Enam

98.4K 7.6K 208
                                        

Bagaimana mungkin aku semakin berani berharap untuk bisa bersanding denganmu? Sedangkan aku jelas tahu, banyak perempuan yang lebih baik dari diriku yang mungkin juga memintamu dalam doanya.

***


Suasana tampak begitu mencekam, dua orang yang saling duduk berhadapan hanya mampu terdiam tanpa kata. Arvin memijat pelipisnya yang mendadak pusing dan serasa ingin meledak, sedangkan laki-laki paruh baya yang ada di sisi kursi seberangnya hanya menatap Arvin dengan tidak mengerti.

"Pak Fattah," ucap Arvin memulai pembicaraan.

"Iya," jawab Fattah singkat. Ia adalah pegawai pertama di Rumah Makan Abyadhu, yang sudah berdiri sekitar satu setengah tahun lalu di bawah nauangan Arvin.

"Hahh.." Arvin menghela napas mencoba menahan emosi. "Kenapa laporan keuangan justru semakin menurun dari kemarin? Padahal bahan yang digunakan sudah jelas jauh lebih banyak?"

"Saya juga tidak mengerti, Mas Arvin," timpal Fattah dengan santai.

"Tidak mengerti?" tanya Arvin tidak percaya. "Kalau Pak Fattah tidak mengerti, apa gunanya saya mempercayakan Bapak sebagai penanggung jawab keuangan di sini?"

"Saya hanya menerima uang yang disetorkan bagian kasir," bela Fattah.

"Lalu apa yang Bapak lakukan hampir setiap malam di meja kasir? Ketika pegawai lain bahkan mungkin sudah sampai di rumahnya masing-masing?" Arvin mulai bersikap santai, matanya tidak hanya terfokus menatap Fattah di hadapannya, melainkan sesekali menelisik ke arah seluruh penjuru ruangannya.

Fattah menegakkan tubuhnya yang sedari tadi bersandar nyaman di kursi. "Ma.. maksudnya?"

"Saya bahkan sudah menghitung, ini lebih dari kelima kalinya saya melihat Pak Fattah melakukan hal demikian dari kamera CCTV," jelas Arvin.

"Ma.. Mas Arvin, maaf saya nggak tahu kalau ada CCTV, saya—"

Arvin menyela, "Lantas kalau Bapak tahu ada CCTV, apa Bapak akan mematikannya terlebih dahulu?"

"Iy.. bukan bukan, saya benar-benar terpaksa Mas Arvin," ucap Fattah. Badannya mulai gemetar karena ketakutan.

"Saya tidak tahu apa yang membuat Pak Fattah mengambil uang rumah makan, tetapi jika memang Bapak membutuhkan uang lebih, selama masih dengan alasan yang logis, saya pasti akan mengusahakan untuk membantu."

Fattah hanya menunduk, tidak berani menatap Arvin secara langsung. Dalam hatinya ia menyesali perbuatannya, dan di sisi lain ia begitu menikmati uang dengan jumlah yang cukup banyak, yang sudah berhasil beralih kepemilikan padanya itu.

"Apa Bapak ridha kalau keluarga Bapak harus memakan dari hasil yang tidak halal?" tanya Arvin. Sebenarnya ia tidak ingin menghakimi seseorang, apalagi laki-laki pria paruh baya di hadapannya ini jauh lebih tua darinya.

  وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ  

"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188)

Fattah hanya terdiam, tidak menimpali ucapan Arvin.

"Sebentar, yang saya tangkap dari ekspresi Bapak saat ini, sepertinya Pak Fattah sama sekali tidak menyesali perbuatan Bapak?" Arvin masih bersikap santai, tetapi dalam hatinya ia mengucap istighfar berulang kali.

SEQUEL HAIFA ON PROCESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang