Menerima

171 9 2
                                    

Berhentilah membenci dirimu sendiri untuk hal-hal yang tak kau miliki.

(Steve Maraboli)

Menerima diri sendiri sepenuhnya nampaknya menjadi momok yang menyeramkan bagi beberapa orang. Kita seakan dipaksa menerima seluruh bagian diri kita, yang mungkin bahkan ada beberapa bagian yang tak menyenangkan. Apakah menerima diri kita sepenuhnya benar-benar menakutkan?

Atau kita yang terlalu berlebihan? Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi permasalahan ini? Apakah menerima diri sendiri sepenuhnya adalah keharusan? Boleh tidak kalau ditunda saja?

Kita sudah bersama-sama melewati langkah-langkah sebelumnya dengan penuh perhatian. Dan aku yakin kita semua berhasil! Setelah kita mampu mengerti dan memahami diri kita dengan baik. Rasanya penerimaan terhadap diri akan terasa jauh lebih mudah.

Akan sia-sia, jika kita sudah mampu mengerti dan memahami diri sendiri tapi tak mau menerima diri kita. Sama dengan licik, bukan, begitu? Pada bab kali ini kita akan belajar menerima diri dengan penerimaan terbuka tanpa paksaan sama sekali–bahkan paksaan dari dirimu sendiri.

Menerima adalah salah satu perasaan terindah yang pernah ada. Sikap dan tindakan tertulus dan tertabah. Berapa banyak bukti yang sudah kita lihat bersama di sekitar, tentang keajaiban menerima. Orang-orang yang bahagia dan tangguh adalah mereka yang paling banyak menerima.

Entah itu hal menyenangkan, tidak menyenangkan, manisnya hidup, kepahitan hidup, pengorbanan, lelahnya perjuangan. Mereka menerima semuanya dengan tangan terbuka dan hati yang lapang. Tidak ada kepura-puraan atau rasa penyesalan di akhir perjalanan.

Menerima tidaklah menakutkan, menerima tidaklah merepotkan. Jika kita mampu mengenalnya dengan baik. Kita akan mudah menjelma menjadi manusia yang menerima. Perlu digarisbawahi, menerima sangat berbeda dengan pasrah.

Menerima adalah suatu tindakan, sikap atau respon yang secara aktif membiarkan diri kita sepenuhnya menerima banyak hal yang ada di hadapan kita dengan penuh kesadaran. Tidak ada perasaan saling tarik menarik di sana, tidak ada kecenderungan pada satu sisi di sana.

Ketika kita sedang belajar menjadi manusia menerima. Mungkin, lingkungan sekitar dan orang-orang di dekat kita akan merasa aneh. Dan, tidak sedikit di antara mereka yang meremehkan prinsip yang penuh kebijaksanaan ini. Ada juga di antara mereka yang menertawakan dan tidak menyetujui caramu dalam memaknai hidup itu.

Tidak apa, kita tidak butuh persetujuan mereka untuk menjalani hidup kita sendiri. Hidupmu adalah tanggung jawabmu, apa-apa yang akan kamu tanam dan tuai nanti semua kendali ada di tanganmu.

Aku yakin, akan selalu ada pertanyaan seperti ini. "Tapi, kenapa menerima itu sulit?" Begini, menerima adalah proses belajar. Bukan suatu produk dari belajar. Ketika kita memutuskan untuk menerima. Kita sedang membiarkan diri kita untuk belajar hal baru yang menarik.

Tentang bagaimana kita tetap bersikap baik dan sopan walaupun diperlakukan kurang menyenangkan. Tentang bagaimana tetap tersenyum bangga melihat pantulan dirimu di cermin walau kamu tidak memiliki tubuh yang langsing dan kulit yang putih bak susu.

Menerima akan menjadi ruh baru dalam kehidupan jika kita membiarkan diri kita secara sadar untuk menjadi manusia yang menerima. Jangan sembrono, melepas dirimu agar ia belajar menjadi manusia yang menerima namun dengan setengah kesadaran.

Tidak bisa begitu, kamu harus melakukan hal ini dengan penuh kesadaran. Karena, akan kupastikan, ada banyak hal yang menegangkan dan cukup menguras banyak energimu di sana nanti–pikiran, perasaan. Kamu perlu untuk pastikan terlebih dahulu pada dirimu untuk belajar menerima banyak hal dengan penuh kesadaran.

Satu lagi dinding penghalang kita ketika sedang belajar menjadi manusia yang menerima adalah, kita terlalu sibuk dan fokus pada apa-apa yang tidak kita miliki. Mobil yang keren, rumah yang mewah, tempat kerja yang bagus, sekolah favorit, tubuh yang langsing, kulit yang putih bersih mengkilat, hidung yang mancung, jam tangan dan tas bermerk. Apalagi? Pasti masih banyak jika disebutkan–dan tentu, tidak akan pernah habis jika dibahas. Boleh aku menghela napas berat dan panjang?

Kenapa kita harus iri dan merasa berat pada hal-hal yang bersifat cepat hilang dan rusak macam itu? Haruskah kita sebegitu kerasnya memiliki ini itu, menggunakan ini itu, dan menjadi orang lain–faktanya, ketika kamu sedang menjadi orang lain, saat itu kamu sudah membuang dan menyia-nyiakan dirimu sendiri; ya, ampun betapa tidak bersyukurnya? Benar, bukan? Menjadi orang lain itu membuatmu menjadi gila secara perlahan, sampai batasan nilai, agama dan adab pun dilanggar; sungguh menyeramkan.

Jika kamu bersungguh-sungguh ingin belajar menerima dirimu sendiri, keadaan dan banyak hal. Satu langkah pertama yang perlu kamu lakukan dengan penuh kesadaran adalah fokus pada apa yang kamu miliki. Lihat, dengar, dan rasakan apa yang ada di hadapanmu saat ini.

Jangan membiarkan pikiran dan perasaanmu melayang-layang jauh pada hal-hal yang tidak kamu miliki sama sekali—atau, belum kamu miliki. Konsep ini berbeda dengan harapan, ya. Jadi, semoga kamu tidak salah tafsir.

Kita tetap boleh memiliki harapan dan keinginan akan sesuatu, seperti berkeinginan bersekolah di sekolah favorit, mendapat pekerjaan yang kita senangi, berlibur ke luar negeri. Sah-sah saja, boleh-boleh saja.

Hanya, kita perlu fokus terlebih dahulu pada yang ada sebelum kita mengusahakan apa yang belum ada. Karena itulah, diri kita harus dilatih agar tetap sadar dan fokus pada apa yang kita miliki saat ini, sebelum sibuk memikirkan pada hal-hal yang belum kita miliki.

Untuk memulainya kita bisa mencatat hal-hal yang menarik yang telah terjadi di kehidupan kita. Bisa dimulai dengan menuliskan kelebihan-kelebihan kita, lalu kekurangan, dan kamu boleh menuliskan hal-hal yang ingin kamu usahakan dan kembangkan lagi dalam dirimu. Misal; kamu ingin bisa menguasai olahraga badminton dengan baik. Setelah itu bergeraklah, jangan hanya jadikan keinginanmu itu sebatas tertulis dalam sebuah catatan lusuh.

Kamu perlu bergerak menuju tujuanmu dengan penuh percaya diri, buang jauh-jauh rasa malu, rendah diri dan takut gagal–aku pernah tuliskan di bab sebelumnya, kegagalan adalah bagian dari kesuksesan. Kegagalan adalah saat-saat kita sedang banyak belajar sebelum menuju pintu kesuksesan.

Ketika kita sudah mulai menikmati pembelajaran ini, kita mungkin akan terkejut dan terheran-heran. Seperti, "Kukira, aku tidak bisa melakukannya. Tapi, ternyata aku bisa!" atau "Bagaimana bisa aku melakukan itu barusan? Benar-benar keren!"

Bagaimana bisa keajaiban itu terjadi dalam dirimu? Sederhana saja, karena kamu sudah mulai menerima dirimu sepenuhnya. Kamu sudah memberikan rasa nyaman dan penerimaan pada dirimu sendiri.

Sehingga mudah bagi dirimu untuk terus berkembang maju ke depan. Hilang sudah rasa rendah diri dan ketakutan lagi kecemasan berlebih. Terkikis sudah secara perlahan rasa kurang syukur itu. Semuanya terjadi karena kamu sudah menerima dirimu apa adanya.

Ketika kamu sudah bisa menerima dirimu sendiri, rasa percaya dirimu akan bertambah, keberanianmu akan kembali. Lisan dan prasangka yang tadinya senang mencela dan usil pada kehidupan di luar sana perlahan akan bungkam dan diam.

Hati yang tadinya mudah iri dan sibuk memikirkan serta membicarakan keberhasilan orang akan berubah menjadi hati yang penuh rasa syukur dan cinta damai. Kamu akan menemukan hati dan jiwa yang baru. Kamu akan merasakan perasaan seperti dihidupkan kembali.

Bagaimana? Benar-benar indah dan menyenangkan, bukan? Jadi, jangan menunda-nunda untuk menerima dirimu sendiri. Mulai saat ini, detik ini, lakukanlah tanpa rasa ragu dan takut. Kamu bukanlah satu-satunya manusia yang sedang berjuang, percayalah! Kamu tidak sendiri!   

Ini Semua Tentangmu | TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang