BM02 - Kesedihan.

45 16 4
                                    

Berkorban untuk seseorang tidaklah mudah apalagi melepaskan hati seseorang, logika menolak hati menerima. Siapa yang harus dipilih? Hati atau logika?

- - - - - - - - - - - -

Sejak 10 menit yang lalu, Erli dan Olin saling berdiam. Hanya keheningan yang tercipta, membuat Erli kebingunan apa yang terjadi? Mengapa dia ada disini?

"Olin..." panggil Erli sudah 5 kali namun Olin tak menjawab, dia hanya pura pura tak mendengar. "Lin..." untuk yang keenam kalinya.

"Ada apa sih Lin? Kenapa gue disini?" Pertanyaan itu terlontar saja lewat mulutnya, itu yang sedari tadi menggangu Erli yang berputar diotaknya.

"Lo bener ga inget apa-apa?" Itu yang terlontar langsung dari mulut Olin. Erli menggelengkan kepala tak mengerti maksud Olin.

"Ini apa?" Olin menunjukan suatu sms yang dikirimnya.

"Dia dateng lin, lin dia dateng!! Gue takut lin, gue mau pulang lin!!! GUE MAU PULANG DIA DATANG!!!!!" Jalannya dengan tergesa gesan namun tertatih. Kaki kirinya tak bisa di gerakkan.

Olin yang melihat Erli mengamuk dan pergi langsung membawa tas serta menelpon mama Erli dan segera mencari Erli yang sudah benar bebar hilang, dikoridor ujung tidak terlihat sama sekali. Kenapa ia cepat sekali?

Dengan gelisah telepon yang digenggamnya berdering. Ia mengangkat nada terdengar, "Hallo. Erli. Kenapa telepon mama?"

"Hallo tante ini Olin, tante ada dimana?" Nada gelisah yang dikeluarkan oleh Olin membuat yang diujung sana menjadi panik.

"Dirumah baru mau kearah sekolah Erli mau jemput Erli, kenapa Lin?"

"Tante Erli hilang!" Olin masih mencari di gudang, toilet, bahkan ruang guru sembari menelpon. Kadang ia menabrak seseorang yang sedang ada kegiatan eskul dan meminta maaf.

"Hilang gimana Lin? Jangan buat tante panik!"

"Tadi dia pingsan tan, terus pas bangun dia ga tau apa apa. Terus Olin kasih tau sms yang berisi 'aku datang lagi, syg.' Terus dia panik tan, sambil teriak dia datang berkali kali, pas Olin cari udah gaad---"

Telepon terputus, di sana mama Erli menelpon seseorang, "Siapkan bodyguard 5 untuk rumah, dan 4 lagi kirim ke sekolah sekarang. Bawa mobil!"

"Siap nyonya."

Dengan penuh dia menginjak rem ketika melihat lampu merah dihadapannya. Nafasnya memburu, "shit!" Hampir saja.

----------------------

Di sisi lain Erli yang sudah terbangun, menelusuri dimana dirinya. Ini bukan kamarnya dan menjerit ketakutan, membuat sang rumah yang sedang berada di bawah dengan cepat untuk keatas.

Suara pintu dibuka membuat Erli sembari menutupi badannya dan dirinya sudah dipojok kasur. Selimut menutupi dirinya serta wajahnya, ia merasakan selimutnya ditarik kasar membuat kembali pada masa lalunya.

"Erli ini gue Daffa!" Mendengar kata Daffa membuat selimut yang awalnya ia pegang erat menjadi kendor.

Selimut terbuka sepenuhnya namun Erli enggan melihat sebenarnya siapa yang dihadapannya, hanya takut ia terlabuhi bukan sosok Daffa di depannya.

Matanya terbuka lebar dan benar Daffa kini dihadapnya, Erli langsung berhambur ke pelukan Daffa sangat erat.

Daffa dengan pelan dan halus mengelus kepala Erli berusaha menenangkannya. Erli yang tadi ditemukan pingsan ditengah koridor membuat Daffa membawa Erli kerumahnya.

Apalah Oline mencarinya? Dan jawabannya iya. Oline tadi meneleponnya dengan panik dan langsung disuguhi perkataan datar dari Daffa. Membuat Oline langsung menutupnya.

Tak lama pelukan yang awalanya erat kini semakin kendor. Erli terlelap kini di pelukannya, di benarkan posisi tidur yang nyaman untuk Erli, tak lama suara ketukan pintu membuag Daffa bangkit dan membukannya.

Disanalah terpampang jelas sosok wanita dengan raut wajah khawatir, mungkin dia mama Erli?

"Boleh masuk?" Pertanyaan yang pertama kali terlontar, Daffa tersenyum dan mempersilakan masuk.

"Silakan mama Erli."

Ibu Erli kini duduk tepi kasur dan mengelus pelan rambut anaknya. Raut wajah khawatir kini memudar berganti wajah yang tenang.

"Kenapa bisa begini, nak?" Pertanyaan kedua dan langsung menargetkan intinya.

Daffa menarik nafas, "tadi Daffa ketemu dia pingsan di tengah koridor tante, Daffa gatau kronologisnya."

"Dia mempunyai trauma, nak." Kerutan halus kini tercipta di dahinya.

"Trauma tan?" Mama Erli mengangguk samar menandakan jawaban 'iya.'

"Trauma apa tan? Itupun kalau Daffa boleh tau." Ucapnya tersenyum merasa tak enak menanyakan masalah Erli yang bukan siapa siapa.

"Belum ada nama yang cocok untuk traumanya, tapi setiap dia mendapatkan teror dari seseorang yang buat dia begini sarafnya akan kaku. Tidak bisa bergerak, sebelum itu biasanya otak dia akan menyuruh memikin obat bius cair yang sudah tante oplos obat pelupa." Mama Erli menarik nafas dan melanjutkannya, "walaupun mungkin obat itu akan berdampak pada tubuhnya, tapi itu obat satu satunya yang bisa membuatnya tenang."

"Seseorang siapa tan?" Daffa memberanikan lagi untuk bertanya. Kadar penasarannya sudah meningkat.

"Dulu pacarnya, mungkin sekarang bisa disebut mantan. Dulu, pacarnya memperkosa dia. Setelah itu dia mengalami penurunan psikis dan membuatnya gila. Sampai akhirnya, keajaiban datang. Dia sembuh walau tidak total, makanya disediakan obat itu untuk berjaga jaga. Dan sekarang obat itu dipergunakan, dia kembali."

"Maaf tan membuka masa lalu atas kelancangan Daffa." Kini dia berada tepat di depan hadapan mama Erli ditepi kasur.

"Gapapa Daffa, tante deket kok sama mama kamu." Mama Erli menggenggam tangan Daffa dan suatu pernyataan muncul,

"Jagain dia Daffa, dia berharga bagi saya. Kamu mau Daffa?"

Bimbang, satu kata yang melintas.

Menerima dan menjaga sepenuh hati dan artinya kesempatan untuk percaya padanya.

Atau,

Menolaknya dan membuang kesempatan untuk membuag dia percaya?

Sayu jawabannya kini terdengar jelas di telinga seseorang yang telah mendengarkan cerita dari awal hingga akhir, "iya tan Daffa mau."

Tiga senyuman kini melebar mendengar pernyataan itu.

Dia adalah mama Erli, Daffa, dan Oline.

Iya, Oline mengupingnya dan mendekap mulutnya agar tak menumbulkan suara ketika mendengarkan cerita masa lalu sahabatnya, "sahabat macam apa aku yang udah 3 tahun bersama dan baru tahu?" Pertanyaan lirih itu selalu mengiris hati serta logika membuat dia merasa bersalah.

Oline menangis meninggalkan kamar Daffa, menangis dalam diam.

Menangis merasa bersalah tidak mengetahui.

Menangis merasa bersalah karena hampir membuat persahabatannya hancur.

Menangis merasa bersalah karena bisa menjaganya.

Menangis mengetahui kenyataan bahwa Daffa memerima untuk menjaga sahabatnya,

Benar. Dia menyukai Daffa.

Dan kini ia harus rela berkorban untuk sahabatnya,

Ia akan menghilangkan perasaan pada Daffa.

Mungkin terasa sulit.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Merubah ikatan dari kata teman menjadi sahabat sulit, tapi merubah dari ikatan sahabat menjadi teman adalah hal mudah. Cukup kecewakan dia dan itu ampuh. -pra.

Selamat malam.

Bulan Mei [SEDANG REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang