ALDER's POV
Sejak malam itu, sesuatu yang berharga di hidup gue hilang. Seseorang yang berhasil memenuhi hati gue pergi begitu aja, tanpa mampu gue cegah.
Gue akui, gue emang pengecut. Membiarkan dia berasumsi sendiri, membiarkan dia menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi, membiarkan dia bingung tentang sikap gue yang tiba-tiba berubah. Dan gue cuma diam, tanpa ngasih kejelasan kalau apa yang dia pikirin itu semuanya salah.
Udah telat buat jelasin semuanya ke Tari. Tapi sebelumnya, gue juga nggak berniat buat menjelaskan semuanya. Toh, ini semua berjalan sesuai rencana. Bikin Tari lepas dari gue supaya dia enggak terus-terusan ngerasa sakit hati atas skenario ini.
Hanya gue juga punya perasaan. Cowok mana sih yang sudah sesayang itu sama ceweknya, terus tiba-tiba harus putus gitu aja?
Gue bukan nyalahin Tari karena udah mutusin gue. Enggak. Gue nyalahin diri gue sendiri dan keadaan. Keadaan yang membuat gue harus berbuat kayak gini. Berbuat supaya Tari ngerasa bingung sama perasaan gue. Berbuat supaya Tari sedih karena gue. Berbuat supaya Tari kecewa sama gue. Pokoknya, sebisa mungkin gue bikin Tari benci sama gue. Walau semua imbasnya balik lagi ke gue.
Gue ngerasa bingung sama hati gue sendiri. Gue ngerasa sakit gara-gara nyakitin cewek yang gue sayang. Gue ngerasa kecewa sama diri sendiri karena nggak bisa memilih apa yang hati gue bener-bener inginkan. Lagi-lagi keadaan mengharuskan gue melakukan semua ini. Keadaan yang berasal dari orang yang sama. Seseorang yang udah lama ada di kehidupan gue sebelum Tari hadir mengisi hati gue.
Awal mula gue sama dia bisa sahabatan itu gara-gara kami satu kelas waktu kelas satu SMP.
"Lo temen pertama gue di sini." Gue bahkan masih inget kata-katanya tiga tahun lalu itu.
Dulu, gue emang cuek banget sama keadaan sekitar. Sampai ada yang bilang gue itu introvert. Entah kenapa gue bersikap kayak gitu waktu SMP, yang jelas gue mulai peduli sama orang itu adalah karena Deva jadi bahan bully-an di kelas. Alasannya simpel, cuma karena dia gendut. Dan sayangnya, dia nggak bisa ngelawan waktu ada anak yang naruh permen karet di kursinya, laci meja diisi sama sampah, dan yang paling parah... pernah ada yang naruh bangkai tikus di kolong mejanya.
Rasanya waktu itu gue pengen memaki semua temen sekelas karena ngelakuin itu, dengan berkata, "Sesempurna apa, sih, kalian sampe ngehina orang kayak gini?"
Hanya yang gue lakuin waktu itu, cuma ngajak dia keluar kelas dan beliin es krim. Karena katanya, es krim bisa sedikit meredakan stres. Dan untuk pertama kalinya, gue bisa liat dia senyum. Senyum yang bikin gue bertekad buat jadi temennya dan ngelindungin dia dari segala macam bully-an, yang untungnya berakhir dua minggu kemudian.
Gue lega saat itu. Lega bisa ngebantu Deva bangkit dan ngebuat dia supaya nggak terpengaruh sama cemoohan orang-orang nggak penting itu.
"Woy! Bengong mulu lo!" Gue ngerjapin mata begitu tangan Dimas ngelambai-lambai di depan muka. "Itu, bakso lo udah dingin, tuh, dari tadi cuma diaduk-aduk doang."
Gue sampe nggak sadar kalau udah pesan makanan sejak masuk ke kantin beberapa menit lalu.
"Ya udah, buat lo aja." Gue menggeser bakso gue ke Dimas.
"Kenapa, sih? Galau mulu perasaan," kata Dimas sambil makan bakso yang gue kasih.
Gue cuma diem, nggak berniat menjawab Dimas.
"Udahlah, jangan ngeratapin si Tari mulu. Sekarang mending lo fokus sama apa yang udah lo milikin sekarang, Deva."
Berhenti mikirin Tari? Kenyataannya nggak segampang itu. Hati gue masih milik Tari.
"Terus lo mau minta balikan sama Tari, gitu? Lah, kalo gitu, skenario lo sia-sia dong selama ini."
"Nggak gitu juga," jawab gue.
Gue cuma ngerasa, ini semua nggak bener aja. Nggak adil gitu buat Tari. Gue ngerasa bersalah banget sama dia. Dia nggak tahu apa-apa soal semuanya.
"Jangan gini, Man. Inget siapa aja yang andil dalam skenario ini? Lo, gue, Rakha." Gue melihat Dimas yang raut mukanya tampak serius. "Jangan ngehancurin semuanya. Ini semua demi kebaikan lo, Tari, dan juga Deva."
Gue menghela napas. Kenapa harus kayak gini, sih? Ketika gue mulai ngerasa bahagia sama apa yang gue milikin, lalu dengan singkat gue harus ngerelain dia pergi gitu aja.
Kadang gue mikir, semesta tuh nggak adil banget sama gue.
"Gue ke kelas duluan, lah. Bosen liat tampang bege lo itu." Dimas menepuk pundak gue sebelum jalan buat ke kelas.
Lagi-lagi gue menghela napas. Ini jalan yang udah gue ambil. Gue harus terima itu. Mau nggak mau.
"Hai, Der," sapa seseorang dari belakang gue
"Hai."
Deva duduk di depan gue sambil tersenyum manis. Gue pun membalas senyumnya.
"Sini, Kha." Deva memanggil seseorang dari arah belakang gue, yang kemudian gue tahu siapa orang itu.
"Boleh gabung, nih, gue?" tanya Rakha, yang langsung disetujui sama Deva dengan antusias.
"Boleh, dong, udah lama juga kitabertiga nggak makan bareng di kantin."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...