Setiap hari Arvin memang mengantar jemput Shafiyyah dan Syafiq sementara Haifa menjaga Hafshah dan Kayyisa di rumah. Meskipun sedang berada di rumah makan, ia pasti akan menyempatkan menjemput kedua anaknya itu dari Taman Kanak-Kanak As-Sunah sebelum nanti kembali mengurusi bisnisnya.
Arvin hanya pandai bicara dan berbisnis, sedangkan kemampuan memasaknya nol sehingga ada atau tidaknya ia di rumah makan tidak akan menjadi kendala apa pun. Hanya saja ia memang selalu menyempatkan untuk mengecek, setidaknya minimal tiga hari sekali pada masing-masing cabang.
“Abi, Shah pipis,” ucap Hafshah tiba-tiba.
Arvin melihat Hafshah yang tengah duduk di kursi penumpang—telah didesain untuk bayi—dari kaca spion di dalam mobilnya. “Nggak apa-apa, Dek Hafshah ‘kan pakai pamper.”
Hafshah menjawab dengan anggukan lugu entah mengerti maksudnya atau tidak.
“Dek Kayyisa jangan lonjak-lonjak begitu.” Arvin memegang kemudi mobil dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menahan tubuh Kayyisa di sampingnya yang ceria. Terlalu ceria sampai kepala balita berusia sembilan bulan itu hampir terantuk lututnya sendiri karena berusaha loncat-loncat dalam duduknya.
Arvin masih berusaha fokus dengan kemudinya kendati Kayyisa masih dalam mode semangatnya, sesekali ia melirik ke arah spion mengawasi Hafshah yang kini tangannya berusaha menggapai bantal leher yang jatuh di bawah kakinya—milik Haifa yang tadi dimainkannya.
“Astagfirullah, Dek Hafshah jangan gitu duduknya nanti jatuh,” tegur Arvin.
Hafshah menatap ke depan sesaat setelah mendengar ucapan Arvin, namun kembali menunduk berusaha mengambil bantalan leher tersebut. Sedangkan Arvin yang melihat itu, segera menghentikan mobilnya di tepi jalan. Ia tidak ingin mengambil resiko dengan melepaskan tangan kirinya yang memegangi tubuh Kayyisa untuk menengok ke belakang mengambilkan bantal leher untuk Hafshah.
“Sudah ya, nggak boleh dijatuhkan lagi.” Arvin meletakkan bantal tersebut ke leher Hafshah yang membuat si empu seolah tenggelam.
“Yepaaass,” rengek Hafshah.
“Nggak boleh, jilbabnya nggak boleh dilepas. Kenapa? Dek Hafshah gerah?”
Hafshah tidak menjawab, justru memukul-mukul bantal leher di pangkuannya dengan ceria yang sebelumnya telah dilepaskan Arvin dari lehernya—seolah tidak pernah berbicara apa pun.
Sedangkan Arvin yang tidak ingin ambil pusing segera melajukan kembali mobilnya menuju sekolah Shafiyyah dan Syafiq.
Hari ini bisa dibilang pertama kalinya ia keluar membawa dua balita tanpa ditemani oleh siapa pun, dulu saat pertama kali punya anak, Arvin tidak seperti sekarang yang mulai bersabar dan mencoba bersikap dewasa. Jangankan mengajak anak-anaknya keluar, disuruh menjaga sebentar selagi Haifa memasak saja Arvin tidak berani.
Pernah suatu ketika saat Shafiyyah dan Syafiq baru bisa merangkak, Arvin yang mendapatkan tugas menjaga kewalahan ketika anak-anaknya mengitari ruang keluarga. Ketika ia ke sisi kanan mengejar Syafiq, maka Shafiyyah akan beralih ke sisi kiri, begitu seterusnya.
Kemudian ketika mata Arvin menangkap rak tempat buku resep masakan Haifa, tanpa berpikir panjang ia memasukkan Syafiq di sana selagi mengejar Shafiyyah yang sudah hampir menyeret taplak meja yang berada dalam jangkauannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEQUEL HAIFA ON PROCESS
SpiritualADA SEQUEL HAIFA BACA YUK! [TELAH TERSEDIA DI GRAMEDIA DAN TOKO BUKU LAINNYA] BLURB VERSI WATTPAD Di balik buku yang menutupi sebagian wajahnya, Haifa mengamati dalam diam setiap tingkah laku Arvin. Bagaimana laki-laki itu berbicara dan tertawa, sem...