"Aku tak sebaik yang kamu kira, tapi aku juga tak seburuk yang kamu pikirkan."
(Zarra Aulia)"Jadi gini... sebenarnya aku akan melanjutkan belajarku ke Yaman. Namun ayahku memberiku syarat yang menurutku berat. Syaratnya aku harus menikah dulu sebelum berangkat ke Yaman. Dan yang lebih beratnya jika aku ingin menentukan pilihanku sendiri, Ayahku hanya memberi waktu 5 hari untuk mencari calonnya dan sekarang adalah hari terakhir batas waktuku. Jika aku tidak mendapatkan calon istriku, aku harus menikah dengan wanita pilihan ayahku."
Zarra hanya menjadi pendengar yag baik, dia mengerti tentang penjelasan Hafidz.
"Dan setelah kejadian kemarin yang tak sengaja aku melemparmu dengan kerikil, aku merasakan ada sesuatu yang membuatku tak tenang. Maafkan aku karena sudah lancang. Setelah itu kita bertemu lagi di masjid saat shalat Zuhur, kamu ingat kan?"
Zarra pun hanya mengangguk tanda mengiyakan.
"Setelah pertemuan kedua itu aku mulai yakin, aku sudah menemukan orang yang cocok yang akan menjadi istriku. Ya orang itu adalah kamu."
Zarra hanya bisa diam dengan hati yang berdegup sangat kencang dengan muka yang menunduk dan mukanya merah. Begitu juga dengan Hafidz. Sebenarnya dia gugup untuk membicarakannya, tapi dengan keyakinan hati dia sanggup memberitahu semuanya.
"Setelah itu aku mencari informasi tentangmu di kampus ini. Dan alhamdulillah aku langsung mendapatkannya. Kamu tak perlu tahu aku mendapatkannya dimana yang terpenting sekarang kamu tahu yg mengirimkan pesan itu adalah aku." Ada jeda saat Hafidz berbicara. "Kamu tahu, apa tujuan aku menyuruhmu datang ke sini?"
"Apa?" Tanya Zarra.
"Aku ingin mengajakmu ta'aruf setelah itu menikah."
Zarra hanya terdiam.
"Apakah kamu mau Zarra?" Tanya Hafidz.
"Hmm... apakah kamu mengajakku ta'aruf hanya karena syarat Ayahmu saja?"
"Tidak Zarra."
"Apakah kamu yakin? Tadi kamu bilang syarat ini sangat berat bagimu."
"Awalnya memang berat, tapi aku sadar mungkin ini takdirku. Mungkin ini jalanku untuk bertemu dengan jodohku. Aku tidak ingin salah mencari jodoh, maka dari itu aku mencari orang yang bisa menerima aku apa adanya."
"Tapi kenapa kamu memilih aku? Aku ini jauh dari kata sempurna, aku tidak sebaik yang kamu kira tapi aku juga tak seburuk yang kamu pikirkan."
"Entah kenapa dihatiku hanya ada bayanganmu saja. Menurutku itu bukanlah nafsu sesaat, aku sudah shalat istikharah dan aku semakin yakin dengan keputusanku untuk berta'aruf denganmu lalu setelah itu aku akan mengkhitbahmu."
"Apakah kamu yakin dengan keputusanmu itu?"
"Iya aku sangat yakin."
Tak terasa air bening dari mata Zarra jatuh tanpa permisi melewati pipinya.
Setelah Hafidz tahu kalau Zarra menangis, dia langsung merogoh saku celananya dan mengambil sebuah sapu tangan dan memberikannya kepada Zarra.
"Kamu tak usah menangis, jika keputusanku memberatkanmu maka jangan membuatmu tersiksa. Tolak saja permintaanku ini, aku akan baik-baik saja." Ucap Hafidz sambil menaruh sapu tangan di samping bangku Zarra.
"Kamu tidak perlu seperti itu Hafidz, sebelumnya aku ingin bercerita sepertimu yang mengungkapkan semua perasaan dihatimu, apakah boleh aku bercerita?" Ucap Zarra sambil mengusap air matanya dengan saputangan yang diberikan Hafidz.
"Silakan."
"Hmm sebenarnya,,, aku,,, sudah mengagumimu dari dulu...." ucapan Zarra terpotong karena dia merasa gugup.
Hafidz hanya diam mendengarkan cerita Zarra.
"Tapi aku tidak pernah mengetahui namamu, sampai saat ini aku baru mengetahui namamu itu.
.
.
Bukannya aku menolak permintaanmu itu,,, tapi sebenarnya satu minggu yang lalu aku sudah dijodohkan oleh Abiku dengan anaknya teman Abiku.
.
.
Saat ini Abiku mememberi waktuku untuk memikirkan keputusannya antara menerima atau menolaknya. Satu minggu lagi dia akan datang dan meminta keputusankuAku bisa saja menolaknya tapi aku tidak ingin mengecewakan abiku yang berharap aku menerima perjodohan ini. Tapi jika aku menerimanya, aku takut hati ini belum bisa mencintai dia yang akan jadi imamku nanti. Dan aku belum tahu orang yang akan menjadi calon imamku itu."
"Tak apalah, mungkin saja kita belum berjodoh. Kita harus siap menerima takdir dari Allah. Aku harus menerima calon istriku dan kamu harus menerima calon imammu sendiri. Takdir kita sudah ditentukan dengan sebaik mungkin oleh Allah. Jadi kita sebagai hambanya harus menerima dengan ikhlas."
"Maafkan aku yang mungkin menyakiti hatimu."
"Jangan bicara seperti itu Zarra, aku tau kalau sebenarnya kamu juga merasa tersakiti."
"Tidak apa-apa,,, rasa sakit ini akan menjadi awal dari kebahagiaan kita masing-masing di masa depan."
"Terimakasih atas waktunya. Maafkan aku jika aku salah dan mungkin aku lancang."
"Sudah ku maafkan,,, kalau begitu aku pergi dulu. Assalamu'alaikum." Ucap Zarra lalu berlalu pergi meninggalkan Hafidz.
"Wa'alaikumussalam." Jawab Hafidz yang hanya menatap kedepan.
🍃Biarkan rasa sakit ini menjadi awal dari kebahagiaan kita masing-masing🍃
TBC
Syukron sudah baca, terimakasih atas waktunya. Jangan lupa vote and comment yak😉💜
Besok udah mau puasa
Mohon maaf lahir batin ya
Salam dari Fitri😚
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Di Atas Sajadah
SpiritualDalam keadaan yang bimbang, Zarra memutuskan untuk shalat istikharah di atas sajadah favoritnya. Meminta bantuan kepada Sang Ilahi. Setelah itu dia mendapatkan mimpi yang membuat dia menjadi lebih bingung. #13 in religius (10/06/19) #26 in novelrema...