Andai saja aku bisa sepertimu, hujan.
Bisa menumpahkan segala airmu tanpa memperdulikan yang lain. Tanpa merasa bersalah walaupun terkadang ada yang tidak mengharapkanmu turun hari itu.^^^
BELVA berjalan gontai memasuki rumahnya. Dia baru saja diantar pulang oleh Rey. Sebenarnya Belva lebih nyaman berlama-lama di rumah Rey daripada rumahnya sendiri.
"Dari mana aja? Jam segini baru pulang!" Belva terlonjak kaget mendengar suara lantang dari balik sofa ruang keluarga.
Dengan langkah setengah takut Belva menghampirinya, "ta–adi abis kerja kelompok, Kak." Belva menunduk memainkan jarinya. "Maaf nggak ngabarin Kakak. Aku kira Kakak nggak bakal pulang."
"Ehem!"
Terdengar deheman dari balik punggung Belva. Belva tidak ingin mengetahui siapa pemilik asal suara itu. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya membuat Gani tidak marah kepadanya.
"Mulai hari ini Kak–gua tinggal disini! Dan itu," Gani menunjuk sosok laki-laki yang berjalan santai menuju sofa. "Itu namanya Farrel temen gua. Awas lo baik-baik sama dia!" ancamnya.
Entah mengapa saat Gani menggunakan 'gua-lo' hati Belva merasa sakit. Karena dari dulu Gani selalu berbicara menggunakan bahasa 'aku-kamu'. Air mata Belva mulai menumpuk dikelopak matanya. Tidak tahu sesakit ini rasanya diperlakukan asing dengan orang yang disayanginya.
Sebegitu bencinya Kakak sama aku?
Belva mengangguk, lalu bergegas menuju kamarnya. Setelah di dalam, yang dari tadi ditahannya akhirnya tumpah.
Belva tidak ingin Gani mengetahui bahwa ia menangis. Akhirnya ia menutup wajahnya lalu menumpahkan semua emosinya disitu hingga bantal itu benar-benar basah.
Sesaat ia mulai tenang. Dimulai lah kegiatan kesukaannya yang sekarang menjadi kegiatan rutinitasnya sebelum tidur atau jika ia sedang tidak nyaman. Di raihnya benda yang sekarang selalu berada di nakas meja samping tempat tidur itu, lalu dengan santai ia gunakan. Dan itu terasa nikmat di mata Belva. Tidak lama Belva sudah tidur menggenggam benda itu.
***
Ferrel tidak berniat masuk ke dalam kamarnya walaupun jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Dia menatap Gani yang sedang melihat televisi. Tapi Ferrel tahu, bahwa Gani tidak sedang menonton tv. Pikirannya sedang kemana tahu. "Woi!" Ferrel menepuk pundak Gani, membuat Gani menoleh padanya. "Itu adik lo, tapi kelakuan lo kaya bukan abangnya."
Gani tersenyum hambar. "Emang dia bukan adik gua. Semenjak kejadian satu tahun lalu, dia bukan adik gua!"
Ferrel menghela napas. "Lo nggak bisa liat tadi? Ada yang aneh dari adik lo, Gan! Gua rasa dia bener-bener takut sama lo."
Gani bangkit dari posisinya berjalan menuju kamarnya. "Bodoamat, nggak peduli!"
"Alah, dasar gengsi lu anying! Pantes ditinggal doi mulu. Kelakuan kaya anak kecil! Cih!"
Ferrel tahu, semenjak tadi ia memperhatikan Belva yang sedang dimarahi oleh Gani, ada yang tidak beres dengan gadis itu. Belva gelisah, sambil berusaha menutupi pergelangan tangannya dengan cardingan yang ia pakai.
Ferrel naik ke lantai satu, memutuskan untuk tidur daripada memikirkan hal aneh. Ia melihat pintu bertuliskan "Awas yang punya kamar gila! Apalagi yang baca!" Ferrel tertegun setelah membaca berulang kali tulisan yang di tulis dengan rapi itu. Dengan senyum yang menghiasi bibirnya ia pergi dari pintu itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Luka
Teen FictionCover by @itsmeyeremia Belvary Bellania. Gadis cantik yang memiliki banyak rahasia dan misterius. Tidak pernah terjamah di sekolahnya. Relandio Reyvandi Atmidja. Pentolan sekolah yang berubah menjadi anak baik. Hanya demi berteman dengan seorang...