5- Malaika Risya

1.6K 71 1
                                    

-Meski ia ada melalui insiden memilukan. Tapi anak, tetaplah nyawa bagi seorang ibu-

❤❤❤
.
.
.
.
.
.
.

Semenjak bulan berganti, awan cerah menjadi sesuatu yang dirindukan. Awan gelap sering menyelimuti Kota Bitung. Meski langit tak menurunkan hujan, tapi warga sekitar bisa menerka cuaca dengan mudah.

Seperti biasa, di jam seperti ini, hujan deras akan turun. Orang-orang seperti kompak mengurung diri dikamar. Memilih berselimut, meski waktu masih menunjukkan pukul tujuh.

Hal yang sama tampak dari sebuah rumah sederhana. Seharian ini, Yuhi memilih berbaring dikamar. Sesekali bangkit, lalu duduk ditepi ranjang sambil mengusap lembut perut buncitnya.

Berkali-kali ia dibuat bolak-balik toilet untuk buang air kecil, mungkin pengaruh janin yang membesar yang menekan kandung kemih nya, hingga membuat ia merasa ingin buang air kecil setiap saat.
Akhir-akhir ini, Yuhi juga merasa lebih sering lelah, dan merasakan sakit pada pinggulnya. Namun, tak satu pun orang di rumah ini yang tahu. Sebab Yuhi malu mengeluh di depan mereka.

Malam itu seolah menjadi puncak bagi kesakitan Yuhi. Tidak hanya pada bagian pinggul. Justru sekarang kram sering menyiksa perutnya.
Apalagi, hari itu Pak Rusli dan Bu Ainun sedang berada di Manado, memenuhi undangan pernikahan anak sahabat mereka. Sementara sejak pagi tadi, Adib pergi bersama Anas dan belum kembali hingga kini.

Rasa sakit itu muncul lagi. Yuhi memejamkan mata, meremas bantal yang ada didekatnya. Keringat terus menetes, diikuti rasa kram tak tertahankan. Yuhi ber-istighfar sambil mengatur napas dan emosi. saat rasa kram itu hilang, ia merasa sedikit lega.

Sesaat kemudian, terdengar suara seseorang dari ruang tamu.
"Assalamualaikum." Ternyata itu suara Adib.

Yuhi membalas salam Adib dengan suara pelan yang hanya bisa didengar olehnya sendiri.

Tak lama setelah kedatangan Adib, terdengar lagi sebuah salam. Sekali lagi,
Yuhi mengenali pemilik suara itu.

"Waalaikumsalam, Ada apa Mas?" tanya Adib sambil menyalami Ilmi.
"Dimana Mama sama Papa sekarang?"
"Belum pulang, Mas. Barusan kutelepon, katanya masih di Manado. Ban motor Papa kempes dan terpaksa masuk bengkel." jelas Adib.

"Sampe jam segini masih dimanado Dib?" Tanya Ilmi memperjelas

Adib mengangguk, "iya mas, disana juga hujan deras katanya. Makanya kepulangan mereka agak sedikit terkendala."

"Ya Allah… Dib, telepon Papa sekarang, bilang ke mereka Malam ini, nggak usah pulang. Numpang nginap saja dirumah teman Mas disana. mas khawatir ada apa-apa kalau papa dan mama ngotot pulang dalam kondisi hujan seperti ini" ucap Ilmi dengan nada panik.

Adib langsung meraih ponsel dari saku celana dan menghubungi orangtuanya.
Ilmi melakukan hal yang sama. Ia menelepon teman sesama dosen yang tinggal disekitaran Manado agar mau memberi tumpangan semalam saja untuk orang tuanya.

“Dek, mas sudah telfon temen mas. Dia bersedia memberi tumpangan untuk mama dan papa. Nah, gimana kamu? Udah dikabari soal ini sama mama dan papa?”

Adib mengangguk,

"Iya Mas, sudah. mama dan Papa akan pergi ke rumah teman Mas setelah motor papa selesai di tambal. Jangan khawatir lagi, ya?" ucap Adib, menenangkan.

Ilmi menghela nafas lega, “Syukurlah.” Lirihnya

Baru beberapa detik merasa lega, Adib dan Ilmi tiba-tiba dikejutkan dengan suara pecahan kaca yang berasal dari ruang belakang. Mereka berjalan terbirit-birit, bersama menuju arah suara itu. Namun, anehnya tak ada apa-apa.
“tak ada apapun yg terjadi disini.” Ucap adib

Malaikat Berlesung Pipi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang