4

87 18 2
                                    


Azura melangkah melewati pintu belakang rumah karna di depan masih banyak wartawan yang mencari dirinya. Entah kenapa perasaannya merasa tak nyaman sedari tadi, mungkin ini adalah alaram untuk mengingatkan bahwa dia dalam bahaya.

Tuk.. tuk.. tuk..

Seorang pria duduk di kursi keluarga dan jarinya mengetuk meja di depannya, mungkin inilah sebab alaram hatinya terus bergetar. Di sebelahnya duduk Helen yang menatap ke arah Zura dengan angkuh. Reina juga di sana tatapannya tak berani melihat Zura.

“Aku fikir kau tak berani pulang kerumah?” ucap Stev dengan seringan di bibirnya.

Zura mengangkat wajahnya dan balik menatap sinis ke arah Stev dan Helen. “Dan aku fikir anda lupa siapa saya?”

Zura adalah pemilik warisan dengan presentase 60% harta milik Alexsandro kakeknya. 20% milik Stev dan Helen dan 20% milik Reina. Kakek dan nenek lebih menyayangi Zura karna sedari kecil Zura lah yang selalu hidup bersama mereka. Bahkan saat mereka pergi pun hal pertama yang mereka ucapkan adalah JANGAN LUKAI ZURA. Kakek dan neneknya sama sekali tidak percaya dengan kutukan itu, bahkan merekalah yang selama ini memanjakan Zura. Tidak seperti orang tuanya yang selalu berlari menghindari dirinya.

Wajah Stev mengeras, ada rasa bangga dan marah di hatinnya. Bangga karna Zura mewarisi sikap berani dan dingin miliknya, marah karna dia menyeret nama baik keluarga Alexsandro ke dalam masalah yang bersangutan dengan keluarga besar Marquis teman ayahnya.

“Ehkemm!!”

“Kami akan pindah ke Bogor untuk mengurus perusahaan yang ada di sana dan Rei akan pergi ke Semarang melanjutkan kuliah.” Ucap Helen.

Dalam hati Zura mencibir kenapa kalian tidak pergi keluar negeri saja sekalian seperti dulu.

“Tidak tanya.” Ucap acuh Zura.
Zura berbalik dan melangkahkan kaki meuju kamar tanpa memerdulikan mereka lagi.

Stev menyeringai. “aku pikir kau akan menangis dan memegang kaki ku agar aku tak pergi.”

Zura menghentikan langkanya dan mencerna apa yang baru saja di dengar, dulu memang Zura akan melakukan hal itu tapi kini dia sadar siapa dirinya.Anak yang terlahir tanpa di nantikan, Zura tersenyum kecut.

“Apa anda berharap? Lucu sekali.” Zura menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dan kembali melangkah ke kamar.

“Aku tidak menyangka dia mirip dengan sikap angkuh ku dan sikap dinginmu.” Ucap Helen sambil matanya menatap punggung kecil Zura yang mulai menghilang di balik pintu kamar.

Stev menatap tajam ke arah istrinya, ‘yah dia memang mirip denganku apa selama ini aku terlalu keras sampai kepribadiannya benar- benar lebih dingin dariku?’ entah kenapa ada sedikit perasaan menyesal di hati Stev.

Reina yang mendengar ucapan ibunya hanya mampu tersenyum. Dia tau suatu hari keluarga ini akan menjadi keluarga yang harmonis, entah kapan waktuya tapi Reina yakin itu.

“Pa! Rei mau di sini membantu ade.” Ucap Reina.

Stev mengeryit tak suka. “ Tidak Rie kau harus pergi ke Semarang.”

“Rei mau di sini, ade butuh Rei lagi pula ini adalah saat yang tepat untuk membantu ade.”

“REINA.!”

“MA.. untuk kali ini aku tak akan menuruti printah kalian.” Reina meninggalkan mereka yang masih terdiam, selama ini Reina selalu seperti boneka yang menuruti apa yang di inginkan ayah dan ibunya. Sampai dia merasa iri jika melihat seorang kakak yang bercanda, bermain, tertawa bersama adiknya. Dia rindu bahkan dia selalu berharap untuk ada dan memeluk adiknya saat ibu atau ayahnya memarahi Zura karna kesalahan- kesalahan kecil.

“Kau tetap pergi ke Semarang biar ayah yang menyuruh orang kepercayaan ayah untuk menyelesaikan masalah ini.”

Reina berhenti dan kembali menatap ayahnya.“Tidak semudah itu yah, kau ingat kata kakek waktu itu. Rei hanya ingin memenuhi perintah kakek untuk menjaga Zura.”

“Rei mama tau, tapi kamu tidak bisa berada di sekitar Zura. Mama__”

“Ma, Zura adik Rei dan sudah menjadi kewajiban Rei menjaga dan selalu berada di sisinya,”
Reina kembali melangkah meninggalkan kedua orang tuannya.

“Rei fikirkan baik- baik ayah akan memenuhi apa yang kau inginkan asal kau melanjutkan kuliahmu di semarang.!”

Reina tetap berjalan tanpa menoleh kebelakang, “Zura tidak bisa di tukar dengan apa pun yah.”

“Dasar anak keras kepala!”

“Memang, siapa yang bilang aku anak penurut.”

“pfft!” Helen menahan tawa.

Stev memandang istrinya dengan tajam. “Kemarilah,!”

“Kau mau apa?”

“Memukul mu.”

“Hooh.. aku baru ingat kalau suamiku ini pemarah, dingin, dan menakutkan.” Helen berjalan dan merangkul leher suaminya.

“Hari ini kamu banyak mengataiku. Padahal dirimu pun sama.”

“Benarkah kita impas kalau begitu.”

***

Zura berjalan tergesa- gesa ke arah laci meja belajar, mecari sesuatu benda yang bisa membuat dirinya sedikit tenang. Dimeja belajar dia tidak menemukan benda yang di cari kemudian dia beralih ke lemari kamar dan menemukan apa yang dia cari.

Masalah kali ini membuat hatinya tertekan sampai tenggorokannya pun merasa tercekik. Zura berjalan ke arah kamar mandi tak lupa untuk mengunci pintunya. Dia takut akan di katai gila bila seseorang mengetahui.

Zura menarik lengan bajunya hingga sebatas siku, di sana terpampang jelas belasan luka sayatan di tangannya. Ini juga menjadi penyebab utama dia tidak pernah memakai baju berlengan pendek.

‘Aku tidak tau ini benar atau tidak tapi yang ku tau dengan ini aku merasa tenang.’

Air matanya sudah tak dapat di bendung lagi, bersama dengan itu cairan berwana merah menetes dari tangannya, dia kembali menyayat tangannya dengan silet. Tidak perduli dengan sakitnya, yang dia tau dengan melihat darah yang mengalir dari tangannya dia merasa tenang. Seakan masalah itu pergi besama jatuhnya cairan merah itu dilantai.

‘jika memang seperti ini, jika memang mereka tidak menerima ku, lalu kenapa aku di lahirkan? Kenapa harus aku yang menderita? Kenapa aku.’

***

The Death of MysteriousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang