja. Maaf.” Ujar Sisilia Legnard berusaha menjelaskan kepada salah satu pengunjung yang nekat ingin masuk.
Kekacauan hari ini kami bersihkan. Besok harus mulai dengan semangat lagi. Kami saling mengucapkan selamat untuk hari pertama yang sukses. Tapi tidak berakhir sampai di sini.
Aku ada janji dengan Elbrus William soal drama.
Tanpa mencari Elbrus, aku langsung menuju aula yang telah diubah itu. Mungkin sudah ada dia di sana. Mungkin juga tidak. Dan ketika aku sampai, opsi kedua adalah benar. Sebenarnya aku takut sendirian di ruangan yang besar seperti ini. Lampu sorot hanya hidup beberapa, membuat sisi yang lain seutuhnya gelap.
Kupilih untuk berdiri di atas panggung. Sendiri. Ditonton oleh kursi-kursi penonton tak berpenghuni. Kurentangkan tangan, lalu menghirup udara dalam-dalam. Mungkin beginilah rasanya nanti.
Bosan menunggu Elbrus yang tak kunjung datang, aku mulai mencoba bermain peran sendiri. Mulai dari jadi seorang putri, lalu seketika berubah jadi pangerannya. Atau jadi ibu tiri lalu berteriak marah-marah kepada anak yang sebenarnya tidak salah.
“Ini semua kesalahanmu! Dasar tidak tahu aturan!” suaraku kubuat kesadis mungkin.
Buru-buru aku pindah ke sisi lain dengan ekspresi memelas. “Ampun, Bu! Ampun!”
Aku pindah lagi, kali ini lebih congkak. “Tidak, tidak. Tiada ampun bagimu, Nak!” lalu aku tertawa sekeras mungkin. Tidak cocok. Kuubah tawaku seperti tawa milik Pak Petra yang bernada ‘hoho’, mungkin lebih bagus dan khas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kingdom Legend
FantasiKalau tidak ada lagi yang bisa dipercayai di dunia ini, maka masih ada satu yang harus kau yakini. Dirimu sendiri. Perkenalkan, namaku Alline Hemsworth. Kuharap kau tidak kesal padaku, iri pada Sisilia, ingin menjitak Nicobar, atau jatuh cinta pada...