Kangkung

173 7 6
                                    

" Kamu itu coba keluar rumah, ngumpul sama orang-orang " nasihat ibu iara saat menelepon iara.
" Tetanggamu pada ngomongin kamu, kata mereka kamu sombong, kalo gak di tegur gak mau negur... "
" Gak pernah keluar rumah kalo gak perlu banget, kamu kan punya tetangga. Berbaur... " lanjut ibu iara lagi.

Iara diam, tanpa ada bantahan. Karena memang itu kenyataan nya. Tak ada yang menyadari sikap iara ini, orang tua ? Mereka membesarkan, menyayangi, menjalani kewajiban mengurus anak-anak nya tanpa mengerti apa yang terjadi dengan kondisi psikologis iara.

Dari kecil iara terlihat sebagai anak yang aktif, pintar, ceria, cerdas, dan supel. Entah sejak kapan semua itu berubah, entah sejak kapan iara menjadi anak rendah diri. Untuk menatap lawan bicara nya saja iara takut, jika iara berbicara dengan orang lain face to face. Iara akan memalingkan wajah atau mencari subjek lain untuk dilihat. Apalagi jika lawan bicara nya fokus menatap iara, iara menjadi salah tingkah, jantung nya berdebar kencang, iara merasa seolah-olah fikiran nya menjadi bercabang. Dan apa yang di ucapkan nya menjadi tidak beraturan, iara amat sangat gugup dan cemas.

Saat usia iara 12 tahun, iara merasakan ada yang berbeda dengan diri nya. Saat itu iara sedang ikut lomba sholawatan di sekolah nya, saat latihan sempurna. Tapi saat iara tampil semuanya berantakan.

Lutut iara bergetar tak terkendali, dan ketika mulai bersholawat suara iara tiba-tiba hilang. Kelompoknya pun di diskualifikasi. Iara jadi bahan tertawaan teman-teman nya, dan itu menambah deretan kenangan buruk dalam memorinya.

Jika orang tua iara menyadari ada yang salah dengan sikap iara kecil saat itu ketika iara marah, saat berhadapan dengan orang lain, saat berbicara dengan orang lain, saat bertemu dan berkumpul dengan orang lain. Mungkin semua nya bisa di kendalikan sedari iara kecil,

" Andai saja aku bisa ungkapkan semua yang aku rasakan " bisik iara

" Astaghfirullah,,, " iara tersadar dari lamunan nya.

Selalu seperti itu setelah ibu iara menyampaikan keluhan-keluhan tentang sikap anak nya itu, apa yang harus iara lakukan.

" Apakah sikap ku ini tidak seperti orang normal lain nya  ? " tanya iara dalam hati
" Ah sudah lah... memang selalu begini "
" tidak pernah ada yang mengerti aku "
" Bahkan orang tua ku sendiri " gumam iara

Krungkring... kungkring...
Hp iara bernyanyi, berkali-kali...
Iara menatap layar hp nya, mengambil nafas panjang...

Telihat panggilan masuk bertuliskan mamak ( ibu piyo, yang artinya mertua iara )

" Assalamualaikum... " panggil mertua nya dari
seberang sana ( Dengan medok jawa yang kuentel )
" Waalaikumsallam bu... " balas iara
" Ia, piyo udah bilang ke kamu belum ?" sambut mertua nya lagi
" Belum bu, ada apa ya bu ? " iara bertanya
" Begini loh iara, kamu kan belum punya bayi. Dari pada di rumah nungguin piyo saja, apa gak lebih baik kamu cari kesibukan " mertua iara menjelaskan
" Iya bu, tapi... " belum sempat iara menjawab. Mertua nya sudah berbicara lagi
" Lah rugi banget loh ijazah S1 kamu nganggur di rumah, bisa tambah-tambah uang dapur juga toh ? "
" Mumpung belum ada yang di urus dirumah, nabung buat persiapan nanti kalo kamu punya anak " lanjut mertua iara.

Lagi-lagi iara diam, iara membenarkan semua yang mertua nya bicarakan. Tidak ada satu pun yang salah, letak kesalahan ada pada dirinya sendiri.

Bukan iara tidak mau bekerja membantu keuangan suami, bukan iara tidak mau berkarir di luar sana. Iara mau... mau sekali melebihi apapun. Hanya saja iara harus melawan diri nya sendiri, melawan semua hal aneh yang ada pada diri nya.

Sebelum menikah iara pernah bekerja di satu perusahaan swasta, saat bekerja iara tidak bisa fokus. Semua yang dikerjakan nya berantakan, saat iara memaksakan dirinya untuk fokus. Malah semuanya jadi buyar, dari sana iara memilih untuk mengundurkan diri.

My husband, My Guardian AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang