Putus(1)

105 18 6
                                    

Hiruk pikuk dikantin seketika usai saat terdengar bel tiga kali. Aku masih disini bersama lelaki yang tengah duduk tepat dihadapanku. Matanya memerah entah ia ingin nangis atau marah, masih belum dapat ku tebak. Ia kembali menatapku tajam membuat suasana sedikit tegang. Tapi aku berusaha mencairkannya dengan menyesapi teacup yang tengah aku genggam.

"Masih belum jelas?" Lelaki yang duduk didepanku tiba-tiba berdiri. Helaan nafas panjangnya terdengar menakutkan oleh telingaku.
"Aku mau putus! Aku tidak mau mempertahakan hubungan dengan orang yang egois kayak kamu." Lanjutnya.

Aku membelalak tak percaya dengan apa yang dikatakannya. Sesekali aku berdoa semoga yang dikatakannya itu hanya sebuah candaan.

"Aku nggak suka!  Setiap kali jalan, kamu nggak pernah mau aku gandeng, kamu nggak mau kalau jalan berdua saja sama aku. Dan lagi, orang tuamu juga nggak setuju kan kalau kamu jadi pacar ku?" Lanjutnya lagi.

"Tapi kan..." baru saja aku ingin bicara ia memotong perkataanku.

"Ya aku tahu, meskipun kita sudah hampir satu tahun tapi aku tetap nggak bisa. Aku nggak tahan dengan hubungan ini. Jadi cukup, jangan memohon lagi." Ia pun berbalik dan meninggalkan ku.

Suara lelaki itu membuat dadaku semakin sesak. Aku tak pernah memohon padanya untuk hubungan ini tapi... Entahlah, memang tak ada air mata yang jatuh sampai punggungnya telah menghilang. Lelaki itu, Alvian Dwi Fareza. Nama yang begitu tenar dikalangan perempuan SMA ku. Sungguh, aku masih tak terima dengan perkataannya. Tapi, ia memang benar. Aku tidak pernah mau untuk jalan berdua atau pun digandeng sama dia. Itu karena orang tuaku tak mengizinkan aku seperti itu. Dan ya memang, orang tuaku tak pernah membolehkanku untuk berpacaran. Tapi saat Alvi menyatakan cinta padaku.... Aiyah... Aku nggak semunafik itu! Bayangkan saja jika kamu adalah seorang siswi kelas 1 dan ditembak sama siswa kelas 3 yang dulunya mentor kamu saat MPLS. Siapa juga yang bakal nolak? Nggak ada kan? Apalagi, dia juga kakak kelasku sewaktu SMP.

Lamunanku semakin ngawur, seharusnya aku sadar 'Dia bukan pacarku lagi'. Aku tidak begitu kecewa, aku tidak sedih, buktinya sebulir air matapun tak ada yang jatuh membasahi pipi ini. Aku masih bisa tu meminum segelas teacup yang ada di genggamanku.

Sungguh aku tak apa, meski dada ini begitu sesak. Ah, mungkin karena yang ia katakan terlalu mendadak sehingga aku belum dapat mengerti dengan baik. Dan ya sudah lah.... Mungkin ini takdir.

Aku tak habis pikir, hingga pelajaran selesai aku masih baik-baik saja. Aku tak menangis, aku tak merasa terganggu, bad mood atau dilema lainnya. Aku bahkan bisa fokus dalam mengerjakan ulangan. Tapi, aku masih belum mengerti kenapa Alvy mengatakan hal itu. Kalau saja ia mengatakannya sejak dulu, mungkin aku bisa mengerti dan mungkin aku juga tak terlalu banyak memautkan harapan padanya.

***

"Assalamualaikum." Aku membuka pintu dan mendapati Umi ku tersenyum kearahku.

"Waalaikumsalam. Eh, kok Aira baru pulang, udah shalat belum?" Wanita berusia 36 tahun itu segera menghampiriku dan mengambil tas yang menempel dipunggungku.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Pantas saja beliau mengatakan itu biasanya aku pukang sebelum ashar tapi sekarang bada ashar.

"Umi, adek dimana?" Tanyaku celingukan.

"Tadi abis dari bimbel terus kecapekan dan sekarang sedang tidur dikamar. Kamu makan dulu gih, Abi nanti pulangnya petang." Umi menarik satu kursi keluar dan menyuruhku duduk untuk makan.

Dari Sebuah PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang