Chapter 10::Hancur.

37 4 5
                                    

"diminun dulu, tehnya." ucap Devina pelan, sambil menaruh segelas teh hangat di depan Genta. Sejak kedatangan Genta 5 menit lalu, pikiran Devina sudah benar-benar tumpul. Mengapa ia kesini? Darimana ia tahu rumahnya? Dan.. Apa kabar dengan Renzo?

Apakah kekasihnya itu mencarinya? Mencemaskannya? Atau malah tidak perduli?

Terlalu asik dengan pikirannya sendiri, hingga Devina tak sadar bahwa Genta beberapa kali menyerukan namanya. Ia baru tersadar saat Genta melambaikan tangannya di depan wajah Devina, membuat cewek itu tersentak kaget.

"hah?" Devina mengerjap, menampilkan wajah bodohnya di depan Genta. Genta yang melihat itu tertawa kecil.

Sebenarnya, membuat Devina semakin tidak tenang.

"ngelamun mba?" Genta berseru, yang dibalas Devina dengan cengiran. Dan Devina harap Genta tak salah mengartikan dan cepat menangkap arti dari cengiran itu.

Bahwa ia tak suka.

"langsung to the point aja deh, ta," ujar Devina setelah mengumpulkan keberaniannya. "tujuan lu kesini apa sebenarnya?" Walaupun awalnya ia agak segan untuk mengatakan ini, karena takut cowok itu tersinggung, namun hati kecil Devina berbisik bahwa ia harus melakukannya.

Mendengar itu, Genta tersenyum miring. Senyuman yang begitu tipis, namun membawa kesan yang begitu mencekam. Membuat Devina ngeri sendiri.

"gue gak ada maksud apa-apa," ungkap Genta dengan santainya. "cuma mau main-main aja. Soalnya gue gabut dirumah." lanjut Genta. Detik selanjutnya, cowok itu meraba-raba ke dalam tasnya, mencari sesuatu.

"gue denger lu sakit, ya?" Genta menyodorkan kantong berisi buah Apel di dalamnya. "nih, moga membantu." seru Genta tersenyum manis.

Jujur, Devina berharap ini mimpi. Ia berharap ini tidak nyata. Devina bingung harus berbuat apa. Sebenarnya, apa yang laki-laki ini inginkan darinya?

"e-enggak usah, ta. Gue nggak papa kok," balas Devina ingin menolak pemberian Genta. Namun, ketika ia melirik HP nya, ada sesuatu yang tidak beres.

Gantungan itu, gantungan yang diberi Renzo tadi malam, bercahaya.

Devina panik? Tentu saja. Maka dari itu, ia langsung menarik cepat bungkusan itu dari tangan Genta, kemudian mengeluarkan senyum palsunya. "makasih ya, Genta. Sekarang lu-"

Belum sempat Devina menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba kepala Renzo muncul dari depan pintu, tampak mencari seseorang.

Devina membeku. Jantungnya berpacu lebih cepat. Ia mengepalkan tangannya, kemudian membalas tatapan Renzo dengan takut - takut. Tak terduga, Renzo malah tersenyum kepadanya. Tersenyum lega. Namun, saat ia mulai melangkah masuk, mata Renzo menangkap sosok lain. Dan, entah kenapa, amarah Renzo langsung membuncah. Rahangnya mengeras. Ia mengeratkan kepalan tangannya pada benda yang ia bawa.

"Dep sukanya mangga, bukan Apel." ujar Renzo menusuk. Napasnya membara, mata elangnya menatap tajam ke arah Genta, namun, cowok itu tampak tak terusik sama sekali. Bahkan, masih kelihatan santai.

"ngapain lo kesini?" tanya Renzo dengan nada tak bersahabat.

"wadoh, santai dong bro," balas Genta, menyunggingkan senyum manisnya. "gue gak apa-apain cewek lu. Gue kesini cuma mau ngasih dia itu kok, ga lebih." lanjutnya, sambil menunjuk ke sekantong plastik yang dipegang Devina. Lantas, Renzo meletakkan buah mangga yang dibawa nya ke atas meja, kemudian menarik tangan Devina secara paksa.

Devina menolak. Bukan karena tak mau, tapi karena Renzo terlalu kasar. Pergelangannya sakit, beberapa kali ia memukul-mukul tangan Renzo agar melepaskannya. Namun kekasihnya malah mempereratnya.

Melihat Devina yang kesakitan, Genta pun tak tinggal diam. Ia berdiri, kemudian melepaskan tangan Renzo dari Devina dengan kuat, kemudian mendorongnya.

"lu pacar dia atau majikannya, hah?" tukas Genta tidak suka. "ada cara lembut kan? Ga perlu asal tarik juga, bisa?"

"bacot," balas Renzo, pelan namun mematikan. Arah matanya semakin tajam, dan ternyata, Genta membalas tatapan itu.

Sebenarnya, kalau bisa, Renzo ingin menghabisi Genta saat itu juga. Namun ia sadar, tempatnya tidak tepat. Bisa-bisa ia diomel bang Devan jika memancing keributan disini. Dan karena tak mau terpancing lebih jauh, Renzo pun mengalihkan pandangannya ke Devina yang kini terdiam sambil memegang pergelangan tangannya yang ia tarik tadi.

"ikut gue," pinta Renzo, ingin memegang tangan Devina lagi, namun dengan cepat cewek itu menghindar.

"gausah. Gue bisa sendiri." balas Devina. Tatapannya kepada Renzo, tampak segumpal kekecewaan di mata Devina. Dan sebenarnya, Devina tengah menahan air matanya agar tidak jatuh. "dan lu Genta," panggil Devina, membuat Genta langsung menolehnya. "lu boleh pulang. Makasih buat semuanya,"

Samar-samar, pundak Genta melemas. Kemudian, Genta menatap Devina hangat. Senyumnya kembali terukir. Sejenak, hanya sejenak, Devina terjatuh pada pesona itu. Senyuman itu, seakan mengatakan semua akan baik-baik saja. Menenangkan hatinya.

"okelah. Gue balik ya," Genta mengambil tasnya, melemparkan senyum singkat kepada Devina. Dan ketika melewati Renzo, senyuman itu seketika berubah makna.

Renzo hanya membalasnya dengan lirikan kecil di tepi matanya, sinis. Ketika suara motor Genta mulai menjauh, Renzo kembali membuka suara.

"kamu kenapa?" tanya Renzo, menatap Devina lekat. "kenapa diem aja pas dia megang tangan kamu?"

Devina tak menjawab. Dengan tangan yang ia lipat di depan dada, dan pandangan mata yang kelihatan tidak fokus. Tidak berani menatap Renzo.

"gue tanya dijawab!"

"Ya terus kenapa kalo gue biarin?!" Devina balas membentak. Dan saat itu pula, Renzo kaget mendengarnya. Amarahnya yang tadi membuncah langsung ciut seketika saat melihat reaksi yang dibalas Devina.

"apa yang Genta lakukan itu bener. Dia nolong gue. Coba tadi dia ga ada, gimana kabar tangan gue?" lanjut Devina sambil menunjukkan pergelangan tangannya yang memerah. Perlahan, sebulir air mata jatuh ke pipinya.

"mungkin tunggu putus dulu, baru lu lepas." Finally, tangis Devina pecah. Badannya bergetar. Ia menjatuhkan badannya ke sofa, kemudian terisak. Tak ada niatan untuk menyeka air matanya. Biarlah semua itu mengalir di depan Renzo. Biarlah, Renzo juga merasakan apa yang ia rasakan selama ini. Devina harap, Renzo tidak hanya menyangka bahwa tangisan ini karena tangannya, namun juga karena kecurangan yang ia lakukan beberapa waktu lalu.

Semoga, cowok itu segera meyadari kesalahannya.

Renzo merasa bersalah. Sangat. Padahal, niat awalnya kesini agar keadaan semakin membaik. Namun sekarang, malah dirinya yang membuat semua ini semakin rumit. Banyak sekali kata maaf yang ingin Renzo sampaikan pada Devina, namun yang dilakukan cowok itu hanya terdiam di tempatnya. Melihat perempuan yang disayanginya menangis.

Sekarang, masalahnya, mengapa Renzo lantas tak memeluknya? Memeluk Devina seperti yang biasa ia lakukan ketika Devina sedang terpuruk. Menenangkannya dengan nyanyian kecil, atau dengan candaan-candaan yang biasa ia mainkan bersama Devina. Mengapa sekarang, seperti ada yang menahannya?

Apakah karena hatinya sudah terbagi menjadi dua?

"dep, gue minta ma-"

"gue mau tidur. Capek." potong Devina. Sekarang air matanya sudah tiada, namun matanya masih sembab. Rambutnya yang terurai kini berantakan. Devina bangkit, berjalan melewati Renzo.

Dengan cepat Renzo menahan Devina, tapi dengan cepat pula Devina melepaskan tangan Renzo, secara perlahan.

Dan sekarang, Renzo hanya bisa menatap punggung Devina. Tangan kiri Devina memeluk tangan kanannya, kepalanya menunduk, juga bahunya yang naik turun. Tak salah lagi, Devina kembali terisak.

Renzo tak kuat melihat Devina yang seperti itu. Di satu sisi, ia ingin mengejar Devina, dan mengatakan semua isi hatinya.

Namun di sisi lain, ia merasa sudah tidak pantas, ketika sudah memperlakukan Devina seperti itu.

MEANING OF YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang