"Iara hamil Mak" jawab nya dengan nada bahagian, dan berharap ibu nya pun ikut bahagia.
"Gugurkan" jawaban singkat dari ibu Piyo.
"Apa...!!! Gugurkan !!!" Piyo setengah berteriak mengulang ucapan ibu nya. Seketika tersadar teriaknya mungkin dapat di dengar Iara. Menahan nada bicara nya, walau luapan emosi mendorong untuk berteriak kencang.
"Ya Allah Mak, istighfar Mak...!"
"Janin itu calon cucu Mamak, cucu pertama mamak""Buat apa di....."
"Assalamualaykum" Piyo memotong pembicaraan dan langsung menutup telpon nya.
Buat apa melanjutkan pembicaraan yang tidak berguna, orang yang seharusnya membimbing Piyo malah berperilaku barbar. Piyo tidak pernah menyangka bahwa ibu yang selalu di hormati nya dapat berpikir sekejam itu, melenyapkan nyawa seseorang seperti hal sepele.
Piyo berjalan lemas mengarah ke sofa di ruang tengah, meraih remote TV dengan genggaman yang kuat. Tangan nya bersiap-siap melempar apa yang ada dalam genggam nya, tapi teringat Iara sedang tidur pulas di kamar. Piyo mencoba mengatur nafas, meredakan amarah nya. Membanting tubuh nya ke sofa empuk itu, menatap nanar ke arah langit-langit. Mata nya berkaca-kaca, terlihat bulir bening di sudut mata yang hampir saja jatuh. Piyo menyeka sudut mata dengan jari nya, mata Piyo terasa sangat panas seperti tersiram air mendidih. Dada nya sesak, tubuh nya bergetar, kata-kata ibu nya tadi sangat menyakiti perasaan nya, tidak pernah Piyo merasa sehancur ini.
"Astagfirullah..." Ucapan yang terus keluar dari bibir Piyo.
.
.Di dalam kamar Iara memeluk selimutnya dengan erat, menyumpal mulutnya dengan bantal. Mencoba meredam suara isak tangis nya agar tak di dengar Piyo, tubuhnya berguncang-guncang. Iara yang saat itu belum tidur, sempat mendengar percakapan Piyo dan mertua nya. Mendengar Piyo mengucapkan kata "gugurkan", itu sangat menyakitkan. Terlebih saran itu keluar dari mulut seorang ibu dari laki-laki yang sangat di cintai nya.
"Lebih baik kamu tidak ada"
"Kamu tidak akan kuat menghadapi dunia" bisik Iara dengan tangan yang sedari tadi mengusap-usap perutnya.Walau selama ini beberapa kali Iara mengutarakan untuk menggugurkan saja janin di dalam rahim nya, tapi mendengar itu dari mulut orang lain terasa menyenangkan dada nya.
Air mata yang terus mengalir, tidak bisa menghapus luka di hati suami istri ini. Luka yang di ukir cantik oleh orang-orang yang mereka sayangi.
.
."Bang... Bang... !"
"Bangun bang..." Iara dengan wajah berseri membangun kan suami nya yang tertidur nyenyak di sofa."Hah..jam berapa ini ?"
"Jam 6, kamu kan harus kerja" jawab Iara sembari menyodorkan segelas kopi hangat untuk Piyo.
Piyo bergegas menyiapkan diri untuk pergi bekerja, Iara yang pagi itu terlihat sangat cantik. Dengan senyuman menyiapkan sarapan untuk suami nya, entah kenapa pagi itu aura nya terasa seperti awal mereka menikah 8 bulan lalu.
"Kamu sehat yang" tanya Piyo dengan mulut penuh berisi nasi goreng.
"Sehat lah bang"
"Makan dulu, jangan banyak omong"
"Nanti kamu telat" omelan Iara yang beberapa bulan ini tidak pernah lagi di dengar Piyo."Ada apa dengan hari ini" Piyo bertanya dalam hati. Ada rasa bahagia di hati nya.
"Terasa seperti mimpi" sambil menyendok sisa nasi goreng ke dalam mulutnya."Kamu hati-hati di jalan ya bang" Iara berdiri di hadapan Piyo, tangan putih mungilnya membelai lembut pipi Piyo. Mereka saling bertatapan beberapa detik, Iara mencium lembut pipi dan kening Piyo.
KAMU SEDANG MEMBACA
My husband, My Guardian Angel
Non-FictionSebuah perjalanan... Berusaha bangkit... Penyembuhan luka... Kisah CINTA... RASA saling memiliki...