Satu

135K 9.1K 256
                                    

"Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya."

(Imam Syafi'i)

***


Arvin berulang kali mengumpati Arvan dalam hati karena tidak membangunkannya, yang membuatnya harus melewatkan mata kuliah pertama, padahal mereka berdua di satu kelas yang sama.

Sebenarnya, Arvin menyadari jika saudara kembarnya itu sempat menggedor pintunya pada pukul tujuh pagi—satu jam sebelum masuk kelas. Namun, karena sangat mengantuk, Arvin memutuskan untuk melanjutkan tidur, berharap lima belas menit kemudian terbangun kembali.

Tetapi ketika jam dinding menunjukkan jarum pendek di angka sepuluh, Arvin tidak berharap lagi untuk bisa mengikuti mata kuliah pertamanya. Dan sepanjang aktivitasnya dari mulai mandi sampai sekarang berjalan menuju kelas keduanya—Matematika Bisnis—ia terus menyalahkan Arvan karena tidak membangunkannya dengan lebih berusaha lagi.

Arvin memang suka berbuat seenaknya.

"Assalamu'alaikum," ucap Arvin setelah membuka pintu kelas.

Dosen yang sedang mengajar di dalam kelas menatap Arvin sejenak. "Kenapa terlamabat?"

"Ditinggal Arvan, Pak," jawab Arvin seadanya.

Seketika semua yang ada di dalam kelas tertawa, termasuk dosen tersebut yang ikut terkekeh kecil—sudah mengetahui sosok jahil Arvin. "Ya sudah, kamu duduk! Masih belum lewat dari lima belas menit," putusnya.

Setelah mengucapkan terima kasih, Arvin mengambil duduk di kursi paling depan, karena hanya tempat itu yang tersisa. Ia jadi mengingat saat masa SD, dimana semua teman-temannya akan berangkat pagi setiap tahun ajaran baru dimulai demi mendapatkan bangku paling depan.

Tetapi seiring berjalannya waktu, bukan bangku depan yang akan menjadi tempat paling dicari, melainkan bangku belakang.

Meskipun Arvin anti menyontek karena merasa kemampuannya tidak perlu untuk melakukan hal licik dan tidak berkah seperti itu—untuk kali ini ia mengaku sedikit sombong—tetapi bangku belakang memang tempat paling nyaman karena bisa mencuri-curi waktu untuk mengerjakan hal lain, atau mengalihkan apapun dari pelajaran barang sejenak.

Entah maksud tujuan Arvin di sini seperti apa, intinya ia menyukai bangku belakang.

"Kesiangan lagi lo?" tanya Rifqi. Laki-laki itu duduk tepat di belakangnya.

Arvin menolehkan kepalanya ke belakang. "Iya, emang ngeselin banget si Arvan."

Kemudian Arvin menengok ke arah Arvan dengan tatapan yang dibuat sinis—yang kebetulan ada di deretannya. Tetapi bukannya mendapat respon, saudara kembarnya itu justru hanya melihatnya sekilas kemudian mengalihkan pandangan ke arah dosen di depan yang sedang mencatat angka-angka di papan tulis.

Arvin tidak terkejut, ia sudah terbiasa.

***

"Lain kali kalau bangunin gue itu pakai niat, jangan setengah-setengah," ucap Arvin setelah keluar kelas. Saat ini, ia dan Arvan menuju mushola fakultas untuk shalat dhuhur.

Arvan hanya membalas dengan gedikkan bahu.

"Qi, mau kemana? Kagak shalat lo?" Arvin memanggil Rifqi dengan suara yang cukup keras saat laki-laki itu tiba-tiba melewatinya—membuat Arvan di sampingnya terkejut.

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang