Bab 5

271 22 0
                                    

Harum obat-obatan menusuk penciumannya. Ruangan serba putih. Kursi-kursi panjang berjejeran. Belva duduk di salah-satu kursi tersebut. Berjarak satu kursi Ferrel duduk disana.

Gani sudah sadar sejak setengah jam yang lalu. Tapi Belva belum berani masuk kedalam kamar kakaknya. Takut akan diusir mentah-mentah.

"Makan dulu sana, Bel!" perintah Ferrel dengan lembutnya.

Belva tersenyum kecil sangat kecil. Bahkan Ferrel tidak mampu melihatnya. "Nggak laper, Kak."

"Gani alergi kacang? Kenapa dia tadi malah keukeuh banget mau makan gado-gado?"

Belva menghela napas, merasa bersalah, namun merasa senang juga. Gado-gado merupakan makanan favorit Belva. Dan Gani tahu ini. Gani juga tahu bahwa ia alergi kacang. Berarti Gani sebetulnya masih mengingat Belva kan? Semua tentang Belva? Namun mengapa kelakuannya sekejam itu?

Belva hanya mengangkat bahu. Tidak ingin berharap bahwa kakaknya itu masih menyayanginya.

"Kak, aku masuk dulu, ya,"

"Udah siap? Mau ditemenin nggak?"

Belva menggeleng. Gadis itu sudah siap dengan semua. Siap dengan Gani yang pasti akan menatapnya dengan tatapan tajam mautnya.

Belva berdiri, memasuki kamar Gani. Disana, Gani sedang duduk diatas tempat tidur sementaranya, sambil menatap televisi dengan tatapan kosong.

Belva canggung, takut memulai. Dengan helaan napas terlebih dahulu, Belva membuka suara. "Udah mendingan, Kak?" gadis itu berjalan mendekati Gani.

Namun baru beberapa langkah, ia berhenti karena ucapan menyakitkan dari Gani.

"Ngapain lo? Gua nggak mau dijenguk sama orang yang udah ngebuat gua masuk ke rumah sakit!"

Belva melongo, tak menyangka. Salah apa dia? Dia membuat Gani masuk rumah sakit? Padahal sejak pagi Belva bekerja di restoran.

Seharusnya ini salah Gani. Belva sudah masak makanan. Mengapa Gani malah membeli makanan diluar? Jadi ini juga merupakan salah Belva?

"Kok, aku? Aku kan nggak nyuruh Kakak makan gado-gado?"

Gani mengeraskan rahangnya. Ia sudah mengeluarkan tatapan tajamnya kepada Belva. Belva menciut. Kelemahan Belva ada ditatapan tajam Gani.

"Pokoknya gara-gara lo! Gua mau mulai besok lo pergi dari rumah, gua muak lihat muka lo!" teriak Gani. Namun teriakkannya tidak dapat didengar oleh siapapun karena ruangan Gani kedap suara.

Belva tak kuat. Air matanya mulai mengalir. Kakinya lemas bagaikan jelly. Tidak mengerti dengan semuanya. Dengan Gani yang sudah membencinya sepenuh mati.

"A–aku salah apa, Kak? Kakak ngusir aku?" tanya Belva dengan suara yang sudah mulai serak.

"Salah lo, kenapa bukan lo aja yang mati?! Kenapa malah Mamah sama Papah yang mati!? Mulai besok lo harus pergi!"

Belva mengerti. Semuanya memang salahnya. Salahnya yang merengek meminta diajarkan motor oleh Papahnya. Membuat semuanya hancur. Keluarganya juga ikutan hancur.

Masih dengan air mata yang terus-menurus turun dari kelopak matanya, Belva berusaha mendekati Gani.

"Aku kesini tadinya cuma mau lihat kondisi Kakak, yaudah kalo Kakak mau aku pergi, aku pergi kok. Aku pamit, ya. Mulai besok aku nggak akan tinggal dirumah, jadi nggak bisa bikin makanan lagi buat, Kak Gani."

Sesak rasanya jika diusir oleh orang yang kita sayangi sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Gani sudah benci se-benci-bencinya orang benci. Belva tidak mau membuat Gani semakin membencinya. Ia mengalah untuk pergi dari rumahnya sendiri. Agar Gani tenang dalam memulihkan kesehatannya.

Garis LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang