12- Pengampunan

1.3K 58 0
                                    

-Percayalah, Ketidaksengajaan yg menorehkan banyak luka ini justru membawa banyak hikmah, meski tak sedikit yg harus merasakan pahitnya-

❤❤❤
.
.
.

Seminggu sudah Adib tinggal bersama Malika. Akhir-akhir ini, ia lebih banyak diam dan menyendiri dikamar. Ia hanya akan keluar saat tiba waktu makan, sholat, ketoilet, atau saat diminta menemani Malaika.

Adib menjadi sosok yg pemurung, setelah sebelumnya ia adalah sosok pemuda yg riang. Gemar jail, gemar bercanda, paling tak bisa berada dalam suasana yg hening ataupun tegang. Paling bisa menetralkan suasana. Sekarang? Adib justru menjadi orang yg sulit untuk tertawa lepas seperti dulu ia lihai membuat orang lain tersenyum gembira.

Suatu malam, Adib tampak tak sedang melakukan sesuatu. Ia duduk diujung jendela kamar, sambil menatap sendu kearah bulan yang bersinar terang.

Malika mendatangi, lalu duduk dihadapan Adib.

"Dek, apa yang kamu pikirkan?" sapa Malika, menyadarkan lamunan Adib.

“Kamu boleh cerita apa saja pada Mbak. Nggak perlu malu atau takut."

"Mala dimana, Mbak?" tanya Adib.

"Sudah tidur," jawab Mala, singkat.

Adib terdiam, rasanya ia ingin sekali bercerita banyak hal pada Malika, tapi ia ragu, mulutnya bak terkunci.

"Dedek, ayo cerita. mba akan setia mendengarkan ceritamu.." ucap Malika lagi sambil meyakinkan Adib.

Adib menggeleng pelan, menolak halus tawaran sang kakak, tapi Malika tak menyerah. Ia paham, kondisi adiknya sedang tidak baik, ia butuh teman bicara. Maka untuk itu, Malika tak berhenti membujuk Adib agar mau menumpahkan segala resahnya pada dirinya.

"Kau ingat dek, dulu kau suka sekali bercerita banyak hal, bukan hanya pada mba saja, tapi juga pada Ilmi dan juga Gaza. Dan bukankah kau yg paling tidak bisa menyembunyikan apapun yg kau rasakan pada kami?" Ungkap Malika,

Adib tercenung sesaat,

"Dek," ucap Malika lembut sembari meraba tangan Adib, "Izinkan mba, menebus ketidakpekaan mba selama ini." Ucapnya meyakinkan.

Adib menatap mata Malika dalam-dalam, mata perempuan berparas mirip Ilmi itu berkaca-kaca, Adib tak sanggup.

Ia lalu menghela napas, dan perlahan mencoba membuka mulutnya untuk memulai sekian cerita yg masih erat terpendam dalam dada.

Sebelum akhirnya bersua, ia kembali menatap lekat-lekat wajah sang kakak, mencoba meyakinkan diri untuk menyuarakan isi hatinya. Malika membalas tatapan sang Adib dengan senyuman penuh keikhlasan, adib tampak berusaha tegar.

"Sejak menemani proses persalinan Yuhi malam itu, rasaku mulai tumbuh." Kata adib memulai,

"Berawal dari rasa iba, lalu berlanjut menjadi rasa yang tak biasa," ucap Adib sambil mengarahkan pandangan keluar jendela. "Aku hidup seatap dengan perempuan yang telah kunodai, Setiap saat aku melihat penderitaannya, menjaga benihku didalam rahimnya, mengandung bayiku dengan penuh ke-ridho-an. Aku sungguh tak sanggup, Mbak."

Malika mulai tersentuh.

"Melihat hal itu, membuat kelelakianku seakan berontak. Rasanya ingin keluar dari persembunyian dan mengakui siapa aku sebenarnya." Ucapnya dengan raut marah, penuh sesal.

"Tapi... aku tidak berdaya, Mbak. Aku takut kehilangan keluargaku jika mereka tahu kebenaran ini. Berkali-kali aku menjadi pengecut." Adib tersenyum kecut, menyesali perbuatannya di masa lalu.

Malaikat Berlesung Pipi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang