Paranoia

1.9K 94 5
                                    

"Ajeeeng?"

Jerit Helena ketakutan , tapi Ajeng hanya diam memandangnya dengan tatapan tajam beringas . Ajeng maju keluar lift menghampiri Helena yang masih terdiam menggigil ketakutan .

"Maafkan aku Jeng, aku tak bermaksud... "

Ucapannya terpotong karena tiba - tiba dari punggung Ajeng nampak dua anak kecil, laki - laki dan perempuan. Helena terperangah tak percaya dengan apa yang dilihatnya

Ajeng dan dua bayi itu matanya tajam penuh dendam pada Helena , mereka bersiap maju hendak memegang kedua tanganya.

"Jangaaan!"

teriakan Helena menggema disepanjang lorong apartemen . dihentakan tangannya kedepan berulang-ulang, mencoba menghalau sosok - sosok menyeramkan itu.

Helena terbangun dengan bermandikan keringat dingin.

Badannya gemetar ketakutan dan menggigil kedinginan, diraihnya remote ac, tapi tangannya memegang sesuatu yang lembab, dingin serta lengket, Helena kaget , terkejut setengah mati. Reflek segera ditariknya tangannya .

"Aaaaaaah.. Tidaaak ..."

----- $$$$$ -----

Dion berdiri dihadapan Helena yang masih duduk gemetar di sofa . jari - jari tangannya mencengkeram erat bantal . menyembunyikan wajahnya disitu.

"Ceritakan Hel ! ada apa kau panggil aku sepagi ini ? " Dion menarik bantal Helena.

"Cepatlah Kau lihat ada apa di meja riasku Dion ! ada sesuatu disana ! Aku takut ," Helena tidak melepaskan bantalnya.

Helena shock, bibirnya gemetar.

Dion segera bergegas menuju pintu kamar yang terbuka, serta merta menyalakan lampu .

Matanya memandang sekeliling, Dion tidak mendapati sesuatu yang aneh ataupun mencurigakan, semua bersih, kecuali tempat tidur yang berantakan.

Dilihatnya botol obat Helena dilantai dekat meja rias, Dion memungutnya . botol itu terbuka tanpa tutup , kosong tak ada satu pil pun tersisa.

Jangan - jangan Helena berhalusinasi lagi pikirnya.

------ $$$$$ -----

Di waktu yang sama di rumah pemulihan, Ajeng mendengar sebuah langgam terdengar asing ditelinganya.

Bukan bahasa yang dikenalnya, sangat asing, namun serasa memiliki kekuatan bagi siapapun yang mendengarnya untuk menyimak .

Diandra sering membacakannya selama Dia dalam masa perawatan , kadang sambil menemaninya melamun, mengingat kedua bayinya.

Air matanya turun mengalir di pipinya, pelan dan berangsur deras.

Matanya berkabut tapi kini hatinya hangat, sangat hangat walau terasa sangat kosong dan sepi.

Dia hampir menolak kenyataan jika kedua bayinya telah pergi, hatinya menolak mentah - mentah kenyataan itu.

Tapi kini setelah dia menyadari semua bahwa kenyataan sepahit itu hatinya berlobang dalam, kosong dan dingin.

Tapi tidak lagi, ada rasa hangat setiap kali terdengar langgam itu, ntah apaa yang dibacakan sahabatnya dan laki - laki asing itu yang membuat hangat kembali lubang dihatinya yang dingin

" Kau sedang membaca apa ? "

Tanyanya pada laki - laki berkaca mata yang  sedang duduk bersila membaca sebuah buku

"Sini duduklah"

Ajak laki - laki itu

"Kau masih ingat aku kan? Aku Guntur, sepupu Diandra"

"Kau Guntur? Laki - laki kaku itu ? "

Guntur tertawa terkekeh dan mengangguk, suara tertawanya hangat, sama dengan suata Diandra

"Sebentar ya aku minta pak Misbah menyiapkan sahur" Guntur berdiri keluar dari ruangan itu.

Ruangan itu tidak sebegitu luas, tapi rapih dan lapang, hanya ada dua rak berisi buku - buku disisi kirinya, dan di dindingnya terdapat dua buah tulisan indah, huruf asing yang dulu sering Ajeng lihat.

Sepagi ini ada dua tiga orang sedang beribadah, Diajeng melihat jam di dinding, masih jam 3 lebih sedikit, sekarang dia selalu terbangun di sepertiga malam.

Guntur kembali kedalam ruangan, mengajak Diajeng keluar, menuju ruang makan.

"Mau menemani sahur? Biasanya aku sahur bersama mereka"

Guntur menunjuk beberapa orang yang masih duduk di ruangan tadi. Mereka terlihat dari ruang makan.

Di atas meja telah tersedia dua buah piring, sayur bayam dan tempe gembus yang masih hangat.

Tapi tatapan Diajeng mengarah ke gelas berisi wedang uwuh. Tiba - tiba dia ingat Mas Anton yang sangat menyukai wedang uwuh.

"Wedang uwuh ini sangat baik diminum saat sahur karena jahenya memberikan rasa hangat dan nyaman diperut"

Ujar Guntur.

"Atau kamu mau teh?"

Tanya Guntur lembut, dia tak mengira bahwa tawarannya itu membuat Diajeng tiba - tiba membeliak ketakutan.

Dan "Prang!"

Assalamu'alaikum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Assalamu'alaikum..
Maaf baru posting lagi, lagi konflik batin sama Helena hihi, sedang tidak mau dibaca pikirannya 😀

Oh ya ini visualisasi Ajeng, rambut coklat bergelombang dengan senyum yang indah.
Blasteran Ibu jawa dan ayang bule hihi..

Terima kasih sudah membaca.

SenjakalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang