Pesan (11)

18 4 0
                                    

Benar sudah dugaanku. Kak Rahmat sudah memasak bahkan sedang duduk depan tv menantikan kehadiranku.

"Assalamualaikum." kataku pelan tapi tak dijawab. Kak Rahmat masih menyandarkan kepalanya di sofa.

"Kak," aku menyentuh pelan tubuhnya dan yang benar saja! Tubuh kakak panas sekali.Tak mau panik aku segera memanggil umi dan abi.

Tak lama umi dan abi datang. Tentu aku sudah mengompres tubuh kakakku dengan air dingin.

"Bagaimana ini bisa terjadi nak?" tanya abi dengan wajah khawatir.

"Abi.. Kakak memang dokter tapi kan kakak juga manusia kan?"

"Astaghfirullah.. Aira..  Kenapa begitu sih? Maksud Abi bukan begitu.. Sudah-sudah, kamu makan dulu. Kami tahu kamu belum makan. Biar umi yang melanjutkan." Abi mengusap wajahnya pelan.

Apa ada yang salah dengan ucapanku?

Selesai makan dan shalat isya, aku kembali kekamar kakak. Tapi disana sudah ada seorang lelaki berusia 50-an sedang memeriksa kakak.

"Bagaimana pak, keadaannya?" tanya umi tak kalah khawatirnya dengan aku maupun Abi.

"Sebenarnya cukup baik. Hanya saja ia mengalami demam. Ya biasalah deman musim kemarau seperti ini." jelas dokter itu.

"Tapi bagaimana dengan suhu badannya, dok?" kini giliran Abi.

"Tidak masalah, nanti setelah dia sadar beri dia obat ini. Kebetulan saya membawanya." dokter itu menghela nafas dengan kasar.

"Saya tidak menyangka tangan kanan saya bisa terkena demam ini." dokter itu kini geleng-geleng tak percaya.

Dan aku? Aku diam sambil memperhatikan, sambil mengingat kakak yang pernah bercerita tentang dokter itu. Siapa namanya ya? Ummm, oh iya Dokter Burhan!

"Assalamualaikum."

Aku kini berjalan mendekati mereka yang tampak berbincang-bincang. Pak Burhan menatapku dengan bingung.

"Waalaikumusalam." jawab mereka serempak.

"Kamu istrinya Rahmat?" tanyanya padaku.

"Ah bukan, dia ini anak kedua kami." kata abi.

"O, saya kira Rahmat sudah menikah tapi tidak cerita pada saya." jawab Pak Burhan enteng.

"Kalau begitu saya pamit dulu, ya? Besok saya datang kemari lagi." lanjut Pak Burhan dan Abi mengantarnya sampai pintu depan.

***

Aku terbangun dengan setengah kesadaran yang baru terkumpul. Abi dan Umi sudah pulang karena Isa dan Rafa hanya bersama Bi Siti pembantu baru mereka.

Aku melangkah ke kamar mandi untuk berwudlu dan mengerjakan tahajud.

Selesai shalat aku beranjak ke kamar kakak untuk sekedar mengecek keadaannya. Didepan pintu aku terdiam mendengar suara merdu kakak melantunkan ayat suci Al Quran. Aku diam, bahkan dalam keadaan seperti itu kakak masih melakukan amalan?

"Assalamualaikum." ucapku ragu sambil mengetuk pintu.

"Waalaikumusalam. Masuk saja dek." jawab kakak dari dalam.

"Kakak udah sembuh?" to the point, aku langsung memegang dahinya yang masih panas.

"Kakak, kembali tidur dan Aira kompres ya?" pintaku lagi.

Ya, memutuskan untuk tinggal berpisah dengan Umi dan Abi memang rada sulit. Apa lagi kalau salah satu dari kami sakit. Tapi bagaimana lagi, selama hampir tiga tahun kami tinggal berdua, baru kali ini kakak demam seperti ini.

Kak Rahmat mengangguk dan menutup mushafnya lalu menciumnya dan diletakkan diatas nakas. Keringat dingin masih keluar dari tubuh kakak. Sampai sekarang aku masih sulit menebak pikiran kakak. Yang kulakukan hanya mengamati setiap tindakannya yang tak terduga. Mengutamakan hubungannya dengan Allah dan mengejar surga dengan segenap hidupnya.

"Kakak jangan seperti ini. Aku jadi semakin nggak tega ninggalin kakak sebelum kakak punya istri." aku menempelkan handuk basah itu didahi kakak.

"Maafin kakak ya, udah bikin kamu khawatir." balasnya.

"Nggak papa kak, yang penting janji sama aku, kakak harus segera cari istri."

Kak Rahmat mengangguk.

"Apa coba yang perlu ditambahin? Pekerjaan udah, rumah udah. Tinggal istri doang kak yang belum.." gerutuku lagi.

Kak Rahmat hanya tersenyum dan terlelap kembali.

Aku kini turun ke dapur untuk memasak ya.. Karena sakit jadinya menu makanannya berbeda.

Tring!

Aku memeriksa hpku.

085227715***: Assalamualaikum. Insyaa Allah tiga hari lagi aku akan mengkhitbahmu.
Ali.
Wassalamualaikum.

Deg! Tiba-tiba jantungku berpacu dengan cepat. Ali sudah pulang? Dan akan segera mengkhitbahku?

Aira: Waalaikumusalam, jika itu memang kehendakmu, aku akan memberitahu Abi.

085227715***: Abi sudah tahu Aira.

Blank, aku menutup hpku dan meletakkan diatas meja makan. Senang? Tentu saja. Sebentar lagi aku dikhitbah lalu menikah...

Aku teringat kakak yang masih sakit. Entah mengapa, aku jadi merasa belum siap untuk meninggalkannya.Tak mau ambil pusing aku segera menanak nasi dan membuat lauk pauk.

Adzan subuh berkumandang, aku melihat kakak sudah menggunakan baju koko dan peci bersiap untuk ke masjid lengkap dengan wajah pucatnya.

"Dek, kakak pamit ke masjid ya?" katanya sambil berlalu.

Aku mengangguk tidak bisa melarang. Toh, tidak boleh menghalang-halangi seseorang utuk pergi ke masjid bukan? Akupun berhenti memotong sayur dan mematikan kompor untuk segera melaksanakan shalat. Masalah bubur dan sop nanti ku kanjutkan setelah subuh.

***

"Adek yakin nggak mau kuliah?"

"Iya lah kak! Aku mau ngurusin kakak dulu sampai sembuh." jawabku.

"Kakak udah sembuh kali dek, setelah meminum obat.."

"Terus aja sok kuat! Sakit lagi, aku pulang aja ke rumah!" ketusku.

"Eh, jangan marah dong dek. Ok deh, kakak masih sakit."

"Assalamualaikum." seseorang dari luar mengucapkan salam.

"Waalaikumusalam." jawab kami bersamaan.
Aku pun membuka kan pintu.

"Oh pak Burhan. Mari masuk pak." ajakku dan mempersilahkan pak Burhan duduk.

Rahmat POV

Aku senang sekali ketika pak Burhan datang kemari. Aku pun mengucapkan terimakasih atas bantuannya kemarin.

"Kau tahu bukan, aku sudah hampir di penghujung kepala lima?" Pak Burhan bertanya namun mungkin lebih tepat memberi pernyataan.

"Karena itu aku memintamu untuk menggantikanku di keluarga Aditama." lanjutnya lagi.

"Pak.."

"Tidak, jangan menolak. Aku sudah membicarakan ini dengan Ridwan. Dan kami sudah sepakat."

Aku pun akhirnya mengangguk. Selama ini aku hanya sebagai pembantu dokter Burhan untuk menggantikannya ketika beliau sedang sibuk. Aku sedikitpun tak pernah memiliki mimpi untuk menjadi dokter pribadi. Tetapi jika ini takdir Allah akupun akan dengan senang hati menerimanya.

***

Dari Sebuah PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang