8

61 3 3
                                    

Seperti hujan yang banyak dibenci tapi selalu di rindukan oleh mereka yang kesepian. Apa kabar my Nasta,

Itu adalah isi surat yang tadi pagi dia dapatkan entahlah dirinya pun masih binggung dengan apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Surat ini seperti sebuah CLUE untuknya, tapi dia sendiri tidak tau menahu. Andai saja dia punya kekuatan untuk membaca pikiran seseorang sudah pasti si pengirim bunga akan Zura seret ke penjara karna menganggu ketenangan hidupnya.

Zura menyimpan kertas itu didalam lemari di dalamnya terdapat sebuah brangkas kecil. Ini adalah surat yang ketiga, dia yakin orang yang menaruh bunga dan surat ini adalah orang yang selalu berada disekitarnya. Tapi siapa? Dia sendiri belum bisa mengungkap dalang dibalik misteri bunga dan surat.

Zura kembali melanjutkan aktivitas merapihkan kamar karna malam nanti para sahabat tiga curut akan menginap dirumahnya. Sebenarnya Zura agak tidak enak hati karna Stev dan Helen masih dirumah.

Tapi setelah dipikir ada baiknya mereka ada disini agar Zura mudah untuk mengabaikan Stev dan Helen. Zura menyeka keringat dikeningnya kamar seluas rumah ini harus dia sendiri yang membersihkan. Dia tidak ingin mengambil resiko bila nanti orang tau kelainan pada dirinya.

Karena itu kamar adalah ruang yang terkramat. Boleh masuk kamar jika gadis itu mengizinkan. Zura menghempaskan tubuh dengan kasar dikasur ukuran king size. Mata hitamnya menatap langit kamar sambil berfikir.

‘bagaimana menyelesaikan masalah ini, mungkin mati lebih baik’ gumamnya dalam hati.

Tring.. tringg..

Zura bangkit dan berjalan mengambil samsungnya, tertera nama seseorang yang selalu di rindukan beberapa bulan ini. Senyum lebar terpampang jelas diwajah cantiknya.

“Hallo”

“…”

“Ahh.. iya aku lupa baiklah aku akan segera kesana.”

“…”

“Baik dok.”

Zura menutup telfonnya, dia berjalan kelemari besar mengambil sweeter hitam dan tas slempang kecil berwarna senada. Hari ini adalah jadwal dirinya untuk konsultasi dengan dokter Friska.

Dokter Friska sudah seperti ibu baginya, karna hanya beliau lah yang selama ini menjadi penyemangat hidup. Dia selalu menyakinkan kalau Zura akan pulih dari penyakit gila ini.

Senyum terukir di bibir Zura kala mengingat wajah seorang wanita berumur 34 tahun yang selalu memandang dirinya dengan teduh. Tuhan memang adil Zura tidak pernah mendapat kasih sayang dari Helen tapi dia dipertemukan oleh Friska wanita yang selalu mendengar semua keluh kesah.

Gerakan tangannya secepat kilat menyambar kunci mobil tapi sejurus kemudian matanya menangkap benda keramat miliknya. Zura ingat malam ini para sahabatnya akan menginap jadi dia harus menyembunyikan cutter dan pisau kecil lipatnya, dia mengambil benda itu dan memasukannya kedalam tas slempang yang dikenakan kemudian dengan langkah riang dia keluar dari kamar.

“Rei gimana kalau gulanya di tambahin.”

“Jangan mah nanti kemanisan jadi gak enak.”

“Akh.. mama kok telurnya dipecahin disini sihh..”

“Eh.. salah yah yaudah buat adonan ulang lagi. Hahah.. mama bantuin deh.”

“Mama bukan bantuin malah ngrusuhin tau.”

“Ihh Rei tepungnya kena mama.!”

“Hahaha.. biarin siapa suruh ngrusuhin.!”

Dari tangga Zura melihat Helen dan Reina sedang memasak didapur dan Stev sedang memerhatikan mereka dengan sesekali tersenyum melihat interaksi antara isteri dan putri kesayangan mereka. Senyum di wajahnya seketika memudar kembali ke raut dingin, entah kenapa melihat keluarga ini harmonis tanpa dirinya membuat Zura merasa sedikit sesak.

Reina yang tersadar akan kehadiran Zura, tersenyum lebar. “Dek.. ayok sini kita bikin kue bareng.!”

Ingin sekali Zura mengangguk tapi dia sadar kalau Stev saat ini sedang memandang tajam kearahnya. “Tidak, aku harus pergi.”

Dengan langkah cepat dia menuruni tangga tanpa menoleh kearah Reina, dia tau kakaknya saat ini pasti sedang berkaca- kaca karna mendengar penolakan kasar darinya. Sungguh hatinya pun selalu berteriak untuk jangan menjauh, dia sadar bukan Stev atau Helen yang saat ini menjauh tapi dirinya lah yang selalu menghindar. Mencoba untuk menutup dan membentengi diri sendiri.

Reina berlari menarik tangan kiri Zura. “Dek.. tolong beri kami kesempatan untuk memperbaiki dari awal.”

Zura hampir saja membuka pintu tangannya gemetar ingin sekali dia berbalik dan memeluk kakaknya dan menangis sejadi- jadi dipundak Reina. Tapi dia sadar ini bukan waktu yang tepat karna tanpa melihat pun Zura bisa tau kalau Helen sedang menatap sinis kearahnya, entah itu pikirannya saja atau memang karena Zura sudah terlalu hafal dengan kedua sikap orang tuanya.

“Aku pergi.” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya, dengan langkah cepat Zura keluar dan segera masuk kedalam mobil meninggalkan Reina yang menatap kepergian Zura dengan raut penuh penyesalan.

Ada perasaan aneh dihati Stev seakan dia merasa semua ini salahnya. Helen pun tak jauh berbeda dengan Stev wajahnya termenung ini adalah kedua kalinya dia melihat wajah datar dan dingin Zura. Seakan dia sedang mengalami déjà vu jika dulu dia yang akan berwajah dingin saat melihat Zura menangis dan memegang kakinya memohon untuk tidak pergi tapi sekarang dirinya merasa hatinya sakit saat mendengar ucapan penolakan dingin dari Zura.

Tanpa sadar Helen meneteskan air mata untuk pertama kalinya air mata itu menetes karena seorang gadis yang dulu selalu menangis dan memeluk kakinya. Hatinya berdenyut sakit,

‘apa seperti ini perasaan kamu saat itu Zura. Maafkan mama.. maaf'

Kini Helen sadar betapa buruk dan tak pantasnya dia menjadi seorang ibu.

“Mama.” Ucap lirih Reina.

Helen yang mendengar suara Reina tersadar segera menghapus air mata dan memilih pergi meninggalkan Reina yang terbengong.

Reina berbalik dan menatap ayahnya yang sama menatap binggung kearah Helen.

Stev mengangkat kedua bahu. “Ayah tidak tau.”

***

Zura mengendarai mobinya layaknya pembalap, beberapa kali terdengar suara terikan makian dari pengendara lain, tapi dia sama sekali tidak mengubris karna keadaannya saat ini matanya menatap kosong kearah depan.

“AGGGGRRRRHHH..!” Teriak fustrasi Zura dan air matanya mengalir.

'Aku lelah.. aku lelah! Kenapa harus aku yang seperti ini! Kenapa...!!!!'

Tanpa sadar jarak 50 meter didepannya, sebuah palang turun diikuti bunyi sirine kereta akan lewat menyadarkan Zura. Mobilnya melaju dengan sangat cepat Zura bisa mendengar dengan sangat jelas bunyi sirine yang semakin memekik ditelinganya.

‘tidak oh tuhan.’  Zura menutup mata, kakinya menekan rem dan tanganya membanting stir kearah kanan. Setelah itu yang dia ingat hanya suara kereta yang melaju dan teriakan orang- orang kegelapan merenggut dirinya.

***

Bersambung

Jangan lupa klik tanda ★ yah.

Kira- kira nih nasib Zura gimana yah. Ah.. aku jadi galau. Kita tunggu aja yah. Pada akhirnya apa ada superhero yang akan menyelamatkan Zura.?

Jika ada coba beri tau siapa dia.?

The Death of MysteriousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang