Keadaan kantin tidak begitu ramai kali ini. Karena ini sudah jam istirahat ketiga, dan murid-murid biasanya ke kantin pada istirahat 1 atau 2. Namun beda dengan Devina, jika moodnya sedang tidak bagus, ia lebih suka kantin yang sepi seperti ini.
"Sendiri aja?"
Devina mendongak, mendapati Genta berdiri di depannya. Awalnya Devina sempat kehilangan kata-kata, kaget karena kedatangan Genta yang tiba-tiba.
"eh.. iya, nih." jawab Devina singkat.
Lalu, tanpa aba-aba, Genta langsung mengambil tempat di depan Devina.
"mana temen lu?" tanya Genta.
"Alea tadi dipanggil ke kantor, gatau juga mau ngapain." Devina mematikan HP nya sejenak, memutuskan untuk meladen Genta sebentar.
"bukan temen yang itu," ujar Genta, "Yang cowok."
Wajah Devina pias, namun dengan cepat dikontrolnya. "E-enggak tau," Devina mengusap tengkuknya, mengalihkan pandangannya ke rumput hijau yang ada di sebelah kanannya.
"emang masalahnya apa, sih? Ya mana tau gue bisa bantu gitu."
Sesaat setelah Genta bertanya, Devina langsung menatapnya tajam. Raut wajahnya berubah 180°, seakan Genta telah berbuat salah.
"Ta, gue tau lo kemarin udah bantu gue, dan gue sangat berterima kasih soal itu. Tapi bukan berarti lo berhak ikut campur dalam hubungan gue sama Renzo. Gue bisa kok, nyelesainnya sendiri. Kita bisa, nyelesainnya sama-sama." Cecar Devina menusuk sebelum pergi meninggalkan Genta sendirian.
Genta menatap punggung Devina geram, napasnya membara. Sedetik kemudian, Genta tertawa. Tawanya semakin keras, sampai akhirnya ia membanting meja dengan tangannya.
"kita?" ungkap Genta pelan, matanya masih terpaku pada punggung Devina yang semakin menjauh. "bakal gue tunjukkin, kalo kita yang lo maksud itu bukan lo sama Renzo, tapi lo sama gue."
.
Devina berjalan dengan langkah lebar, harinya semakin memburuk, ditambah kedatangan Genta tadi. Awalnya, Devina berencana untuk melarikan diri ke Gazebo dan menenangkan diri disana dengan lagu Magic Shop milik idolanya.
Namun, semua itu kandas seketika ketika matanya bertemu dengan mata Renzo, orang yang sudah membuat Devina akhir-akhir ini merasa bahwa ia bukan dirinya.
Bagaimana ia bisa lupa, kalau Gazebo juga salah satu tempat tongkrongan Renzo dan teman-temannya?!
Devina dengan cepat berbalik, langkahnya dipercepat, namun baru 5 langkah, Renzo telah berhasil menggapainya.
"Lepas." ucap Devina tegas.
"gak bakal!" Sentak Renzo. "sebelum lu cerita apa yang buat lu jadi kayak gini. Kenapa lu jadi berubah, Dep? Kenapa lu jadi ngehindar dari gue? Kenapa lu marah sama gue? Salah gue apa? Kasi tau!!" Bentak Renzo langsung.
Devina mengerjap. Renzo tidak pernah membentaknya. Renzo itu lemah lembut. Kalau Devina salah, Renzo bukan membentaknya, melainkan menasehatinya.
Devina menggigit bibir bawahnya, menahan tangis. "tanya sama diri lu sendiri, kenapa gue bisa berubah."
Devina tau, bahwa hanya dengan mengucap satu kata, tangisnya akan pecah. Dan benar saja, Devina terisak.
Tapi, hati Devina yang tadinya berapi-api, tidak terkendali, kacau, langsung berbalik sesaat setelah Renzo mendekapnya.
Untung, letak Gazebo jauh dari jangkauan kelas-kelas.
"Gue minta maaf kalo emang gue ada salah. Gue bener-bener minta maaf dari hati terdalam gue. Maaf.." Ucap Renzo, terdengar putus asa. Sebenarnya, Renzo tidak pernah siap untuk mendengar perempuannya menangis. Apalagi menangis karena dirinya. Percayalah, hal itu lebih buruk daripada mereka berpisah.
Tak lama, Devina membalas pelukan Renzo. Sangat erat, seakan hari ini adalah hari terakhir mereka bertemu.
"Gue cuma nggak mau kehilangan lo," ungkap Devina sambil terisak. "please, promise to me, you never leave me."
Renzo tersenyum getir. Ia melepaskan pelukannya, lalu melihat lekat kedalam mata Devina.
Tangan Renzo bergerak menghapus segala air mata yang jatuh di pipi Devina, tersenyum, lalu berkata.
"I promise you."
.
Suara mobil Renzo bergemuruh di sekitar rumah Devina, dan langsung berhenti saat sudah berada di depannya.
Devina memandang Renzo, tersenyum manis. "Gomawo."
Renzo membalas senyuman itu. "Dah, masuk sana. Hush-hush." Renzo menggerak-gerakkan tangannya seperti tengah mengusir seekor kucing.
"Ngusir?"
"Ya kali lu mau disini sampe besok?"
"kalo gue mau gimana?"
"tanpa makan, minum, mandi, nge charge HP? Hah, ga yakin gue."
Jawaban Renzo membuat Devina terbahak. "tau aja lu," katanya. "Yaudah, gue duluan ya." Devina bersiap turun dari mobil.
"Bye." Renzo melambai dari dalam mobil, kemudian, perlahan jarinya membentuk simbol 'saranghae'.
Devina tertawa geli, namun akhirnya mengikuti apa yang Renzo lakukan tadi. "hati-hati."
"siap, bos!" jawab Renzo seraya menaruh tangan kanannya di depan jidat. Setelah itu, Renzo pun menarik pedal gas, meninggalkan Devina yang daritadi senyum-senyum tidak jelas, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.
.
"Malem semuanya!"
Devan, Diana, Dean yang sedang duduk di meja makan, tidak ada yang tidak tersentak akan teriakan yang disebabkan oleh Devina. Kompak, ketiga manusia itu langsung menatap Devina, yang dengan santainya berjalan, duduk di samping Devan, mengambil piring, nasi, lauk, dan air putih.
"Yok, Doa." ujar Devina, mengaitkan jemari-jemarinya sembari menutup mata. Merasa tak ada respon, ia kembali membuka mata--yang langsung disambut tatapan kebingungan dari keluarganya itu.
"Kenapa sih, Ma, Pa, Bang?"
"enggak." Dean membuka suara. Pria yang sudah berkepala 4 itu berdeham sebentar, sebelum akhirnya memimpin Doa. Sesudahnya, mereka pun makan dalam hening.
"Kayaknya ada yang lagi seneng, nih." Diana membuka topik. Sontak, semua yang ada di sana melihat ke arah Devina.
"udah baikan, hm?" goda Devan yang ada di sebelahnya. Sedangkan Devina daritadi mengulum senyumnya.
"kalo mama papa dulu, gak pernah marahan itu sampe seharian. Pasti keduanya ada yang ngalah. Entah itu papa, entah itu mama. Pokoknya kalau udah malem belum juga ada, papa yang bakal ke rumah mama, ngomong baik-baik. Besoknya, baikkan, deh." Ujar Dean, Diana yang berada di sebelahnya langsung tersenyum.
"Papa dulu, kalo mama lagi ngambek, pasti di diemin dulu. Ya pura-pura cuek lah istilah nya. Ntar beberapa jam kemudian, ada aja yang ngetuk pintu rumah, nitipin coklat supaya mama enggak ngambek lagi." Diana menyambung.
Keadaan kembali hening selama beberapa menit, sebelum suara Dean kembali terdengar.
"Kalo Devan, udah gimana?"
Sesaat setelah Dean bertanya, pergerakan Devan berhenti. Ia berdehem kecil, berusaha menelan nasi yang ada di mulutnya dengan susah payah. Devan meneguk segelas air putih, sebelum akhirnya beranjak dari tempat duduknya.
"Devan duluan." ucapnya singkat, sebelum pergi meninggalkan meja makan yang kini terasa lebih mencekam.
"Papa apa-apaan sih!" sembur Devina langsung. Alisnya menyatu, menandakan bahwa ia tak suka.
Dean hanya menunduk. "Papa cuma nggak mau ngeliat Devan terus-terusan begitu. Papa pengen dia bahagia juga," ungkap Dean dengan mata sendu.
"Iya, tapi," ucapan Devina terhenti. Ia menarik nafas. "enggak gitu juga lah, Pa. Semakin papa ungkit, semakin susah juga bang Devan buat ngelupainnya."
Devina kembali berkata, sebelum akhirnya ikut meninggalkan tempat itu. "Ngelupain seseorang yang berharga di hidup kita itu enggak mudah, pa. Sama sekali enggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
MEANING OF YOU
Teen Fiction(Slow update) --; When u say that u love me, All i need is that one phrase That u'll never change. Just one more time. °°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°° [bahas...