Sudah tak kuat untuk menangis, jadi aku tersenyum.
¤¤¤
ENTAH mengapa pagi ini Belva tidak bersemangat sama sekali. Belva seperti kembali ke Belva yang dulu. Yang lebih suka berdiam diri di taman atau di perpus sekolah. Belva terus saja kepikiran dengan kondisi Gani. Gia juga tidak memberi kabar tentang kondisi Gani, membuatnya semakin gusar.
Anin juga entah mengapa seperti menjauh dari Belva. Anin lebih sering ada diluar kelas daripada masuk kelas. Pelajaran matematika pun Anin tidak masuk kelas, padahal itu pelajaran yang sangat ia sukai.
Belva bangkit dari kursinya, ingin menuju perpus karena hari ini ada rapat guru dan membuat jam kosong. Rey juga sedang sibuk dengan urusannya. Ia dijadikan salah-satu seksi dokumen disekolahnya. Membuat Rey menjadi sibuk mondar-mandir.
Pas di depan pintu, Belva dihadang oleh Anin yang sudah menatapnya dengan mata elangnya, menarik Belva hingga taman belakang sekolah yang sangat jarang dilewati siapapun.
"Lo kenapa nggak cerita? Padahal udah gua kasih waktu," Anin menatap Belva dalam. "Gua sengaja biar lo yang cerita sendiri, tapi sampai sekarang lo nggak cerita-cerita. Lo ngekost dimana?!"
Hah! Belva kaget. Ia memang belum memberitahu tentang kejadian itu kepada Anin karena memang Anin yang menghindar darinya. "Lo tau dari siap--"
"Gua cenayang! Indigo!"
Belva kembali dibuat kaget oleh Anin. Pasalnya selama ini Anin tidak seperti orang yang memiliki keistimewaan tersebut. Jika orang-orang yang memiliki keistimewaan tersebut pasti sering berteriak-teriak dikoridor sekolah atau bahkan berbicara sendiri, tapi Anin tidak pernah.
"Serius?"
"Udahlah lupain! Sekarang fokus bahas lo! Lo habis donorin darah terus nggak mau kasih tahu lo yang donor, kenapa?"
Belva menggaruk rambutnya, "Lo tau kan Bang Gani sebenci apa sama gua, takutnya dia malah benci kalo tahu tentang itu."
Anin memejamkan mata, seperti sedang melihat sesuatu, lalu berkata "Nggak! Lo sok tau! Abang lo pengen banget liat lo."
Belva tertawa, mungkin menurutnya Anin berkata seperti itu hanya ingin membuat semangat Belva kembali naik. Belva lalu menggeleng karena sempat berpikir yang diucapkan Anin itu benar. Tidak, tidak mungkin!
Belva lalu menatap Anin, memeluknya, dan menangis. Sungguh, kali ini Belva benar-benar tidak kuat menahannya sendiri. Dari tadi ia ingin menangis. Belva sebenarnya sedih seperti ini. Kedua orangtuanya yang sudah tiada membuatnya semakin merasa sendiri terlebih dengan Gani yang notabennya kakak satu-satunya malah memperlakukan Belva layaknya seorang yang pantas untuh dibunuh.
Setelah menangis kurang lebih sepuluh menit, Belva akhirnya melepas pelukannya, menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Belva menghela napas panjang sambil memejamkan mata: ia rindu Gani, ingin melihat Gani.
"Nanti siang kita kerumah sakit, jengguk kakak jahat lo itu!" Anin sepertinya membaca pikiran Belva.
"Anin!" Teriak Belva yang tidak suka jika Gani disebut Anin seperti itu. Belva lalu membuka mulutnya ingin mengucapkan sesuatu namun akhinya tertahan karena Anin lebih dulu bersua.
"Iya-iya, kakak lo nggak jahat, cuma belum sadar aja dia. Masih khilaf." Anin lalu terkekeh dengan ucapannya barusan. Sebenarnya ia tidak ingin mengurusi masalah Belva dan Gani. Namun kelebihannya sebagai seorang indigo menuntunya untuk membantu Belva. Anin tidak berharap banyak, ia hanya ingin Gani megetahui segalanya, tentang pengorbanan Belva menjadi sasaran prioritasnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Luka
Teen FictionCover by @itsmeyeremia Belvary Bellania. Gadis cantik yang memiliki banyak rahasia dan misterius. Tidak pernah terjamah di sekolahnya. Relandio Reyvandi Atmidja. Pentolan sekolah yang berubah menjadi anak baik. Hanya demi berteman dengan seorang...